Trendi tapi Mencemari: Mengurai Industri ‘Fast Fashion’ yang Ternyata Rugikan Perempuan
Kita sering diberi tahu limbah ‘fast fashion’ berdampak besar pada kerusakan lingkungan dan rugikan perempuan. Pertanyaannya, apa tak ada yang bisa kita lakukan?
Pernah tergiur dengan produk fesyen miring dengan model dan warna-warni trendi? Hati-hati, membeli produk ini secara rutin demi mengikuti tren berbusana, berarti kamu sedang menyumbang pada peningkatan limbah.
Sudah bukan rahasia umum jika limbah ini membuat kerusakan lingkungan semakin menjadi. Penelitian bertajuk “Major sources and monthly variations in the release of land-derived marine debris from the Greater Jakarta area, Indonesia” (2019) mencatat, dari 18.273 temuan sampah di Jakarta, 8,2 persennya merupakan sampah tekstil. Senada, YouGov mencatat, 66 persen orang dewasa di Indonesia membuang setidaknya satu potong pakaian setiap tahun. Sementara, 25 persen lainnya membuang lebih dari 10 potong pakaian di tiap tahunnya.
Limbah pakaian itu muncul karena konsumsi fast fashion yang relatif tinggi di Indonesia. Bayangkan saja, setidaknya satu keluarga paling sedikit membeli baju terbaru di momen Hari Raya, lalu kalikan dengan berapa banyak total orang di Indonesia. Kebiasaan membeli baju baru itu dikonfirmasi oleh Tinkerlust Impact Report 2022. Mereka bilang, sekitar 58 persen orang di Indonesia lebih suka membeli produk fesyen baru di mana 63,64 persen memilih fast fashion. Harga yang murah dan gayanya yang kekinian jadi alasan.
Baca juga: Potensi ‘Sustainable Fashion’ di Indonesia
Apa itu Fast Fashion dan Dampak pada Lingkungan
Dari Britannica, fast fashion adalah tipe produk fesyen yang diproduksi cepat, murah, banyak, dan berkualitas rendah. Dengan terus-menerus menawarkan tren baru, produk fast fashion biasanya memiliki jangka waktu pakai yang pendek. Wajar saja jika konsumen tergerak untuk terus membeli lebih banyak pakaian dengan model lebih anyar. Model lama, siap-siap masuk tong sampah jadi limbah.
Istilah ini sendiri menurut Earth.org pertama kali digunakan pada awal 1990-an, ketika Zara mendarat di New York. Fast fashion dicetuskan oleh The New York Times saat menggambarkan misi Zara yang cuma membutuhkan waktu 15 hari bagi sebuah pakaian untuk beralih dari tahap desain hingga dijual di toko.
Tak cuma Zara, merek-merek seperti Uniqlo, H&M, dan Forever 21 semua menyumbang pada penipisan sumber daya yang tidak terbarukan, emisi gas rumah kaca, dan penggunaan air dan energi dalam jumlah besar.
Dalam kajian yang dikutip Earth.org dari Business Insider disebutkan, produksi mode mencakup 10 persen dari total emisi karbon global, sama banyaknya dengan Uni Eropa. Produksi mode mengeringkan sumber air dan mencemari sungai dan aliran air, sementara 85 persen dari semua tekstil dibuang ke tempat pembuangan sampah setiap tahun. Bahkan mencuci pakaian melepaskan 500.000 ton serat mikro ke laut setiap tahun, yang setara dengan 50 miliar botol plastik.
Baca juga: ‘Greenwashing’ Kim Kardashian: Saat Fakta Tak Sehijau Kata-kata
Perempuan juga Jadi Korban
Enggak cuma berdampak pada lingkungan, industri fast fashion juga punya konsekuensi negatif terhadap kehidupan pekerja perempuan. Beberapa negara menurut analisis earth.org bahkan melibatkan anak-anak perempuan untuk menjadi buruh industri fast fashion. Sebut saja Argentina, Bangladesh, India, Filipina, hingga Indonesia.
Kalau pun mempekerjakan perempuan dewasa, sering kali mereka mendapat perlakuan tak semestinya. Dalam penelitian bertajuk “Eksploitasi Perempuan Buruh oleh Industri Garmen: Fenomena Global Tren Pakaian Mode Cepat” (2023) dijelaskan, ada buruh perempuan yang semakin terpinggirkan dalam industri tersebut. Upah yang tidak sepadan, kekerasan di tempat kerja, sampai eksploitasi jam kerja, jadi deretan persoalan yang harus dihadapi perempuan.
Ruth Indiah Rahayu, Peneliti feminis Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (INKRISPENA) mengurai posisi perempuan dalam industri mode cepat ini. Kepada Magdalene, Yuyud bilang, sebagai negara dunia ketiga, Indonesia memang jadi salah satu target produksi dan pemasaran produk-produk fast fashion. Demi mengejar target produksi hingga menghemat biaya, posisi produsen (pemilik merek fast fashion) yang semula memproduksi barang, menjadi pembeli dari perusahaan subkontrak di negara berkembang.
“Kalau dulu itu kan sebelum ada agile supply chain, produsen itu memproduksi dan menjual. Sekarang dibalik, produsen justru membeli. Semua karena siklus pasar yang cepat dan persaingannya ketat, sehingga mereka membutuhkan mode cepat, tanggap dekat, dengan orientasi customer yang tepat waktu,” jelasnya.
Siklus produksi serba cepat ini berujung pada terbentuknya rezim sweatshop, atau kondisi pabrik yang mempekerjakan pekerjanya secara eksploitatif, dengan upah rendah. Umumnya yang disasar adalah pekerja perempuan yang masih dilekati stereotip sebagai pasokan tenaga cadangan (reserve army labour).
Hal ini juga merupakan imbas dari feminisasi sektor manufaktur berorientasi ekspor (padat karya). Karena stereotip keterampilan rendah pada perempuan, tubuh mereka diobjektifikasi sebagai tenaga cadangan yang bisa direkrut, dan di-PHK secara besar-besaran, seenak jidat perusahaan.
“Perempuan akan direkrut besar-besaran pada saat pesanan tinggi. Akan tetapi pada saat turun, mereka juga bisa di-PHK dengan semena-mena,” imbuhnya.
Tak cuma mengorbankan pekerja perempuan, pemasaran produk fast fashion juga menargetkan konsumen perempuan. Terlebih konstruksi sosial soal kecantikan dan penampilan, mendikte perempuan untuk terus memperbarui fesyen yang melekat di badannya. Gupta dan Gentry dalam riset “Construction of Gender Roles in Perceived Scarce Environments Maintaining Masculinity When Shopping for Fast Fashion Apparel” (2015) menjelaskan soal ini.
Perempuan, khususnya yang berusia muda, secara tradisional memang ditekan oleh norma-norma sosial budaya untuk memerhatikan penampilan dan kecantikan. Sosialisasi karakter perempuan sebagai gender yang terampil secara estetis juga punya andil dalam konsumsi fast fashion. Akhirnya, perempuan cenderung konsumtif dalam belanja produk-produk mode.
Baca juga: Busana Adaptif, Karena Penyandang Disabilitas Berhak Tampil Modis
Langkah yang Bisa Dilakukan
Butuh perubahan masif untuk melawan industri fast fashion. Hanya saja, hal ini belum bisa dilakukan maksimal karena membutuhkan tenaga serta dukungan yang besar dari berbagai pihak. Misalnya mulai mempopulerkan slow fashion atau pakaian dengan bahan daur ulang yang lebih ramah lingkungan. Masalahnya, kerap kali fesyen jenis ini mematok harga yang sulit terjangkau buat semua orang. Karena itu, intervensi pertama adalah mendorong ada fesyen yang lebih ramah lingkungan tapi bisa diakses semua orang.
Jika solusi ini tak bisa dilakukan, Yuyud mengusulkan ada aksi mendaur ulang pakaian secara individual. Gerakan melawan konsumerisme masih jadi hal yang sulit dilakukan di Indonesia, tapi kita mengusahakan secara mandiri.
“Kalau aku sendiri misalnya dengan mengurangi belanja (pakaian mode baru) di toko. Saya belanja di ranah thrift, pakaian yang dibuang-buang itu. Itu juga salah satu gerakan untuk supaya mengurangi sampah pakaian. Ini bukan soal slow fashion, tetapi soal bagaimana kita mengurangi hasrat konsumeristis, termasuk hasrat membuat pakaian jadi sampah, kita tadah aja, kami yang pakai,” ucapnya.
Sementara dalam hal eksploitasi pekerja perempuan, imbuh Yuyud, solusi yang bisa diambil adalah memastikan mereka punya hak yang diakui. “Saya rasa penting bagi perusahaan untuk sadar terkait pentingnya penyediaan layanan konseling dan penitipan anak. Biar beban ganda perempuan ini enggak ditanggung semua secara sekaligus. Kita harus menekan perusahaan-perusahaan untuk memberikan perlindungan kepada buruh perempuan,” jelas dia.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari