Issues Opini Politics & Society

Bagaimana Seharusnya Gereja Bersuara Soal Genosida Palestina?

Umat Kristen Palestina menuntut gereja Barat untuk memanusiakan anak-anak Gaza. Namun banyak gereja yang memilih bungkam dalam hal ini.

Avatar
  • January 14, 2025
  • 6 min read
  • 169 Views
Bagaimana Seharusnya Gereja Bersuara Soal Genosida Palestina?

Belakangan, pegiat hak asasi manusia (HAM), Amnesty International mengeluarkan laporan yang menyimpulkan tindakan Israel di Gaza merupakan genosida. Situasi ini, bersama dengan dampaknya secara global, juga memunculkan pertanyaan di berbagai komunitas dan institusi tentang bagaimana merespons, menyaksikan, dan mengharapkan transformasi atas penderitaan yang terjadi di sana.

Dalam Minggu pertama Advent baru-baru ini, Pendeta Munther Isaac, salah satu teolog Kristen Palestina terkemuka, mengeluarkan surat yang memohon dunia untuk “memanusiakan anak-anak Gaza, anak-anak Palestina.”

 

 

Permohonan serupa juga datang dari suara Muslimdan Yahudi yang mendukung hak asasi warga Palestina. Komunitas berbasis iman yang memprotes pendudukan dan genosida Israel mengkritik bahwa etnonasionalisme Zionis tidaklah sama dengan antisemitisme.

Israel membantah tuduhan genosida dan menyatakan bertindak untuk membela diri setelah serangan 7 Oktober.

Sebagai teolog Kristen dan profesor agama dan budaya, saya merenungkan apa arti seruan untuk “memanusiakan” ini bagi gereja-gereja Kristen dan para teolog.

Saya, bersama Profesor Teologi Michel Andraos dari Universitas Saint Paul, baru-baru ini menulis artikel berjudul A Sin against Humanity and God: the Genocide of the Palestinian People and the Churches’ Silence. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana dan mengapa gereja Barat cenderung senyap dalam merespons krisis di Gaza.

Tahun lalu, di gerejanya di Bethlehem, Isaac membuat adegan palungan dengan bayi Kristus mengenakan kufiyah (penutup kepala tradisional yang biasa digunakan di Timur Tengah dan dunia Arab) di tengah puing-puing. Adegan ini sekaligus mengingatkan bahwa banyak teolog pembebasan, termasuk Isaac, yang percaya tentang Dia yang berpihak pada mereka yang terpinggirkan dan tertindas.

Adegan ini juga bertujuan untuk mengingatkan umat Kristen bahwa bayi Kristus yang mereka yakini lahir di tempat perlindungan sementara, di tanah di bawah pendudukan militer, dan mendorong pengakuan baru atas penderitaan Palestina. Isaac menyampaikan dalam khotbah/lamentasi Natalnya pada 2023: “Aku mengundangmu untuk melihat gambaran Yesus di setiap anak yang terbunuh dan diangkat dari bawah puing-puing.”

Baca juga: Tak Cuma Muslim, Umat Kristen Palestina juga Jadi Korban Genosida 

Senyapnya Suara Gereja Barat tentang Genosida

Di Kanada, tempat saya mengajar, beberapa gereja dan lembaga gereja telah menyerukan gencatan senjata, bantuan kemanusiaan, dan penghentian semua transfer senjata ke Israel. Februari lalu, di Kanada, beberapa kelompok menuntut pemerintah untuk memenuhi kewajibannya “mencegah kejahatan genosida di mana pun terjadi.”

Namun, banyak hal yang tak mendapatkan suara atau respons gereja. Salah satunya adalah tentang ideologi kolonial pemukim. Sebagaimana ditulis teolog Palestina Mitri Raheb dalam bukunya Decolonizing Palestine: The Land, The People, The Bible, ada kebutuhan untuk membongkar hubungan antara kolonialisme pemukim Barat, teologi Kristen, Zionisme, dan wilayah Palestina.

Oktober 2023, sebuah Surat Terbuka kepada para pemimpin dan teolog Kristen Barat dari Kairos Palestina, sebuah gerakan Kristen Palestina, meminta gereja-gereja di Barat untuk “bertobat dari ketidakpedulian mereka terhadap penderitaan Palestina.”

Surat itu mengatakan ketidakpedulian ini tercermin dalam standar ganda Barat yang “memanusiakan Yahudi Israel sambil terus mendehumanisasi Palestina dan menutup-nutupi penderitaan mereka.” Standar ganda ini mencerminkan “wacana kolonial yang sudah mengakar, yang telah memanfaatkan Alkitab untuk membenarkan pembersihan etnis terhadap masyarakat adat di Amerika, Oseania, dan tempat lainnya.”

Sejak surat itu diterbitkan, jumlah korban tewas di Gaza meningkat tajam.

Meski Zionisme Kristen konservatif dikenal luas di Amerika Utara, terdapat pula bentuk Zionisme Kristen yang kurang dikenal seperti dalam tradisi Katolik, Anglikanisme, dan Lutheranisme.

Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina 

Seruan dari Gereja

Cara lain gereja mencerminkan keheningan terhadap kekerasan di Gaza adalah melalui dialog antariman. Kami berpendapat bahwa gereja-gereja arus utama atau liberal tetap terikat terhadap apa yang oleh mendiang teolog Yahudi Marc Ellis disebut sebagai “kesepakatan oikumenis antariman.”

Ellis berargumen kesepakatan ini terdiri dari upaya gereja untuk bertobat atas sejarah panjang anti-Yudaisme dan antisemitisme mereka. Caranya, sebagian besar mereka tetap diam terhadap etnonasionalisme Zionis dan penindasan terhadap Palestina.

Dengan kata lain, orang Palestina menjadi korban pengorbanan dari rasa bersalah Kristen atas anti-Yudaisme/antisemitisme Kristen dan keterlibatan mereka dalam Holocaust (Shoah).

Orang-orang gereja Barat harus menantang model lama dialog antariman yang tidak membahas pendudukan Israel. Israel terus menerima dukungan dari Barat, termasuk gereja-gereja, sebagian karena komitmen mereka bahwa genosida terhadap orang Yahudi tidak boleh terjadi “lagi.”

Pemikiran ini cacat. Pertama, ini mendukung ideologi bahwa keselamatan Yahudi hanya dapat dijamin melalui etnonasionalisme militer. Kedua, ini memindahkan tanggung jawab untuk melindungi kehidupan Yahudi sepenuhnya ke Israel. Orang Yahudi harus mengalami keamanan di seluruh dunia dan bukan hanya di Israel.

Orang Kristen harus menolak ideologi bahwa memprotes genosida terhadap rakyat Palestina adalah serangan terhadap kebebasan Yahudi. Kebebasan Yahudi dan Palestina saling terkait, dan kecuali kita memahami pembebasan dalam istilah universal, kita tengah menciptakan bentuk tirani baru.

Netralitas Alias Diam Sama Saja Mendukung Penjajahan

Teolog Kristen Palestina berpendapat netralitas Kristen Barat sama saja dengan turut serta (dalam penindasan Israel). Sebagaimana dikatakan Isaac:

“Sayangnya, banyak orang Kristen Barat di berbagai spektrum denominasi dan teologi mengadopsi teologi dan interpretasi Zionis yang membenarkan perang, menjadikan mereka terlibat dalam kekerasan dan penindasan Israel.”

Sikap sebagian besar gereja arus utama terkait Israel betul-betul tampak seperti pengecualian dibandingkan dengan respons historis mereka terhadap kekejaman dan pelanggaran HAM berskala besar lainnya, Misalnya Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan yang mereka kecam secara tegas.

Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel 

Dukungan untuk Strategi BDS dan Embargo Senjata

Tindakan nyata yang mencerminkan kepedulian terhadap kehidupan rakyat Palestina dapat dilihat dalam beberapa respons gereja. Dalam pertemuan Dewan Umum terbaru United Church of Canada, gereja ini mengadopsi resolusi yang:

“menegaskan penerapan prinsip-prinsip keadilan terhadap konflik di Israel dan Palestina dengan cara yang memungkinkan adopsi strategi Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) dan bergabung dalam konsensus komunitas HAM internasional dalam mengenali dan menolak sistem apartheid Israel.”

Beberapa pemimpin gereja lainnya mulai angkat suara. Paus Fransiskus telah menyerukan penyelidikan untuk menentukan apakah genosida sedang berlangsung di Gaza.

Pada bulan Agustus, Uskup Agung Canterbury Justin Welby mengatakan, “Negara Israel telah menyangkal martabat, kebebasan, dan harapan rakyat Palestina,” dan menyerukan pengakhiran pendudukan.

Komentar terakhir ini menunjukkan langkah ke arah yang benar. Namun, para pemimpin gereja harus melampaui kata-kata menuju tindakan nyata.

Tindakan tersebut harus mencakup melobi pemerintah Barat untuk memberlakukan embargo senjata, dan secara eksplisit mengadvokasi gencatan senjata yang langgeng untuk menghentikan genosida.

Peran untuk Teolog

Kontribusi signifikan terhadap respons solidaritas gereja dapat datang dari teolog. Mereka dapat menyelidiki hubungan yang bertahan lama antara pembenaran teologis terhadap kolonialisme pemukim di wilayah Palestina dan di Kanada, genosida terhadap Masyarakat Adat. Ini juga termasuk gagasan anti-Yudaisme dan antisemitisme Kristen. Misalnya, gagasan tentang orang Kristen menggantikan Yahudi sebagai “umat perjanjian” Tuhan.

Bekerja dengan kelompok Palestina, Muslim, Yahudi, dan gerakan dekolonialisme yang berkampanye melawan pendudukan Israel dapat menjadi sumber solidaritas dan aksi antariman.

Dua Natal telah berlalu tanpa akhir bagi pembunuhan dan kehancuran. Dua Natal saat Kristen Palestina menyerukan kepada gereja-gereja Barat untuk bertobat dan merespons.

Dua Natal pun telah lewat, ketika seruan mereka sebagian besar masuk ke telinga yang tidak mendengar.

Jane Barter, Professor, Department of Religion and Culture, University of Winnipeg.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jane Barter

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *