Issues Safe Space

‘Stalking’ Adi ke N adalah Kekerasan Bukan Dedikasi, Setop Normalisasi! 

Selama sepuluh tahun, N dikuntit oleh Adi. Beberapa warganet menyebut obsesi itu sebagai dedikasi mengejar cinta.

Avatar
  • May 22, 2024
  • 8 min read
  • 3577 Views
‘Stalking’ Adi ke N adalah Kekerasan Bukan Dedikasi, Setop Normalisasi! 

N, 27, enggak menyangka hidupnya akan diteror cuma karena gestur sederhananya pada laki-laki sepuluh tahun silam. Perempuan asal Surabaya yang namanya sedang viral di X itu diganggu Adi Pradita, teman satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terobsesi dengan dirinya. Kejadian bermula saat N memberi Adi uang sebesar Rp5 ribu karena tak membawa uang bekal (sangu). 

N memberi uang tersebut tanpa ada perasaan apa pun kepada Adi. Itu murni karena ia peduli kepada Adi sebagai teman yang katanya pendiam, tidak punya kawan, dan jarang ke kantin. Sejak saat itu, kepedulian N disalahartikan oleh Adi dan perlahan rasa suka berubah jadi obsesi. 

 

 

Melansir dari Tempo.co, suatu malam, Adi menunggu di depan sekolah karena ingin menemui N yang habis latihan pasukan pengibar bendera (paskibra). Adi juga berdiam diri di depan rumah N semalaman dan melempar surat ke depan beranda. Puncaknya, ketika N mengucapkan terima kasih kepada Adi yang mengirimkan ucapan bela sungkawa saat ayahnya wafat pada 2015, Adi mulai menguntit N melalui media sosial. Adi membuat ratusan akun Instagram dan X lalu terus-menerus mengirimkannya pesan. Merasa tak puas, Adi juga membeli kartu SIM untuk meneror N. 

N frustasi. Setelah sepuluh tahun diteror kutip Tirto.id, ia akhirnya melapor polisi pada (17/5) lalu. Cuma selang satu hari, Adi ditangkap Polda Jawa Timur. Kasubdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Charles P. Tampubolon menjelaskan, telah menelusuri jejak digital, identitas, dan keberadaan Adi Pradita, lalu menangkap dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. 

Baca Juga: Laporan Khusus: Babak Demi Babak Mengapa Satgas PPKS UI Mundur 

Stalking itu Kekerasan 

Kasus N viral di X, Instagram, hingga TikTok. Banyak warganet merasa berempati dan lega ketika Adi akhirnya ditangkap pihak berwajib. Namun, tidak sedikit pula yang melihat kasus penguntitan ini dengan pandangan berbeda. 

Di X sendiri, masih ada yang menganggap tindakan Adi sebagai bentuk dari dedikasi cinta pada seseorang. Adi yang tidak pernah mundur mengejar N dengan seribu satu caranya dinilai “mengagumkan”. Bahkan ada cuitan di X yang mencapai lebih dari 56.000 likes yang menyebutkan, tindakan Adi membuka toko sandal di Shopee untuk modal nikah dengan N, sebagai “dedikasi yang tidak main-main”. 

Pandangan macam ini cukup problematik karena mengaburkan batasan antara cinta dan kekerasan. Penguntitan sebagai tindakan utama dalam obsesi tidak ada hubungannya sama sekali dengan cinta. Sebaliknya, penguntitan adalah kekerasan berbasis gender

Dalam penelitian berjudul Stalking as a gender-based violence (2018), Katy Proctor menjelaskan walaupun penguntitan bisa menimpa perempuan dan laki-laki (seperti yang terjadi di Baby Reindeer), proporsi korban terbanyak tetap mengarah pada perempuan. Badan Statistik Australia melalui The Personal Safety Survey (PSS) menemukan pada 2021-2022 di antara orang dewasa yang pernah mengalami penguntitan sejak usia 15 tahun lebih dari 9 dari 10 (94 persen atau 1,9 juta) adalah perempuan yang dikuntit oleh laki-laki. 

Di Jepang bahkan sampai ada produk hukum anti-penguntitan atau Anti-Stalking Control Law (Act No. 81 of 2000). Produk hukum ini melansir penelitian yang Hastings International Comparative Law Review pada 2003 hadir karena maraknya kasus penguntitan di Jepang di mana sebagian besar korban adalah perempuan dan pelaku adalah laki-laki. Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Kepolisian Nasional (NPA) dalam enam bulan setelah pemberlakuan undang-undang tersebut, polisi menerima lebih dari 9.000 pengaduan penguntitan. Dari para korban, 88,8 persen adalah perempuan, dan 88,4 persen penguntit adalah laki-laki 

Perempuan sebagai korban menerima berbagai macam teror selama penguntitan terjadi. Mulai dari panggilan telepon, pesan teks, pengancaman, penyebaran rumor, perekaman tanpa persetujuan, hingga peretasan akun. 

Dengan proporsi perempuan korban yang lebih banyak, Proctor bilang penguntitan sebagai kekerasan berbasis gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuasaan berbasis gender, norma-norma gender yang kaku, dan diskriminasi berbasis gender. 

Pelaku yang mayoritas laki-laki sedang mempraktikkan kuasanya pada perempuan. Lewat kuasa yang selama ini juga diajarkan masyarakat sebagai bentuk maskulinitas tertinggi, pelaku punya rasa memiliki hak (entitlement) terhadap perempuan. Mereka ingin mengontrol setiap jengkal kehidupan korban, menakut-nakuti, dan melecehkan hingga korban merasa tidak berdaya dan akhirnya tunduk. 

Ketika seseorang sudah berkata tidak – dalam hal ini menolak memberikan konsen atau persetujuan, maka tindakan dilakukan di luar kehendaknya, sudah masuk dalam kekerasan. 

Tak kalah pentingnya menurut Mert H. Akgün, peneliti hukum dan hak asasi manusia di SETA Foundation dalam Politics Today, seperti pada sebagian besar kekerasan terhadap perempuan, pelaku penguntitan tidak menganggap perilaku tersebut sebagai kekerasan. Inilah kemudian mengapa penguntitan hampir selalu berujung pada eskalasi kekerasan lain dengan bentuk-bentuk yang lebih beragam pula. 

Dalam kasus N, penguntitan yang dilakukan Adi di luring akhirnya berpindah pula ke ruang digital. N mengalami Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) tidak hanya lewat pelanggaran privasi (infringement of privacy) karena kerap diteror dengan ratusan akun dan telepon dari puluhan SIM yang Adi punya, tetapi ia juga mengalami cyber harrassement. Dalam bentuk kekerasan ini, Adi kerap kali mengirim pesan cabul tentang fantasi seksualnya terhadap N, mengirim foto tertentu, serta video alat kelaminnya. 

Baca Juga: Ruang Aman Internet adalah Hak Semua Bangsa, Kecuali LGBTQIA+ 

No Means No 

Di tengah teror Adi, N sempat melawan. Ia sudah melakukan berbagai hal untuk menghindari dan menghentikan teror itu. Ia beberapa kali mencoba mengabaikan pelaku, melabraknya balik, sampai berpura-pura sudah bertunangan dengan tentara dengan asumsi Adi bakal takut dan mulai menjauhinya. 

Namun bukannya berhenti, teror Adi semakin menjadi. Penguntitan Adi pun berimbas pada kesehatan mental N. Ia bercerita bagaimana ia sempat stres berat karena frustasi akibat perbuatan Adi. “Aku stres, ngamuk, ngamuk, nangis kaya orang gila,” curhatnya. 

Sudah dibuat stres akan perilaku Adi, sebagian warganet tak otomatis memosisikan Adi sebagai pelaku. Lagi-lagi yang mereka lihat adalah dedikasinya yang berulang kali ditolak, tetapi tetap cinta mati dan berusaha mendekati N. Normalisasi tindakan ini memperlihatkan bagaimana dalam keadaan apa pun, perempuan harus menerima tindakan yang dilakukan laki-laki walau itu termasuk kekerasan. 

Ketika seseorang sudah berkata tidak – dalam hal ini menolak memberikan konsen atau persetujuan, maka tindakan dilakukan di luar kehendaknya, sudah masuk dalam kekerasan. 

Ironinya, pemaknaan kekerasan dalam penolakan ini tak pernah dianggap serius atau bahkan tidak dipahami sama sekali. Kenapa bisa demikian? Konselor dan akademisi Suzanne Degges-White dalam Psychology Today mengatakan, kesulitan untuk memahami penolakan (dalam kasus ini oleh laki-laki), didukung oleh konstruksi budaya patriarki. Bahwa laki-laki adalah sosok yang kuat dan percaya diri dalam situasi apa pun. Karena itu, laki-laki melihat penolakan sebagai tantangan terhadap maskulinitasnya. 

Sebagai respons untuk membuktikan dan melindungi maskulinitas, mereka bersikap agresif—dalam hal ini membuktikan untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkan. Ini termasuk menjalin relasi romantis dengan perempuan yang mereka sukai. Konstruksi ini tambah Chris Hafen, peneliti di Virginia Adolescent Research Group (VARG) di University of Virginia bilang dalam wawancaranya di qz sudah diajarkan sejak dini. 

“Masyarakat kita jauh lebih nyaman dengan anak laki-laki yang bermain-main dan menginisiasi tindakan, sedangkan kita mendorong anak perempuan untuk bersikap kooperatif,” kata Hafen. 

Kemudian ketika sampai pada titik romantis, anak laki-laki merasa bahwa mereka diharapkan untuk menginisiasi suatu tindakan yang membuat mereka secara alami berasumsi bahwa mereka harus menjadi pihak yang agresif.  Agresi jadi suatu yang terasa lebih nyaman bagi anak laki-laki daripada memproses emosi mereka secara verbal. 

“Anak laki-laki dikondisikan untuk percaya bahwa mereka tidak boleh menunjukkan kesedihan atau kekurangan, bahwa itu adalah hal yang lemah mereka disosialisasikan untuk percaya bahwa permusuhan dan agresi adalah satu-satunya respons yang jantan,” ungkapnya. 

Jadi ketika laki-laki mengalami penolakan, secara otomatis akan mengatasinya dengan agresi. Gagal bukanlah pilihan dan salah satunya termasuk dalam urusan percintaan. Budaya populer sayangnya makin melanggengkan dan menormalisasi tindakan ini dengan mengajarkan pada laki-laki agar ‘tidak menyerah’. Kita bisa melihatnya pada salah satunya karakter Noah Calhoun (Ryan Gosling) dalam The Notebook (2004). 

Dalam artikel Magdalene sebelumnya, dijelaskan beberapa kali, Calhoun mengajak Allie Hamilton (Rachel McAdams) berkencan. Ajakan tersebut tapi disambut penolakan oleh Hamilton. Calhoun yang ditolak kemudian cenderung berperilaku manipulatif supaya Hamilton mau diajak kencan. 

Sudah diajarkan sejak dini dan kemudian dinormalisasi oleh budaya populer yang sudah jadi makanan sehari-hari, membuat kekerasan jadi satu-satunya bahasa yang dipahami laki-laki. N memang tidak terenggut nyawanya karena tindakan Adi, tetapi di luar sana banyak perempuan yang mati terbunuh karena normalisasi tindakan ini.   

Baca juga: Neraka Jurnalis Perempuan: Kena KBGO, Tak Dilindungi Perusahaan Media

Psikolog klinis Dr Rajat Mitra dalam wawancaranya bersama The Times of India mengatakan, kasus-kasus kekerasan ekstrem terhadap bermula dari ketakutan para laki-laki akan penolakan di mana maskulinitas mereka ini dipertaruhkan di hadapan perempuan yang tegas akan batas-batasannya. 

“Para laki-laki yang saya ajak bicara dalam terapi – mereka yang telah melukai dan membunuh perempuan – telah mengakui satu hal. Mereka sebenarnya takut identitas tersebut runtuh dan untuk mendapatkan kembali kendali, mereka menggunakan kekerasan ekstrem,” jelasnya. 

Dengan demikian, secara tegas kita harus memulai memaknai penolakan sebagai apa adanya. No means no. Penolakan perlu diajari sebagai bagian dari kehidupan. Laki-laki harus didorong untuk merasa nyaman dengan perasaan sedihnya soal penolakan dan berbicara tentang perasaan itu. Penolakan seseorang bukanlah pernyataan tentang harga diri atau kejantanan. Sehingga, ketika penolakan datang, mereka tak lagi mengasosiasikannya sebagai penghinaan. Yang terpenting, mereka tak lagi harus menganggap agresi jadi jalan satu-satunya yang bisa mereka lakukan. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *