Solusi Dua Negara ala Prabowo: Palsu dan Warisan Kolonial
Dua hari berturut-turut Presiden Prabowo Subianto berbicara tentang Palestina di panggung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam Sidang Umum PBB (22/9) dan KTT PBB ke-80 (23/9), Indonesia menegaskan dukungannya pada solusi dua negara (two-state solution). Ini jadi bagian dari posisi diplomatik Indonesia di dunia internasional. Pemerintah juga siap mengakui Israel, dengan syarat Israel lebih dulu mengakui Palestina sebagai negara merdeka.
“Perdamaian hanya bisa datang kalau semua orang mengakui, menghormati, dan menjamin keamanannya Israel,” ucapnya.
Pernyataan ini memicu beragam respons dari akademisi, aktivis, hingga warganet. Ada yang menyambutnya positif sebagai sinyal solidaritas Indonesia terhadap Palestina dalam forum multilateral. Namun, banyak juga yang mempertanyakan apakah dukungan tersebut sungguh serius atau sekadar retorika diplomatik.
Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri RI periode 2009–2014, menilai sikap Indonesia tidak boleh berhenti pada jargon dua negara. Dalam wawancaranya dengan Kompas TV (24/9), ia menekankan pentingnya langkah berani, termasuk mengecam langsung para pemimpin Israel sebagai pihak yang menindas rakyat Palestina.
Pada wawancara lain dengan tvOne News, Marty menekankan tindakan pemerintah Israel, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang sudah jelas masuk kategori genosida terhadap rakyat Palestina. Terlebih kini serangan juga merambah ke Yaman, Suriah, Lebanon, hingga Qatar. Karena itu, menurutnya, jika memang solusi dua negara ingin didorong, maka hal tersebut harus berjalan beriringan dengan tuntutan akuntabilitas Israel.
“Ini bukan level playing field,” tuturnya. “Ingat salah satu prinsip yang kita tekankan adalah kembalinya Palestina ke pre-1967 borders, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina merdeka.”
Baca Juga: Magdalene Primer: Yang Perlu Diketahui tentang Isu Palestina-Israel
Sejarah Panjang Solusi Dua Negara
Solusi dua negara (two-state solution) terus menjadi sumber kontroversi. Secara sederhana, gagasan ini adalah upaya “jalan tengah” untuk menyelesaikan pembersihan etnis sistemik yang dilakukan Israel dengan cara mendirikan dua negara terpisah: Israel dan Palestina, yang diharapkan bisa hidup berdampingan secara damai.
Namun ide ini tidak lahir tiba-tiba. Mengutip Decolorize Palestine, platform yang digagas Rawan Eid dan Fathi Nimer, akar usulannya bisa ditarik jauh ke 1919. Saat itu, Organisasi Zionis Dunia pimpinan Chaim Weizmann, membawa proposal “Rumah Nasional Yahudi” ke Konferensi Perdamaian Paris. Proposal ini memuat rancangan resolusi yang mengusulkan batas-batas wilayah Palestina untuk dijadikan negara Yahudi.
Dalam rancangan tersebut, para Zionis bahkan membagi seluruh wilayah Palestina historis beserta sebagian Lebanon, Suriah, dan Transyordania, meski populasi Yahudi saat itu tidak sampai 3 persen. Usulan ini memang gagal diterima, tetapi menjadi pijakan awal yang kelak memengaruhi sikap PBB terhadap Palestina.
Tiga dekade berselang, PBB mengadopsi Partition Plan for Palestine atau Resolusi Majelis Umum 181 pada 29 November 1947. Resolusi ini merekomendasikan pembagian wilayah Mandat Palestina (saat itu masih di bawah kolonial Inggris) menjadi dua negara. Satu negara Yahudi dengan 55 persen wilayah, dan satu negara Arab Palestina dengan 45 persen. Sementara itu, Yerusalem dan Betlehem ditempatkan di bawah rezim internasional khusus (corpus separatum) yang diawasi langsung PBB.
Rencana ini ditolak keras oleh kepemimpinan Arab dan Palestina karena dianggap tidak adil. Bagaimana mungkin komunitas Yahudi yang hanya sepertiga dari total populasi justru diberi lebih dari separuh tanah, termasuk wilayah paling subur? Sebaliknya, pihak Zionis menerima resolusi itu sebagai legitimasi internasional untuk mendirikan negara Israel. Dari titik inilah pembersihan etnis semakin terbuka, diikuti perang 1948 yang melahirkan Nakba alias pengusiran besar-besaran rakyat Palestina.
Isu solusi dua negara kemudian kembali mencuat setelah Perang Enam Hari 1967, ketika Israel berhasil menduduki Tepi Barat dan Gaza. Sejak saat itu, wilayah pendudukan dianggap sebagai basis untuk negara Palestina merdeka, sementara Israel tetap mempertahankan kontrol keamanan dan militer. Ide ini semakin diperkuat lewat Perjanjian Oslo (1993) dan perjanjian lanjutan seperti Proses Oslo, Peta Jalan Quartet, hingga Inisiatif Perdamaian Arab 2002, semuanya menjadikan “dua negara” sebagai jalan kompromi.
Tidak heran jika gagasan ini sangat didukung oleh negara-negara Barat (AS, Uni Eropa), PBB, dan bahkan sebagian besar negara Arab melalui jalur diplomasi resmi. Bagi mereka, solusi dua negara dipandang sebagai cara paling “stabil”: Palestina diberi kenegaraan terbatas, sementara Israel tetap mempertahankan keamanannya dan dominasinya di kawasan.
Baca Juga: Kenapa Serangan Israel ke Palestina adalah Isu Feminis
Solusi yang Lahir dari Kolonialisme Inggris
Walaupun terdengar seperti gagasan yang adil dan paling masuk akal, solusi dua negara tak lain adalah bentuk dari kolonialisme. Berawal pada 1917, Inggris yang tengah terlibat dalam Perang Dunia I saat itu ingin mendapatkan dukungan dari komunitas Yahudi di negara-negara Sekutu, termasuk di Amerika Serikat dan negara-negara musuh.
Demi mendulang simpati publik, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour mempromosikan gagasan bahwa pemerintah Inggris harus memberikan dukungan terbuka pada Zionisme—gerakan politik yang lahir di Eropa akhir abad ke-19. Dukungan ini kemudian dituangkan dalam sebuah dokumen yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour. Isinya Palestina, yang saat itu masih berada di bawah jajahan Inggris, ditawarkan sebagai “tanah air nasional” bagi orang-orang Yahudi.
Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk Wilayah Pendudukan Palestina, dalam pidatonya di acara Together for Palestine (17/9), menegaskan lewat Deklarasi Balfour, Inggris berhasil menanamkan bibit genosida terhadap Palestina. Fakta sejarah menunjukkan setelah dokumen ini terbit, sekitar 100 ribu migran Yahudi tiba di Palestina. Hingga kini, dokumen itu masih dianggap orang Israel sebagai batu fondasi berdirinya negara Israel modern.
Karena lahir dari warisan kolonial, tidak mengherankan jika solusi dua negara selalu berpijak pada logika pembagian tanah, batas wilayah, dan administrasi pemerintahan, persis seperti mandat kolonial. Sejarawan Israel, Ilan Pappé, dalam bukunya On Palestine (2015), menyebut solusi dua negara tidak pernah menyentuh akar persoalan: Zionisme sebagai gerakan kolonial, dan Israel sebagai negara apartheid yang dibangun di atas dasar rasisme.
Baca juga: Sayup-sayup “Free Palestine” di Hollywood Kini Makin Bising
Solusi yang Makin Tak Relevan
Solusi dua negara kian terlihat sebagai pepesan kosong. PM Netanyahu, secara terang-terangan menolak gagasan tersebut. Dalam pidatonya di PBB akhir September 2025, ia menegaskan tidak akan berhenti sebelum Gaza dikuasai oleh Israel dan menyebut ide negara Palestina sebagai “sheer madness” (kegilaan murni). Ia bahkan mengibaratkan kemerdekaan Palestina di Jerusalem sama dengan memberi al-Qaeda sebuah negara di dekat New York.
Tak heran Netanyahu mengapresiasi proposal Donald Trump tentang “Gaza Riviera.” Rencana yang dilaporkan CNBC dan The Washington Post itu menekankan pemindahan paksa warga Palestina untuk kemudian mengubah Gaza menjadi kawasan wisata dan teknologi di bawah kendali AS, Israel, atau entitas internasional. Sebagai “kompensasi,” setiap warga yang bersedia pindah ditawarkan US$5.000 (sekitar Rp83 juta) plus subsidi makanan dan sewa selama empat tahun.
Di Tepi Barat, Israel juga semakin agresif. Pada 1 September 2025, taman kanak-kanak diresmikan di Homesh, permukiman ilegal yang sudah ditinggalkan sejak penarikan Israel dari Gaza pada 2005. Laporan The Times of Israel menyebut langkah ini sebagai upaya melegitimasi kembali permukiman yang dianggap ilegal oleh banyak negara. Warga Yahudi di sana bermain di bawah langit Samaria, menggambar bintang Daud, seolah menegaskan permukiman itu adalah “penebusan janji historis.”
Semua langkah ini memperlihatkan dengan jelas, Israel tidak berniat memberi ruang merdeka yang sejajar bagi Palestina. Sebaliknya, mereka terus memperluas kontrol tanpa perlu dialog. Karena itu, solusi dua negara hanyalah ilusi. Ini narasi yang sengaja dipelihara agar para pemimpin dunia bisa lepas tangan dari kewajiban utama mereka: menghapus segala bentuk penjajahan.
Untuk memastikan kemerdekaan Palestina, dibutuhkan solusi yang lebih radikal. Solusi ini sejatinya bukan berdasarkan “pembagian yang adil” menurut kekuatan dominan, tetapi pada persamaan hak berasaskan HAM, hak kembali, keadilan reparasi, dan demokrasi radikal yang melibatkan kelompok yang paling terdampak.
Namun sebelum itu terjadi, Rida Abu Rass, ilmuwan politik asal Palestina dalam Al Jazeera mengungkapkan pentingnya pemberlakuan sanksi dan penuntutan terhadap pelaku kejahatan perang. Ia juga mendorong pemboikotan budaya dan pemutusan hubungan diplomatik–satu hal yang justru akan diinisiasi Prabowo dengan Israel pada pertemuannya dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron bulan Mei lalu.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
















