Cerita Agni Membantuku Hadapi Trauma
Seorang penyintas pemerkosaan mendapat penguatan dari cerita ‘Agni’, sesama mahasiswa di Universitas Gadjah Mada.
Peringatan: Artikel ini berpotensi memicu trauma, terutama
bagi penyintas kekerasan seksual.
Tumbuh besar
sebagai seorang penyintas kekerasan seksual di tengah keluarga dan lingkungan yang
konservatif bukanlah sebuah hal mudah. Ada begitu banyak batasan yang membuatku
tidak bisa menceritakan kisahku kepada siapa pun, termasuk orang tua. Aku tidak
pernah mencari bantuan atau pendampingan dalam bentuk apa pun sebelumnya. Butuh
waktu setidaknya 15 tahun buatku untuk bisa bercerita kepada seorang sahabat
terbaik, yang membantuku memahami kondisi diri sendiri dan menjaga kewarasan.
Sekarang, aku
ingin membagikan cerita ini kepada siapa pun yang ingin membaca dan mungkin
merasakan hal yang sama.
Aku adalah
seorang penyintas kekerasan seksual, pemerkosaan lebih tepatnya. Pelakunya
tetanggaku sendiri dan sejauh yang bisa kuingat, pemerkosaan pertama terjadi saat
aku baru duduk di bangku kelas 1 sekolah dasar. Apakah saat itu aku mengerti apa itu pemerkosaan?
Tentu saja tidak. Satu-satunya hal yang
aku pahami saat itu adalah bahwa aku tidak boleh melawan, menolak atau melaporkan kepada orang tuaku tentang apa pun itu yang diperlakukannya
padaku. Kalau tidak, aku bisa kena
masalah, katanya. Hal ini terus berlanjut sampai kira-kira dua atau tiga tahun
berikutnya.
Waktu aku duduk
di kelas 6 SD, keluargaku memutuskan pindah rumah. Babak baru hidupku rasanya
dimulai sejak saat itu, tidak lagi berada di lingkungan rumah yang memberiku sedikit
rasa aman. Namun, keinginanku untuk pergi jauh meninggalkan rumah terus menguat
sejak saat itu. Aku memilih untuk belajar di sekolah asrama saat SMA dan
berhasil mendapat kesempatan untuk berkuliah di Yogyakarta.
Selama 15 tahun
lebih, aku berusaha sekuat tenaga untuk melupakan masa laluku. Kukira aku
berhasil, kenyataannya tidak. Saat teman-temanku mulai merasakan ketertarikan
dengan orang lain, mendapatkan pacar pertama, atau bersama-sama mengidolakan
seseorang, aku sibuk mengabaikan trauma yang sering kembali sesuka hati dan
meyakinkan diri bahwa aku pun sama seperti mereka. Teman-temanku tersenyum malu
kalau pacarannya sudah sampai pegangan tangan, sementara kepalaku sering sakit
saat berusaha mengusir ingatan-ingatan menjijikkan di otakku.
Aku tidak pernah
berhenti menghindar dari ingatanku sendiri. Masa SMA berhasil terlewati dengan
cukup baik. Kesibukan sekolah dan kebiasaan berkhayal membuatku lupa setidaknya
beberapa hal detail. Ingatan itu masih tetap kembali, mungkin tiga atau empat
kali. Tapi bukan masalah besar buatku.
Masa kuliah
ternyata menjadi tahap paling sulit untuk menghindar. Tinggal sendiri dan jauh
dari keluarga dengan berbagai permasalahan kuliah membuatku harus memikirkan
semua hal sendirian. Tanpa kusadari, semua ingatan yang aku coba lupakan selama
ini ternyata menumpuk menjadi satu lingkaran hitam di belakang kepalaku
sendiri.
Lingkaran hitam
ini melebar setiap kali aku merasa sedih atau mendapat masalah yang sebenarnya
sama sekali tidak berhubungan dengan traumaku. Nilai buruk, homesick, persoalan keorganisasian bisa
jadi pemantik rasa sedih yang berkelanjutan. Hal-hal seperti ini biasanya
membuatku tiba-tiba kembali melihat kilasan-kilasan singkat, seperti wajah,
suara, kata-kata ancaman, atau apa pun yang berkaitan dengan pemerkosaanku.
Rasanya seperti diriku yang sekarang masuk ke tubuh anak kecil yang dulu aku
kenal dan hanya bisa melihat apa yang harus terjadi saat itu. Setelah itu, aku
bisa menghabiskan satu malam penuh dengan menangis dan menyalahkan diri sendiri,
orang tua, atau bahkan teman dan orang-orang di sekitarku yang tidak akan
pernah bisa mengerti bagaimana rasanya.
Aku benci setiap
kali hal ini terjadi. Aku benci saat pikiranku menggunakan trauma sebagai
pembenaran atas semua masalah lain yang menimpaku. Aku terus berpikir bahwa pemerkosaan
yang terjadi padaku tidak ada hubungannya dengan kesulitanku mendapatkan teman
dan tidak fokus dalam kuliah. Meskipun trauma itu sering kembali, aku tetap
tidak mau mencari bantuan apa pun. Aku juga secara sengaja menghindari
topik-topik yang berkaitan dengan isu pelecehan dan kekerasan seksual.
Secara perlahan,
pemahamanku mengenai trauma dan depresi ternyata justru bertambah dari
pertemuanku dengan cerita-cerita yang tidak sengaja kutemukan. Di semester
empat, aku membeli sebuah novel bekas berjudul The God of Small Things karya Arundhati Roy. Salah satu tokoh dalam
cerita itu adalah seorang lelaki yang mengalami gangguan kejiwaan akibat trauma
masa kecil.
Di semester enam,
aku menemukan tulisan Junot Diaz berjudul The
Legacy of a Childhood Trauma lewat akun Instagram The New Yorker yang awalnya kuikuti karena kegemaranku membaca
komik pendek. Ada juga film berjudul All About
Nina yang baru keluar 2018 lalu, yang bercerita tentang seorang komedian perempuan dengan trauma masa kecil.
Cerita-cerita ini berhasil membuatku paham bahwa pengalamanku juga banyak
dialami oleh banyak sekali penyintas lain di seluruh dunia dan kami sama-sama
mampu bertahan.
Namun, satu momen
yang bisa kusebut sebagai titik balik dari perjalanan panjangku dalam
penyangkalan dan penghindaran adalah cerita “Agni”—seorang penyintas kekerasan seksual di kampus
yang berani menuntut universitas untuk menegakkan peraturan yang berpihak. Agni
menjadi cerita penyintas pertama yang kutemui secara langsung sedang melakukan
sebuah perlawanan terhadap sistem yang tidak adil dan memungkinkan budaya pemerkosaan terus berlanjut.
Semua yang
dilakukannya sama sekali baru bagiku. Agni menunjukkan sebuah pemahaman baru,
bahwa penyintas bersama dengan semua orang yang peduli dengan masalah kekerasan
seksual bisa melakukan sesuatu hal yang bermakna untuk mengubah keadaan. Perjuangannya
untuk menciptakan sistem peraturan universitas yang berpihak merupakan salah
satu langkah dari perjuangan panjang menghancurkan budaya perkosaan di tengah
masyarakat kita.
Cerita ini
kutuliskan untuk menjadi bagian dari kisah-kisah di atas. Kisah penyintas yang
menunjukkan perjuangan untuk terus bertahan dan melawan. Harapanku, cerita ini
bisa memberikan pengalaman yang sama denganku saat membaca cerita Diaz, Nina,
dan Agni.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa