Issues Opini Politics & Society

Setahun Kehancuran, Masihkah Ada Harapan Akhiri Genosida Israel di Gaza?

Rangkuman penderitaan warga Palestina dalam 365 hari genosida Israel. Mungkinkah membebaskan mereka?

Avatar
  • October 8, 2024
  • 7 min read
  • 455 Views
Setahun Kehancuran, Masihkah Ada Harapan Akhiri Genosida Israel di Gaza?

Masih segar di ingatan momen ketika Hamas melancarkan serangan ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023. Imbasnya 1.200 warga meninggal dan 240 orang lainnya hilang. Tak lama, Israel mulai membalas membabi buta, hingga tidak seorang pun dapat membayangkan betapa dahsyatnya warga Gaza akan terdampak. Kini, lebih dari 40.000 warga Palestina tewas, sebagian besar warga sipil, dan banyak yang terluka. Hampir dua juta orang telah mengungsi di wilayah pesisir tersebut.

Keganasan pengeboman udara dan kekejaman Pasukan Pertahanan Israel–yang dilanjutkan dengan invasi darat ke Gaza–memicu tekanan global yang kuat untuk menghentikan kekerasan tersebut. Ditambah lagi dengan rangkaian kampanye di seluruh dunia untuk mengakhiri pendudukan ilegal Israel yang telah berlangsung puluhan tahun di wilayah Palestina.

 

 

Gerakan populer ini menentang pendudukan Israel di Palestina telah menarik perhatian media internasional selama berbulan-bulan.

Namun, setahun kemudian, kekhawatiran terhadap rakyat Gaza—dan puluhan sandera Israel yang masih terkunci di terowongan Hamas—mulai memudar. Fokus dunia beralih ke kesengsaraan yang meluas dengan cepat di sepanjang perbatasan Israel-Lebanon, dan ke potensi terjadinya perang skala penuh antara Israel dan Iran.

Saat pertempuran di Gaza terus berlanjut tanpa tanda-tanda akan berakhir, harapan untuk menyelesaikan konflik paling pelik di dunia antara orang Yahudi-Israel dan Palestina tampak semakin redup. Namun, benarkah demikian?

Baca juga: Setahun Genosida Gaza, Propaganda Kian Meluas ke Lebanon 

Satu Perang, Dua Bangsa, Banyak Penonton

Dalam pertikaian selama seabad antara dua masyarakat atas sebidang tanah kecil yang sama, siklus kekerasan nyaris tak pernah berhenti.

Tantangan saat ini masih sangat kuat dan membuat frustrasi—klaim teritorial yang mengakar, kesalahan besar oleh para pemimpin di kedua belah pihak, dan banyaknya peluang yang terlewatkan. Narasi yang terpolarisasi selama bertahun-tahun juga telah melahirkan ketidakpercayaan, kisah-kisah yang saling menampilkan viktimisasi, ketakutan yang melemahkan, dan permusuhan—sampai pada titik dehumanisasi satu sama lain.

Di pihak Yahudi-Israel, ada rasa kuat akan ancaman keamanan eksistensial, yang diperparah oleh trauma antargenerasi akibat Holocaust dan ketakutan jangka panjang akan serangan teroris. Hal ini sangat kontras dengan pengalaman warga Palestina yang selama puluhan tahun terus-menerus mengalami perampasan, penghinaan, pelanggaran hak asasi, dan perasaan ditinggalkan oleh dunia.

Pengaruh agama dan nasionalis radikal—di kedua belah pihak—semakin mempersulit lahirnya solusi atas konflik yang terjadi. Konflik asimetris yang sudah rumit kini menjadi jalan buntu yang tak kunjung usai.

Selama bertahun-tahun, kegagalan internasional untuk membantu menyelesaikan konflik mendorong banyak negara untuk mengkalibrasi ulang kebijakan luar negeri mereka agar tidak terlalu terlibat secara konstruktif. Bisa dibilang, hal ini dilakukan untuk menghindari dampak buruk terhadap reputasi mereka akibat kegagalan di masa mendatang, atau tuduhan bias, dari satu atau kedua belah pihak.

Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina 

Ketakutan, Derita Korban, dan Balas Dendam

Nakba atau “bencana” tahun 1948, yang diikuti oleh pendudukan Israel yang represif selama beberapa dekade, telah menimbulkan penderitaan yang tak terukur bagi warga Palestina. Sebaliknya, pendudukan ini juga telah menimbulkan kerusakan yang signifikan dan sering kali tidak disadari terhadap jalinan sosial Israel, kohesi, ekonomi, kedudukan internasional, keamanan, dan moralitas.

Serangan Hamas dan pembalasan kejam Israel hanya memperburuk situasi bagi kedua belah pihak. Mereka kini mengancam untuk memadamkan harapan kecil yang mungkin ada sebelum Oktober 2023 sebagai upaya menciptakan kehidupan yang layak bagi kedua bangsa.

Jika siklus kekerasan saling balas ini terus berlanjut, dampaknya tidak hanya akan merugikan upaya Israel untuk mencapai keselamatan dan keamanan bagi warganya, tetapi juga mengancam prospek masa depan politik bagi Palestina.

Bisa dibilang, ketakutan eksistensial mungkin merupakan elemen yang paling disepelekan, namun paling merusak, di balik konflik yang sulit diatasi ini.

Pengamat luar cenderung melihat masalah keamanan secara rasional, dan sebagai masalah nasional, berdasarkan ancaman terhadap negara atau masyarakatnya secara keseluruhan.

Namun, dalam problem Israel-Palestina, masyarakat bereaksi terhadap ketakutan tersebut secara emosional, dengan berfokus pada keselamatan mereka sendiri terlebih dahulu. Ketakutan itu selalu ada—roket meledak di rumah saya, atau anak saya ditembak oleh penembak jitu dalam perjalanan ke sekolah.

Kekhawatiran dan pengalaman ini telah terukir dalam benak warga Palestina dan Israel dari generasi ke generasi. Kita perlu menghargai fakta ini untuk memahami bagaimana kedua belah pihak telah merendahkan martabat satu sama lain dan mengecualikan “pihak lain” dari lingkup perhatian moral mereka, khususnya setelah serangan 7 Oktober dan minggu-minggu serta bulan-bulan setelahnya.

Mendiang perdana menteri Israel Yitzhak Rabin, yang dibunuh pada 1995 oleh seorang ekstremis Yahudi karena terlibat dalam upaya perdamaian, pernah berkata “jangan berdamai dengan teman, tetapi dengan musuh”.

Namun, tanpa adanya rasa aman dan minimnya rasa percaya—jika tidak pada pihak lain, maka setidaknya pada mediator di masa mendatang—perjanjian keamanan sebagai upaya mempertahankan perjanjian perdamaian akan sulit terwujud dan disetujui oleh kedua belah pihak—bahkan cenderung mustahil.

Baca Juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis 

Pandangan yang Mengakar

Karena perang di Gaza belum berakhir, ujian keberhasilan dan kegagalan kampanye untuk membela negara Palestina masih ada di depan mata kita.

Selama pertempuran, misinformasi dan disinformasi telah merajalela. Kedua belah pihak berusaha melancarkan perang propaganda dan manipulasi fakta sehingga meningkatkan perpecahan dan polarisasi antara kelompok “pro-Israel” dan “pro-Palestina” di seluruh dunia.

Secara selektif menerima informasi yang dapat memvalidasi posisi seseorang dan mengabaikan atau menolak informasi lainnya kini telah menjadi norma.

Begitu kita memihak, kita berusaha keras untuk membela tindakannya. Sering kali kita menantang dan meragukan klaim atau informasi yang diberikan pihak lawan. Dan semakin kita terlibat secara emosional, semakin sulit bagi kita untuk berempati dengan penderitaan “pihak lain”.

Contoh kesalahpahaman yang sederhana adalah ketika meyakini seorang agresor tidak bisa menjadi korban atau sebaliknya. Keyakinan seperti itu akan menambah minyak ke dalam api dan memperparah polarisasi konflik. Hal ini kemudian berdampak negatif pada empati, rekonsiliasi, kepercayaan, dan upaya membangun perdamaian.

Kita bisa berdebat tanpa henti tentang siapa yang lebih menderita. Namun, saat ini, apa gunanya berdebat bagi upaya perdamaian?

Meskipun ada penekanan kuat dalam perdebatan global mengenai dikotomi “pro-Palestina” versus “pro-Israel”, kenyataan paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar satu pihak tidak akan pernah dapat dicapai tanpa mengatasi kebutuhan pihak lain.

Kebutuhan akan kedamaian, keselamatan, keamanan, dan martabat ini bersifat timbal balik. Karena itu, kebutuhan tersebut harus dimunculkan dalam perdebatan publik mengenai adanya kebutuhan yang tidak sesuai yang disuarakan oleh kelompok minoritas di kedua kubu.

Alih-alih memihak, upaya kita harus fokus pada tujuan mendamaikan kedua belah pihak, dengan mendorong gencatan senjata di Gaza, diakhirinya pendudukan Israel yang tidak adil, hak penentuan nasib sendiri bagi warga Palestina.

Selagi kesejahteraan masa depan satu pihak terkait erat dengan kebutuhan keamanan pihak lain, solusi zero-sum tidak akan menghasilkan apa pun. Sebaliknya, solusi tersebut hanya akan mengobarkan kecurigaan, permusuhan, dan jatuhnya korban di kedua belah pihak, yang kemudian memunculkan lebih banyak kekerasan.

Baca juga:  #RuangAmanAnak: Luka Tak Terlihat Anak-anak di Jalur Gaza 

Kini Giliran Dunia Bergerak

Sebagian besar warga Palestina dan Israel telah kehilangan sedikit keinginan atau kapasitas yang mereka miliki sebelum 7 Oktober untuk memercayai atau berempati terhadap penderitaan pihak lain. Kemarahan, ketakutan, dan penderitaan saat ini sudah terlalu besar.

Dalam jangka pendek, solusi yang berarti harus datang dari luar.

Selain perubahan kepemimpinan yang sangat dibutuhkan di kedua belah pihak, sekarang saatnya mendorong upaya kolaboratif yang lebih tulus dari negara-negara “kunci” di komunitas internasional.

Sudah saatnya untuk mengganti kecaman kosong yang telah berkumandang selama bertahun-tahun dengan komitmen yang lebih bermakna dan berkelanjutan.

Sudah saatnya untuk membantu kedua masyarakat, melalui tongkat yang kuat, untuk membebaskan diri dari cengkeraman ideologi radikal yang menyesatkan dan tidak ada habisnya yang telah membawa begitu banyak penderitaan dan kehancuran bagi semua orang.

Sudah saatnya untuk memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak di Palestina, dan konsesi harus dibuat di kedua belah pihak untuk janji perdamaian abadi.

Untuk mendesak para pemerintah agar berbuat lebih banyak, protes harus terus berlanjut, tetapi suara mereka harus menyerukan perdamaian untuk semua dan menentang menyakiti orang-orang yang tidak bersalah di semua pihak, terlepas dari siapa mereka.

Perdamaian, atau pada tahap ini mengakhiri kekerasan, harus didahulukan.

Kebencian mudah muncul saat menghadapi ketidakadilan. Sulit untuk berempati dengan kemalangan “orang lain”. Namun, kecaman yang hanya memihak, berdasarkan dukungan atau penolakan seseorang terhadap suatu tujuan, tidak hanya cacat secara moral, tetapi juga kontraproduktif.

Mereka yang sangat dirugikan oleh tragedi kemanusiaan ini mungkin kesulitan untuk menerapkan tolok ukur yang sama kepada orang lain, apalagi dalam waktu dekat. Namun, kita semua bisa, dan memang harus, berbuat lebih baik.

Eyal Mayroz, Senior Lecturer in Peace and Conflict Studies, University of Sydney.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Eyal Mayroz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *