Issues Politics & Society Prose & Poem

Ulasan ‘Light in Gaza: Writings Born of Fire’: Orang Gaza Dijajah di Ruang Nyata dan Maya

Buku Light in Gaza: Writings Born of Fire meneropong sebelas kisah personal penduduk Gaza yang mengalami pendudukan Israel.

Avatar
  • November 23, 2023
  • 7 min read
  • 675 Views
Ulasan ‘Light in Gaza: Writings Born of Fire’: Orang Gaza Dijajah di Ruang Nyata dan Maya

Jalur Gaza, Palestina dikenal sebagai penjara terbuka paling besar di dunia. Dihuni oleh lebih dari 2 juta penduduk dengan luas wilayah yang bahkan lebih kecil dari ibu kota Jakarta, Gaza adalah medan penjajahan Israel. Selama enam belas tahun, negeri Zionis itu memblokade laut, darat, dan udara, membatasi mobilitas penduduk, akses terhadap listrik, air bersih, hingga kebutuhan makanan sehari-hari.

Gaza adalah kota yang terisolasi. Orang-orangnya dibungkam dan diasingkingkan dari dunia. Mereka yang terluka dan meninggal di Gaza adalah orang-orang tanpa nama, tanpa konteks atau kehidupan. Mereka hanya statistik yang menandakan angka kematian, sehingga tak lagi tersisa lagi harapan untuk hidup layaknya manusia bebas. Manusia yang merasakan sakit juga mimpi di saat yang bersamaan.

 

 

Beruntung, Light in Gaza: Writings Born of Fire (2022) hadir menawarkan itu. Ditulis oleh sebelas penulis dan penyair Palestina, buku ini memusatkan narasinya pada suara-suara Palestina yang selama ini dibungkam narasi dominan Israel.

Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Tanah dan Palestina, Ikatan Kuat yang Coba Dihilangkan

Light in Gaza: Writings Born of Fire sebagai karya bearing the witness, punya keunikan sendiri dalam menyajikan cerita sebenarnya dari mulut warga. Keunikan ini membuat pengalaman membaca Light in Gaza: Writings Born of Fire terkesan lebih personal. Emosi pembaca dipermainkan dengan lihai, sehingga mudah sekali berempati terhadap mereka.

Setidaknya dua cerita yang paling membekas buat saya. Pertama adalah kisah Asmaa Abu Mezied tentang ikatan warga Palestina dengan tanahnya. Asmaa bercerita, ikatan warga Palestina pada tanahnya sudah terbentuk sejak ribuan tahun. Mayoritas karena mereka mengolah tanahnya sendiri untuk ditanami.

Keterikatan mereka dengan tanah dan pertanian terlihat dari maraknya legenda, lagu, dan peribahasa warga.  Misalnya saja potongan lagu rakyat, “يا زتون ما مروا عنك عراقية بارودهم في كتوفهم مجلية” (Oh pohon Zaitun, orang Irak baru saja lewat dan, di pundak mereka, mereka memegang senjata mereka), yang dinyanyikan selama perang 1948 ketika para perempuan Palestina melihat tentara Irak datang untuk membela Palestina.

Atau pepatah “إذروا المساطيح من الريح” (Tutupi atap yang dipenuhi buah ara dari angin) yang menginformasikan kepada para petani kapan dan bagaimana cara mengeringkan buah ara, yang merupakan sumber makanan yang vital Palestina.

Tanah juga punya peran penting dalam membentuk identitas para petani Palestina. Kata Asmaa, petani adalah agen sosial, penggerak politik, dan pejuang kemerdekaan. Semua identitas ini melebur menjadi satu dan melampaui gagasan tradisional petani dan keterkaitannya yang hanya bersifat transaksional dengan tanahnya.

Sejarah telah banyak mencatat aksi para petani Palestina. Mereka adalah otak yang mengorganisasi serta mendanai pemberontakan terhadap kebijakan wajib militer dan perpajakan Mesir di Palestina. Merekalah yang memulai aktivisme dan kerja sama para pemuda terpelajar di desa-desa Palestina selama gerakan nasionalis 1930-an.

Tak kalah penting, para petani Palestina ini pula yang memulai Pemberontakan Besar Palestina (1936-1939). Sebagai informasi, pemberontakan itu melawan perampasan tanah Palestina kepada para pemukim Yahudi dan mengakhiri mandat Inggris dengan keffiyeh yang menjadi simbol utama perlawanan Palestina atas pendudukan sampai kini.

Ikatan kuat antara Palestina dan tanahnya inilah yang Israel coba putus. Lewat pendudukan yang dilakukan lebih dari tujuh dekade, Israel sengaja melakukan pengrusakan lingkungan. Membuat tanah Palestina tidak lagi bisa digunakan untuk pertanian. Asma memberi contoh lewat peristiwa “Nakba lingkungan” atau penghancuran sistematis terhadap fauna dan flora lokal serta pepohonan asli seperti pohon ek, hawthorn, dan zaitun yang digantikan dengan tanaman Eropa yang tumbuh cepat seperti pohon pinus.

Nakba lingkungan bukanlah peristiwa yang terjadi sekali saja, melainkan penghancuran produksi pertanian secara sistematis dan terus menerus dan berpengaruh pada mata pencaharian warga Palestina.  Buat Asmaa, cara Israel ini sangat kejam. Keterasingan Palestina dengan tanah dan pertanian membatasi pemahaman mereka tentang peran historis yang dimainkan para petani dalam perjuangan nasional, dan pembentukan identitas Palestina sendiri.

Baca Juga: Ulasan ‘Minor Detail’: Kami Orang Palestina Dianggap Setengah Binatang

Pendudukan juga Terjadi di Ruang Maya

Pendudukan Israel tak hanya dilakukan lewat agresi militer. Nour Naim bilang Israel juga melakukan “penjajahan digital”, termasuk menghalangi impor bahan baku dasar untuk tujuan manufaktur teknologi. Dalih basi yang dipakai, mereka takut bahan tersebut dimanfaatkan para teroris untuk melakukan pemberontakan. Dampaknya, teknologi Palestina hanya dapat berkembang di ruang yang diizinkan Israel saja.

Penindasan sistematis semacam itu menghambat perkembangan apa pun di Jalur Gaza di bidang teknologi dan membuat warga Palestina tidak mendapatkan manfaat dari Revolusi Industri Keempat, termasuk kecerdasan buatan (AI), teknologi nano, bioteknologi, penyimpanan energi, komputasi kuantum, bahkan sesimpel melakukan pekerjaan jarak jauh.

Ironisnya di tengah pembatasan perkembangan teknologi, Israel justru telah mengubah Gaza jadi semacam laboratorium untuk menguji dan mengembangkan teknologi AI-nya tanpa pengawasan internasional dan pertanggungjawaban hukum. Pusat-pusat kontrol Israel melanggar privasi dua juta warga Palestina dengan mengawasi mereka dari dekat, menciptakan pengepungan digital yang kompleks, yang meningkatkan pengekangan teritorial Israel terhadap Jalur Gaza.

Pemantauan Israel termasuk mencuri dan menyimpan informasi pribadi warga, menjadikan Gaza sebagai sumber data besar yang penting yang dapat diterapkan dalam algoritme AI. AI ini juga memudahkan Israel untuk mengadili para aktivis dan mengikuti pergerakan mereka di dalam Palestina dan di seluruh dunia melalui pengenalan wajah, pemindaian iris mata, dan rekaman suara. Hal ini tentunya membatasi pergerakan dan aktivisme mereka dalam membela hak-hak rakyat Palestina.

Parahnya lagi, Israel juga membatasi akses internet lewat jalur bawah tanah dan infrastruktur seluler. Ketergantungan infrastruktur Palestina pada infrastruktur Israel, baik itu internet, telepon rumah, maupun komunikasi seluler, akhirnya memberikan Israel kekuatan tidak hanya untuk menyebarkan propaganda, tetapi juga untuk memata-matai warga Palestina yang diduduki dengan mengendalikan frekuensi radio, seperti yang terlihat dari kemampuan tentara Israel untuk meretas, mengacaukan, dan memutus gelombang radio.

Israel menggunakan kemampuan ini untuk mengirim pesan teks (SMS) kepada warga Palestina selama operasi militer. Ini juga terjadi sejak 7 Oktober 2023. Dikutip dari NPR, Israel Pasukan Israel secara acak mengirimkan SMS ke puluhan ribu penduduk Gaza, meminta mereka untuk mengevakuasi rumah mereka “segera”. Pesan ini terdengar seperti imbauan dan punya niat baik, tapi menurut Nour pesan-pesan ini sebenarnya tak lain adalah sinyal kematian.

Tak kalah pentingnya, menurut Nour penjajahan digital Israel kini juga telah memasuki fasenya yang paling ekstrem. Menurut laporan Jerusalem Post pada 2021, Unit 8.200 pasukan elit tentara Israel memelopori algoritme dan teknologi pembelajaran mendalam dan menggunakannya untuk tujuan militer, yang mengarah pada program baru yang disebut Alchemist, Gospel, dan Depth Wisdom.

Unit ini menggunakan alat dan teknologi AI seperti SIGINT (intelijen sinyal), VISINT (intelijen visual), HUMINT (intelijen manusia), dan GEOINT (intelijen geografis) untuk mengumpulkan data dan informasi mentah yang sangat besar untuk operasi militer Israel di masa depan.

Baca juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah

Dengan menggunakan citra satelit topografi Gaza misalnya, teknologi yang dikembangkan Israel bisa secara akurat menentukan lokasi peluncur roket. Konsekuensinya, Israel dalam waktu dekat bisa secara tepat memetakan jaringan terowongan rahasia perlawanan, termasuk kedalaman, ketebalan, dan jalur terowongan. Di saat bersamaan, ia bisa memperingatkan tentara Israel tentang kemungkinan serangan di masa depan, sehingga bisa diambil tindakan pencegahan yang diperlukan.

Perkembangan teknologi ini menurut Nour sangat berbahaya. Bayangkan, pembunuhan lewat serangan drone Israel saja sudah bertahun-tahun dilakukan tanpa ada konsekuensi hukumnya, apalagi dengan adanya teknologi-teknologi ini? Teknologi yang dalam keterangan berbagai media bahkan didukung oleh perusahaan teknologi besar seperti Microsoft.

Pada akhirnya, kehadiran Light in Gaza: Writings Born of Fire menjadi sangat penting. Dengan menghadirkan kedalaman berbagai topik tentang kehidupan warga Palestina yang alami langsung pendudukan Israel, buku ini dengan utuh mewujudkan ruhnya sebagai karya sastra bearing the witness.

Sebuah sub-genre yang dijelaskan Tahrir Hamdi, Profesor Studi Dekolonial di Universitas Terbuka Arab, Yordania dalam penelitiannya Bearing witness in Palestinian resistance literature (2011) sebagai alat perlawanan Palestina terhadap pembunuhan kebebasan setiap warganya.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *