History Issues Politics & Society

Seramnya Pencabutan Nama Soeharto dari Tap MPR dan Wacana “Pahlawan Nasional”

Isu Soeharto dijadikan pahlawan nasional kembali naik. Kali ini setelah namanya dihapus dari Tap MPR KKN.

Avatar
  • October 14, 2024
  • 4 min read
  • 600 Views
Seramnya Pencabutan Nama Soeharto dari Tap MPR dan Wacana “Pahlawan Nasional”

Tak sampai seminggu sebelum 30 September 2024, MPR resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998. Isinya mengatur pentingnya pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Lewat penghapusan tersebut, MPR telah mencuci nama Soeharto dari kejahatan KKN selama berkuasa. 

Bambang Soesatyo (Bamsoet)—politikus Golkar, partai yang jadi mesin kekuasaan Orde Baru selama lebih dari tiga dekade—menjelaskan pencabutan ini merupakan langkah lanjutan dari surat Fraksi Golkar pada 18 September 2024. 

 

 

Keputusan ini kemudian diambil dalam Rapat Pimpinan MPR yang diadakan bersama pimpinan fraksi dan DPD pada 23 September 2024. Dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR, disepakati bahwa penyebutan nama Soeharto dalam pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 kini dianggap selesai, mengingat yang bersangkutan telah meninggal dunia.

Sebelum diubah, Pasal 4 itu berbunyi, “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia.

Tempo dalam editorialnya tegas menyebut alasan ini tak masuk akal. “(Keputusan itu) menafikan gerakan reformasi 1998 yang menuntut pengadilan terhadap Soeharto atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya,” tulis editorial Koran Tempo, 30 September 2024.

Baca juga: #MenolakLupa: Sejarah Kelam September Hitam

Korupsi yang dilakukan Soeharto juga bukan isapan jempol belaka. Yayasan Supersemar milik Soeharto terbukti melakukan perbuatan melanggar hukum dan wajib membayar uang pengganti Rp4,4 triliun pada negara. Hal itu tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 140 PK/Pdt/2015, sebuah putusan yang tak pernah ditindaklanjuti.

“Artinya, penghapusan nama Soeharto dan Tap MPR berpotensi merugikan negara,” tambah editorial Koran Tempo.

“Saya tidak bisa menerima keputusan (MPR). Itu sebuah penghinaan karena tidak mengembalikan martabat kami, tidak memanusiakan korban sebagai manusia,” kata Uchikowati Fauzia pada BBC Indonesia (29/9).

Uchikowati adalah anak dari seorang perempuan yang ditangkap karena dianggap terlibat G30S pada 1965. Ibunya ditahan selama tujuh tahun tanpa diadili. Sebagai generasi kedua dari korban Peristiwa 1965, ia kecewa dan keberatan dengan keputusan itu.

Uchikowati yang berjuang melawan stigma dan trauma 65 lewat lagu mengatakan Soeharto mendirikan Orde Baru di atas “darah rakyatnya sendiri”. “Soeharto memulai kekuasaan 32 tahun diawali dengan memenjarakan hingga membunuh rakyatnya sendiri, baik perempuan hingga anak-anak. Keluarga menjadi berantakan, tidak punya masa depan, satu generasi hilang. Generasi saya tidak punya masa depan yang baik,” katanya pada BBC Indonesia.

Kegusaran itu juga dinyatakan Indonesia Corruption Watch (ICW). Dalam rilisnya, mereka menyebut pencabutan ini merupakan langkah yang keliru karena tidak mempertimbangkan aspek historis lantaran berpotensi memutihkan dosa-dosa Soeharto selama 32 tahun masa kepemimpinannya yang dipenuhi dengan dosa kejahatan HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. 

“Dengan menghapus namanya dari ketetapan yang menuntut akuntabilitas, seolah-olah MPR memberikan amnesti moral bagi tindakan yang telah merugikan masyarakat luas. Selain itu, tindakan ini merupakan kemunduran bagi reformasi, yang seharusnya menyerukan pengadilan bagi Soeharto dan para kroninya serta menghapus praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme,” ungkap ICW.

Lebih parahnya, pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR diiringi dengan wacana memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto yang sempat beberapa kali digulirkan, termasuk pada 2010 saat isu itu dilempar Kementerian Sosial dan pada 2014 saat calon presiden Prabowo Subianto berjanji memberikan gelar tersebut.

ICW melihat pencabutan Tap MPR ini sebagai keran yang kembali dibuka untuk memuluskan rencana pemberian gelar pahlawan nasional pada Soeharto. “Sebab, Tap MPR No 11/1998 merupakan salah satu batu sandungan terhadap Soeharto agar memperoleh gelar kepahlawanan,” tambah ICW.

Baca juga: Dari Jerman hingga Indonesia: Negara yang Minta Maaf atas Pelanggaran HAM Berat

Disamakan dengan Sukarno dan Gus Dur

Salah satu dalih yang menjadi referensi pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR tersebut adalah pencabutan Tap MPR Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Sukarno. Serta pencabutan ketetapan Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

“Menyamakan Soeharto dengan Sukarno apalagi Gus Dur adalah kekeliruan cara berpikir, culas, serta menghina sejarah dan nilai-nilai demokrasi,” ungkap editorial Koran Tempo.

Koran Tempo mencatat, Tuduhan korupsi yang melengserkan Gus Dur pada 2001 tak terbukti hingga kini. Sementara Sukarno adalah proklamator dan perumus Pancasila, sekaligus peletak dasar sistem politik Indonesia. “Sementara Soeharto naik menjadi presiden dengan proses konstitusional yang berkabut, mempraktikkan kekuasaan tangan besi dengan dalih stabilitas pembangunan,” tambah mereka.

Selain Peristiwa 65, Uchikowati mengingatkan kita, Soeharto juga disebut terlibat dalam Peristiwa Tanjung Priok, Talang Sari, Petrus hingga Tragedi 1998.

“Tidak ada pahlawan yang membunuh rakyatnya sendiri. Ini Soeharto ada 12 kasus pelanggaran HAM berat. Berapa nyawa yang hilang di tangannya? Dan itu rakyatnya sendiri yang harusnya dilindungi,” ujarnya seperti dikutip dari BBC Indonesia.

Untuk itu, Uchikowati melihat keputusan MPR dan upaya memberikan gelar pahlawan ke Soeharto adalah sebuah penghinaan bagi para korban.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Aulia Adam

Aulia Adam adalah penulis, editor, produser yang terlibat jurnalisme sejak 2013. Ia menggemari pemikiran Ursula Kroeber Le Guin, Angela Davis, Zoe Baker, dan Intan Paramaditha.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *