Belajar Risiko ‘Spill’ Perselingkuhan Suami dari Kasus di Bali: Hati-hati Pasal Karet ITE
Ada satu fakta yang mesti diperhatikan saat melihat kasus perselingkuhan di-spill di media sosial: kriminalisasi pada perempuan.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Mungkin peribahasa ini cukup menggambarkan situasi AP setelah ditahan pada 9 April lalu di Polresta Denpasar, Bali. Pasalnya, penahanan yang terjadi pada AP dilakukan setelah ia membeberkan kasus dan data perselingkuhan suaminya dengan wanita lain di media sosial.
Tindakan AP yang membocorkan data pribadi selingkuhan suaminya (BA), ia lakukan pada salah satu akun instagram yang bernama @ayoberanilaporkan6. Dilansir dari Kompas.com, kasus kali ini bukanlah kasus perselingkuhan pertama yang dilakukan oleh MHA selaku suami dari AP. Setelah beberapa kali diselingkuhi hingga bahkan mengalami KDRT, ini adalah kali kelima AP diselingkuhi oleh suaminya.
Sayangnya, keberanian AP untuk memperjuangkan keadilan justru memunculkan dampak yang mengejutkannya. Pada 4 April lalu, dilansir dari Tirto, AP justru ditangkap dan ditahan oleh Polresta Denpasar atas dasar melakukan transmisi, memindahkan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain.
Baca juga: ‘Mobbing’: Saat Spill Kasus Kekerasan Seksual di Medsos Berujung Intimidasi
Hal ini sesuai dengan pasal 58 ayat (1) Jo dan Pasal 32 ayat (1) UU ITE. Penangkapan atas pelanggaran ini didasarkan pada Laporan Polisi Nomor LP/B/25/I/2024/SPKT/Polresta Denpasar/Polda Bali yang dilaporkan oleh BA pada 21 Januari 2024 lalu. Berdasarkan laporan tersebut, AP dianggap telah menyebarkan hoax/berita bohong terkait data BA dan juga perselingkuhan yang terjadi.
Risiko Kriminalisasi dan Masalah yang Berlapis-lapis
Meskipun bukan hal baru, tindakan ‘spill the tea’ atas kasus perselingkuhan masih saja berujung pelik. Merespons peristiwa ini, Siti Aminah Tardi, Komisioner KOMNAS Perempuan mengatakan bahwa ada banyak permasalahan berlapis yang luput dari amatan Polisi.
“Penanganan kepolisian sangatlah parsial dan masih tidak melihat secara komprehensif bagaimana latar belakang perbuatan si Ibu (AP),” tuturnya pada Magdalene (18/4).
Dikutip dari situs Jurnal Perempuan, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menemukan bahwa memang masih ada beberapa pasal dari UU ITE yang belum peka dan berperspektif gender. Berdasarkan kajian yang dilakukan SAFEnet, pasal-pasal tersebut berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan luput akan kerentanan berlapis yang dialami perempuan. Hal ini juga memiliki dampak berupa reviktimisasi yang bisa dialami oleh korban.
Kendati pihak kepolisian sudah menegaskan bahwa penahanan AP bukan didasarkan pada tindak pembeberan perselingkuhannya, Siti Aminah berpendapat bahwa penahanan AP yang didasarkan pada penyebaran data/berita hoax terkait BA tetap perlu dilihat sebagai satu hal yang paralel. Tindakan ‘spill’ ini tidak bisa terpisahkan dari latar belakang AP.
Baca juga: Sedikit-dikit Bikin Viral: 4 Pelajaran Penting dari Budaya ‘Spill the Tea’
Komisioner KOMNAS Perempuan yang akrab disapa Amik ini juga menuturkan bahwa penting bagi pihak kepolisian untuk mempertimbangkan opsi penyelesaian lain dalam menangani permasalahan AP. Pasalnya, AP merupakan seorang korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berupa penelantaran dan juga kekerasan psikis. Maka dari itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk melihat latar belakang ini juga sebagai bagian dari kasus yang menjeratnya saat ini.
“Terhadap kasus ini, kami menyarankan pemeriksaan AP sebagai tersangka dilakukan dengan memperhatikan latar belakang ketidakadilan dan kekerasan yang dialami AP, yang dalam hal ini adalah korban KDRT berulang dari suaminya. Karenanya kami mendorong penyelesaian kasus dilakukan melalui mekanisme restorative justice,” ucapnya.
Tak hanya sampai situ, menurut Amik, penahanan AP yang dilakukan Polresta Denpasar beberapa pekan lalu juga dinilai cukup abai pada hak maternitas AP. Sebelumnya, dilansir dari Kompas.com, penahanan AP yang mendadak ini mengakibatkan proses laktasinya terhambat. Ia pun harus menyusui anaknya di dalam rumah tahanan sebelum akhirnya mendapat pendampingan dan penahanannya ditangguhkan.
“Komnas Perempuan menghormati proses hukum yang sedang berjalan di tingkat kepolisian. Kami juga mengapresiasi pemindahan penahanan berbasis rutan ke penahan di rumah aman, yang seharusnya kepolisian sedari awal tidak perlu melakukan penahanan terhadap perempuan berkonflik dengan hukum (PBH tersangka) yang sedang menjalankan peran perawatan dan maternitasnya seperti hamil, melahirkan, menyusui atau perawatan bayi,” ungkap Amik.
Dilema dan Kompleksnya Urusan ‘Spill’ Kasus Perselingkuhan
Kontroversi terkait ‘spill’ kasus perselingkuhan di media sosial memang masih menjadi hal yang diperdebatkan hingga saat ini. Ibarat dua sisi dalam satu koin, upaya pembeberan konflik personal khususnya perselingkuhan dapat dilihat dari dua sisi yang berlawanan karena dapat menguntungkan sekaligus membahayakan siapa saja yang berani menumpahkan deritanya di media sosial.
Pada kasus kali ini, menurut Amik, aksi ‘spill’ yang dilakukan oleh AP merupakan tindakan sah dan boleh saja untuk dilakukan oleh siapapun. Hanya saja, perkara ini menjadi semakin kompleks karena AP tidak mendapatkan penanganan kasus-kasus sebelumnya secara maksimal. Dilansir dari Kompas.com, AP sendiri (sebelum kasus perselingkuhan yang satu ini menjadi besar) sudah beberapa kali melaporkan perilaku perselingkuhan suaminya hingga KDRT pada pihak yang berwenang.
Alih-alih mendapat pendampingan psikologis dan juga dukungan, laporan-laporan AP pada saat itu hanya direspons secara terpisah. MHA sebagai terlapor hanya dijatuhi sanksi penjara selama 8 bulan pada tahun 2023 lalu.
Baca juga: Korban Makin Rentan, Dilema ‘Spill the Tea’ Kasus Kekerasan Seksual
“Pengungkapan di medsos adalah bagian dari hak kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap orang, termasuk korban. Namun, kerap karena kondisi korban yang belum mendapatkan pendampingan pemulihan psikologis, jadilah korban mengungkapkan emosi-emosi negatif seperti marah, prasangka ataupun tuduhan tuduhan. Speak-up-nya korban melalui media sosial juga tidak dapat dilepaskan dari respons lembaga lembaga yang berwenang dalam memenuhi hak atas keadilannya,” ucap Amik pada Magdalene.
Persoalan AP adalah persoalan struktural. Menurut Amik, apabila kasus sebelumnya dapat direspons secara baik oleh lembaga terkait, AP mungkin bisa mendapatkan pendampingan yang memang ia perlukan. Dengan begitu, ia dapat berdiskusi dan juga mencegah semua kemungkinan yang bisa memperburuk situasi hidupnya.
“Untuk mengunggah di medsos, memang sebaiknya korban berdiskusi dengan pendamping. Hal ini penting untuk mencegah serangan balik yang akan memperburuk kondisi korban,” tambah Amik.