Solidaritas Lintas Isu: Kunci Perjuangan Iklim Global
Perjuangan iklim sesungguhnya harus terhubung dengan keadilan sosial, gender, dan politik, karena lingkungan tidak bisa dipisahkan dari isu kemanusiaan global.
Greta Thunberg, perempuan muda yang menjadi ikon aktivis perubahan iklim global, pada November 2024 mengunjungi komunitas Kurdi yang ia sebut mendapatkan opresi dari pemerintah Turki. Sebelumnya, Thunberg aktif berkampanye mendukung perjuangan Palestina. Langkah-langkah ini memicu diskusi dan perdebatan hangat, sekaligus menyoroti pentingnya solidaritas lintas isu dalam perjuangan menghadapi krisis iklim.
Aksi iklim memang tidak bisa berdiri sendiri. Perjuangan ini harus terhubung dengan berbagai gerakan hak asasi manusia lainnya, mulai dari melawan seksisme, rasisme, kolonialisme, dan eksploitasi buruh, hingga kekerasan terhadap anak dan diskriminasi terhadap minoritas seksual. Isu-isu ini saling berkaitan, dan menentang genosida seperti yang terjadi di Palestina menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan ini. Lensa interseksionalitas dapat membantu kita memahami keterkaitan ini dengan lebih jelas.
Baca juga: 10 Alasan Kemenangan Trump Tak Bisa Goyahkan Aksi Iklim Dunia
Konsep interseksionalitas menjelaskan bagaimana identitas sosial seperti ras, gender, kelas, orientasi seksual, dan disabilitas sering kali saling tumpang tindih, menciptakan bentuk penindasan yang berlapis-lapis.
Gagasan ini muncul dari pemikiran feminis kulit hitam seperti bell hooks, Patricia Hill Collins, Angela Davis, dan Audre Lorde, yang menyoroti bagaimana perempuan kulit hitam menghadapi ketidakadilan yang unik. Pada 1989, Kimberlé Crenshaw memperkenalkan istilah ini untuk menjelaskan bagaimana perempuan kulit hitam sering kali terpinggirkan dalam diskusi feminisme dan anti-rasisme.
Analisis interseksionalitas melihat bagaimana identitas sosial seperti ras, gender, kelas, orientasi seksual, dan disabilitas saling berinteraksi dengan sistem penindasan seperti seksisme, kolonialisme, kapitalisme, dan rasisme. Interaksi ini memperburuk pengalaman ketidakadilan bagi individu, terutama bagi kelompok yang paling rentan. Dalam konteks perubahan iklim, pendekatan ini sangat penting untuk memahami bagaimana ketimpangan struktural memperdalam kerentanan kelompok marginal terhadap dampak krisis iklim.
Sayangnya, banyak gerakan sosial, termasuk aktivisme lingkungan, belum sepenuhnya memanfaatkan lensa interseksional ini. Padahal, pendekatan ini dapat membantu gerakan lebih reflektif terhadap tindakan mereka, memahami dinamika kekuasaan di dalamnya, menentukan prioritas isu, mengelola sumber daya, membentuk strategi yang inklusif, serta membangun koalisi yang solid untuk menciptakan solidaritas lintas isu.
Baca juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan
Membangun Aksi Iklim yang Inklusif
Aksi iklim tidak bisa dipisahkan dari politik. Aktivis dan pemimpin yang fokus pada isu lingkungan namun mengabaikan krisis kemanusiaan lainnya sering kali gagal melihat hubungan erat antara masalah sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan.
Beberapa aktivis lingkungan, misalnya mengkritik dukungan Thunberg terhadap Palestina dengan alasan bahwa perjuangan iklim seharusnya bebas dari pandangan politik. Pada sebuah aksi iklim di Amsterdam, ia sampai diinterupsi dengan kasar oleh seorang laki-laki karena mengundang perempuan Palestina dan Afghan untuk berbicara di panggug. “Saya datang ke sini untuk demo iklim, bukan aksi politik,” ujar pria tersebut sebelum dihalau yang berwajib.
Namun, data menunjukkan bahwa konflik di Palestina tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga merusak lingkungan secara masif.
Data yang dikeluarkan tahun lalu oleh Program PBB untuk Lingkungan Hidup (UNEP) menunjukkan, pada Maret 2024, sekitar 60.000 m³ limbah dibuang setiap hari ke lingkungan, terutama ke Laut Mediterania. Hal itu memperburuk polusi laut dengan limbah tak terolah, sampah padat, dan bahan kimia dari amunisi. Racun dari logam berat dan bahan peledak meninggalkan dampak jangka panjang yang merusak tanah, air tanah, dan ekosistem laut selama beberapa dekade.
Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga menghancurkan komunitas manusia. Perempuan dan anak perempuan sangat terdampak, terutama karena terbatasnya akses air bersih dan fasilitas sanitasi, yang bahkan menghalangi mereka mengelola kebersihan menstruasi dengan bermartabat. Fakta-fakta ini menjadikan solidaritas dengan Palestina tidak terpisahkan dari perjuangan aksi iklim yang inklusif.
Indonesia juga memberikan contoh nyata bagaimana isu lingkungan adalah persoalan politis yang memerlukan pendekatan interseksional. Data dari LSM lingkungan hidup WALHI menunjukkan bahwa antara 2000 dan 2020, lebih dari 25.000 hektare hutan hilang akibat tambang nikel, terutama di Sulawesi dan Maluku. Dari total 900.000 hektare lahan tambang, sekitar 693.000 berada di kawasan hutan, menyebabkan kerusakan ekologi besar-besaran dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Perempuan menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak kerusakan lingkungan. Di Papua, perempuan adat kehilangan sumber makanan dan pengetahuan lokal akibat proyek tambang emas. Di Kalimantan, perluasan perkebunan sawit meningkatkan risiko bencana ekologis seperti kebakaran dan banjir, yang berdampak besar pada perempuan penyandang disabilitas. Sementara itu, perempuan nelayan di Pantai Utara Jawa terpaksa kehilangan ruang hidup mereka akibat proyek jalan tol strategis nasional yang merusak ketahanan ekologi kawasan pesisir.
Di wilayah urban, dampak krisis iklim juga memukul kelompok LGBTIQ+ dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah, yang sering terpinggirkan selama bencana karena diskriminasi struktural. Bahkan, kekerasan terhadap perempuan dan kelompok keberagaman seksual meningkat selama situasi krisis. Mengabaikan kelompok ini berarti gagal menciptakan aksi iklim yang transformatif dan berkeadilan.
Baca juga: Lupakan ‘Gemoy’ dan ‘Oke Gas’, Saatnya Serius Kawal Aksi Iklim Presiden Terpilih
Menggugat Perjuangan Iklim
Pada tingkat global, agenda iklim sering kali ambisius tetapi tidak efektif, terutama dalam menangani isu-isu mendesak seperti Palestina. Di Indonesia, dokumen adaptasi iklim nasional sering dikesampingkan demi proyek strategis nasional yang lebih mengutamakan kepentingan oligarki.
Pertanyaan penting harus diajukan: Bisakah keadilan iklim tercapai tanpa keadilan gender? Bagaimana kita bisa berbicara tentang menurunkan suhu global jika negara-negara Utara terus menjatuhkan bom di wilayah yang berpotensi menyerap karbon? Dan bisakah program adaptasi iklim Indonesia benar-benar berhasil sementara eksploitasi industri menghancurkan hutan dan mata pencaharian perempuan adat di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua?
Gerakan lingkungan harus terus berevolusi dan membuka diri terhadap isu-isu lebih luas. Tidak ada keadilan lingkungan tanpa keadilan gender, sosial, ekonomi, dan politik. Solidaritas lintas isu adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Andi Misbahul Pratiwi adalah mahasiswa PhD Gender dan Perubahan Iklim, School of Geography, University of Leeds.
Ilustrasi oleh Karina Tungari