‘Shaming’ Pelaku Kekerasan Seksual: Bisa Efektif Tapi Berisiko bagi Korban
‘Shaming’ atau mempermalukan pelaku kekerasan seksual di media sosial dianggap efektif memberikan sanksi sosial, tetapi berisiko juga bagi yang melakukannya.
Nama Billy Joe Ava sempat trending di Twitter pada April lalu. Penyanyi dan YouTuber ini disebut-sebut melakukan pelecehan seksual kepada seorang perempuan, kenalan pengguna Twitter @fannylucuterus. Dalam beberapa tangkapan layar percakapan Billy, terlihat laki-laki itu merayu si perempuan meskipun yang dirayu sudah tidak merespons, dan mengirimkan gambar penisnya.
Sebelumnya, sejumlah perempuan mengadukan Ibrahim Malik, alumni Universitas Islam Indonesia (UII) yang kini bersekolah di Melbourne, ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Ibrahim dituduh melakukan pelecehan seksual berupa ajakan panggilan telepon seks dan chat mesum kepada mereka. Sementara mereka menempuh jalur hukum, sebagian perempuan lainnya menceritakan pengalaman serupa dilecehkan oleh Ibrahim melalui media sosial.
Berangkat dari unggahan cerita-cerita penyintas, warganet lain yang tidak mengenal Billy atau Ibrahim pun mengungkapkan simpati mereka kepada penyintas. Selagi tangkapan layar pesan dan wajah kedua orang itu diteruskan dan tersimpan di internet sampai sekarang, ekspresi kemarahan dan tindak mempermalukan (shaming) pelaku pun terus ditunjukkan sebagian warganet.
Upaya membeberkan cerita, memanggil, dan menunjukkan identitas pelaku kekerasan seksual ini dikenal sebagai tindakan call-out. Di era digital, hal ini telah membudaya dan dianggap efektif untuk memberikan efek jera atau sanksi sosial bagi pelaku.
Baca juga: ‘Call-Out Culture’ di Media Sosial: Berfaedah atau Bikin Lelah?
Salah satu pihak yang menyokong tindakan shaming pelaku kekerasan seksual adalah International Federation of Journalist (IFJ). Dalam publikasi ByteBack Campaign yang menyoroti soal kekerasan berbasis gender online (KBGO) terhadap jurnalis perempuan, mereka menganjurkan ‘name and shame’ dan ‘shout it out’ sebagai usaha menyikapi KBGO.
“Retweet an abuser’s comments or write a post to point out the abuse, find support from other users and publicise every instance of an abuser backing off or being forced to delete offending tweets/comments,” demikian petikan kampanye tersebut.
Dalam The Guardian, penulis Adrienne Matei menulis bahwa budaya call-out telah lama dipraktikkan oleh kelompok marginal untuk mengungkap ketidakadilan dan mendorong terjadinya perubahan. Namun kini, gagasan mengenai call-out bergeser lebih ke konfrontasi antarindividu di media sosial. Sejatinya call-out dilakukan supaya orang yang dianggap bersalah menjadi kapok dan tidak melakukan kembali kesalahannya. Tetapi kenyataannya, yang terjadi jauh lebih kompleks dari harapan tersebut dan mengundang pro-kontra dari berbagai pihak.
Kesadaran akan isu dan bumerang
Tindakan call-out atau shaming di media sosial adalah, hal ini bisa meningkatkan kesadaran akan isu pelecehan atau kekerasan seksual yang sering kali terabaikan atau dinormalisasi dalam keseharian. Misalnya, dalam kasus #MeToo. Ini juga upaya dari penyintas, kawan penyintas, serta orang-orang lain yang bersimpati pada penyintas untuk menjatuhkan sanksi pada pelaku.
Baca juga: Setelah #MeToo, Lalu Apa?
Dalam kasus Ibrahim Malik, contohnya, UII memutuskan mencabut gelar mahasiswa berprestasi yang diraihnya pada 2015, menyusul pembentukan tim investigasi dan laporan-laporan yang masuk ke LBH Yogyakarta. Tidak hanya itu, Komunitas Peduli Perempuan pun memulai petisi di Change.org kepada Direktur Australia Awards Indonesia lima bulan lalu untuk mencabut beasiswa S2 di University of Melbourne yang diberikan kepada Ibrahim. Petisi tersebut sudah ditandatangani lebih dari 32 ribu kali dari target 35 ribu.
Dalam kasus lain, mahasiswa bernama Gilang pun mendapat sanksi dari pihak kampusnya, Universitas Airlangga (Unair), setelah viral beritanya melakukan pelecehan seksual berkedok riset terhadap sejumlah orang. Unair juga mengeluarkan mahasiswa semester 10 ini Agustus lalu.
Meski banyak pihak yang mendukung tindakan shaming dan call-out pelaku kekerasan seksual di media sosial, ada sisi gelap yang diperhatikan sebagian pihak terkait tindakan ini. Ellen Kusuma, Kepala Sub Divisi Digital At-Risks Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), yang mengadvokasi hak dan keamanan digital masyarakat, mengatakan bahwa ada potensi serangan balik dari pelaku setelah seseorang melakukan call-out di media sosial.
Hati-hati dengan budaya spill the tea yang kita anggap cool, tapi ternyata efeknya sangat panjang di korban.
“Misalnya, korban yang melakukan call-out mengalami doxing [penyebaran informasi pribadi], ancaman, teror, dan seterusnya,” ujar Ellen.
Publikasi tindakan pelaku kekerasan seksual juga bisa menjerat penyintas dan orang-orang yang membantunya, akibat pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronic (ITE) yang dimanfaatkan pelaku. Hal ini terjadi pada Baiq Nuril, seorang staf di sekolah di Mataram, pelaku yang merupakan mantan atasannya menuntut dia balik dengan UU ITE karena dianggap mencemarkan nama baik pelaku. UU yang sama juga digunakan motivator Dedy Susanto dan Billy Joe Ava pun untuk menyerang pelapor mereka.
Reaksi lewat jalur hukum juga ditempuh Ibrahim, yang menggugat UII karena mencabut gelar mahasiswa berprestasinya secara sepihak dan ia nilai merusak reputasinya.
Di samping risiko berhadapan dengan hukum, penyintas yang melakukan call-out dan shaming berisiko mendapat balasan negatif dari warganet. Ada saja orang-orang yang menganggap mereka mencari perhatian semata dengan menceritakan pengalamannya, atau bahkan menuding mereka membual. Hal ini me-reviktimisasi korban.
Baca juga: Penyebaran Konten Intim dan Jalan Panjang Korban Dapatkan Keadilan
Shaming dengan publikasi ulang foto penis pelaku juga berkontribusi terhadap langgengnya perundungan di ranah digital. Tidak jarang seiring dengan hujatan dengan pelaku, muncul komentar body shaming yang mengarah ke toxic masculinity dan menganggap ukuran penis besar adalah yang ideal. Sebagian pihak juga menilai, kendati pelaku memang salah, penyebaran informasi pribadi pelaku juga menambah kekerasan daring karena dilakukan tanpa sepengetahuan dan persetujuan yang bersangkutan.
Aktivis perempuan dan penulis Kalis Mardiasih merasa budaya call-out, shaming, serta spill the tea (seorang kawan/kenalan menceritakan pengalaman korban) justru tidak banyak membantu korban.
“Kadang-kadang, orang enggak benar-benar ingin berpihak pada korban. Orang cuma pingin kepo dan tidak membantu menghilangkan trauma korban,” kata Kalis dalam webinar “Teatrika Kekerasan Berbasis Gender Online, Salah Siapa?” yang diselenggarakan Aliansi Remaja Independen Minggu (11/10) lalu.
Baca juga: Cerita Agni Membantuku Hadapi Trauma
“Ketika kamu dapat cerita kekerasan seksual yang dihadapi teman kamu, tolong yang amanah. Teman kamu menceritakan itu bukan menyuruh kamu untuk membuka ceritanya. Kadang ada yang enggak izin sama korban buat cerita. Padahal, teman kamu memberi kamu kepercayaan untuk meringankan bebannya dengan bercerita. Kamu jangan sok heroik dan tanpa consent teman kamu, kamu melakukan penyelesaian kasus. Tanya dulu kebutuhan korban apa,” ia menambahkan.
Situasi bisa menjadi dilematik ketika orang-orang membuat suatu kasus viral. Bagi Kalis, bila korban masih berstatus mahasiswa, siswa, atau pekerja dan pelaku adalah atasan, pengungkapan kasus akan lebih menyulitkan korban meski ada dampak dukungan baginya.
“Misalnya kasus Agni, di satu sisi suara-suara yang sounding Agni jadi inspirasi gerakan #MeToo se-Indonesia. Tetapi di sisi lain, banyak media yang enggak empati dan ngejar-ngejar Agni nanyain kronologi. Padahal Agni masih dalam proses pemulihan psikologis dan Agni masih menjadi mahasiswa di kampus menyelesaikan tugas akhir,” ujarnya.
“Bayangin, waktu itu dia belum dapat dukungan kampus, yang di media sosial enggak bisa dikendalikan. Ketika di online kelihatannya banyak yang dukung Agni, di offline dia masih distigma. Jadi hati-hati dengan budaya spill the tea yang kita anggap cool, tapi ternyata efeknya sangat panjang di korban.”