Issues Politics & Society

Ruang Aman Internet adalah Hak Semua Bangsa, Kecuali LGBTQIA+

Internet tak pernah jadi ruang aman untuk kawan-kawan LGBTQIA+. Riset Remotivi membuktikannya.

Avatar
  • June 16, 2023
  • 10 min read
  • 1172 Views
Ruang Aman Internet adalah Hak Semua Bangsa, Kecuali LGBTQIA+

Stacey Nikolay, content creator yang dikenal lewat konten memasak di Instagram dan TikTok, mesti mempertaruhkan keamanannya cuma karena ia queer. Ia bercerita betapa sering jadi bulan-bulanan warganet. Videoya pernah dilaporkan massal (mass report), sampai di-take down dari TikTok. Akun Instagramnya juga kena shadow banned (konten tidak akan muncul di feed, explore, atau halaman tagar siapa pun).

Enggak cuma itu, video Stacy pernah sengaja diunggah kembali oleh warganet di Twitter untuk bahan cacian. Kolom komentar dan DM Instagramnya jadi penuh dengan ujaran kebencian hingga membuatnya kehilangan 20.000 followers di waktu bersamaan.

 

 

“Heran banget lho padahal kita cuma masak pudding. Pegangan tangan aja enggak tapi aku dapat hate speech di comment, DM, masuk Twitter juga sampai beberapa kali dibilang ‘Enggak pantes lo ada di negara ini. Keluar aja dari sini’, gitu,” cerita Stacey dalam diskusi soal pembatasan ekspresi dan serangan digital pada kelompok LGBTQIA+ yang diselenggarakan Remotivi, (10/6).

Perundungan yang lebih parah lagi pernah dialami Gunn Wibisono. Ia dikenal sebagai sosok yang banyak memberikan edukasi tentang LGBTQIA+ di TikTok. Saat ia menaikkan konten tentang penerimaan ibu terhadap anaknya yang seorang gay, videonya dapat engagement tinggi sebanyak 7 juta views. Namun, dari engagement ini, ia mendapatkan ancaman pembunuhan dan mengalami doxing.

“Dari situ saya menerima 30 ancaman pembunuhan. Alamat rumah saya di-spill di komentar, saya lapor ke platform tersebut tapi akun saya malah ditake down. Jadi kaya victim blaming, kapitalis banget tidak peduli dengan individu-individu platform mereka,” kata Gunn.

Baca Juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu

Ruang Digital Bukan untuk Semua

Pengalaman Stacey dan Gunn yang mengalami persekusi di internet, bukan satu-satunya kasus yang terjadi. Dalam laporan terbaru Remotivi, Menjadi Queer di Internet: Pembatasan Ekspresi dan Serangan Digital Terhadap Individu dan Kelompok dengan Ragam Gender dan Seksualitas di Indonesia (2023), ruang digital sampai saat ini memang belum jadi tempat yang aman bagi kelompok LGBTQIA+. Mereka masih didiskriminasi, baik secara vertikal maupun horizontal.

Dalam diskriminasi vertikal, kelompok LGBTQIA+ kerap mengalami pembatasan akses dari penyedia layanan Internet dan platform media sosial. Hal ini mulai dari pemblokiran situs, penghapusan atau penurunan (take down) konten secara paksa di media sosial, hingga penghapusan akun (account suspend).

Dalam pemblokiran, media SuaraKita mengalaminya sebanyak tiga kali. Awalnya para pegiat SuaraKita beranggapan tidak bisa diaksesnya situs mereka hanya karena masalah teknis biasa. Namun, dalam rentang 2-3 hari setelah menelepon customer service, salah satu penyedia layanan internet, situs mereka kembali tidak bisa diakses.

“Dari XL berkata mereka melakukan pemblokiran karena SuaraKita dianggap melanggar konten yang disyaratkan oleh departemen Kominfo waktu itu, disebut mengandung pornografi. Padahal kami tidak menampilkan konten-konten telanjang, atau konten porno, dan sebagainya,” ucap salah satu pegiat SuaraKita yang dirahasiakan namanya.

Lalu untuk take down sendiri, sebanyak 27 persen dari responden survei daring kelompok umum (kelompok yang cenderung lebih aktif mencari dan membagikan informasi seputar SOGIESC dan aktif terlibat dalam kampanye sosial) menjawab, konten mereka pernah diturunkan oleh platform media sosial. 

Sebanyak 36 persen menjawab, konten mereka yang di-take down adalah konten yang menunjukkan dukungan terhadap keragaman identitas gender dan orientasi seksual. 13 persen lainnya ada konten bersama pasangan, dan 5 persen sisanya konten yang bercerita mengenai identitas gender dan/atau seksualitas mereka, seperti proses transisi dan proses melela (coming out).

Hampir sama dengan alasan pemblokiran situs SuaraKita, konten yang di-take down oleh platform media sosial umumnya didasarkan oleh alasan karena konten tersebut merupakan konten yang bernada seksual/pornografi, konten yang melecehkan orang lain. Bahkan sebanyak 10 persen juga mengaku tidak mendapatkan penjelasan mengenai alasan content take down oleh platform yang bersangkutan.

Persekusi LGBTQIA+ di Ruang Digital

Selain mengalami diskriminasi vertikal atau top down dari penyedia jasa layanan internet dan platform media sosial, kelompok LGBTQIA+ juga rentan mengalami diskriminasi horizontal. Maksudnya, diskriminasi yang dilakukan oleh sesama pengguna internet.

Bentuknya pun beragam, dari serangan digital seperti persekusi dan perundungan siber atau cyber bullying, hacking, pencurian identitas, hingga doxing

Dalam laporan Remotivi, sebanyak 50 persen responden kelompok umum dan 57 persen responden kelompok rentan akses Internet menjawab, pernah mengalami perundungan siber yang terkait dengan identitas gender dan/ atau orientasi seksual mereka.

Berita duka cita pun dalam laporan Remotivi jadi salah satu unggahan yang sering kali menjadi sasaran perundungan dan ujaran kebencian. Bentuk perundungan biasanya memanfaatkan dan mereproduksi stigma-stigma mengenai kematian mereka. Salah satunya tentang bagaimana ketika individu LGBTQIA+ meninggal.

“Kami di [nama kota di Nusa Tenggara Barat] juga mengalami hal itu. Ketika kit posting teman komunitas yang meninggal, kami distigma dan didiskriminasi. Mulai dari, ‘Meninggalnya karena AIDS, ya?’ ‘Meninggalnya karena homo ya?’ dll,” ucap AF, Transpria Gay dari Nusa Tenggara Barat.

Baca juga: Penyebaran Konten Intim dan Jalan Panjang Korban Dapatkan Keadilan

Remotivi juga menemukan kerentanan yang dialami oleh kelompok trans (transpuan dan transpria) ternyata lebih besar dibandingkan dengan kelompok dengan identitas gender dan/ atau orientasi seksual lain. Kerentanan ini dipicu oleh penampilan yang lebih visible.

Sebanyak 71 persen transpuan dan 63 transpria melaporkan kerap mengalami cyber bullying. Ini kemudian disusul dengan lontaran panggilan kasar (34 transpuan dan 22 transpria) dan ancaman di media sosial lebih dari 5 kali (17 persen transpuan dan 13 persen transpria).

Persekusi digital ini sayangnya banyak berujung pada persekusi secara langsung. Menurut Remotivi, media sosial sering digunakan sebagai alat untuk tracking dan memantau aktivitas kelompok LGBTQIA+ untuk kemudian dilaporkan kepada aparat yang mempersekusi mereka.

Hal ini bisa dilihat dari kejadian group Manguni 123 Lovers di Facebook yang melaporkan setidaknya 3 pengguna kepada otoritas setempat dan berakhir dipanggil aparat.

Selain itu ada pembatalan acara pemilihan Mister & Miss Gaya Dewata yang diselenggarakan oleh komunitas gay dan transpuan di Bali. Pihak hotel kala itu ditekan oleh para pengguna media sosial acara tersebut sebagai “Pesta Kaum Laknat di Bali”.

Hukum yang Tak Berpihak

Diskriminasi sistemik yang dialami oleh kelompok LGBTQIA+ menimbulkan pertanyaan: Apa sebenarnya yang melandasi kebencian ini? Untuk menjawab pertanyaan itu, peneliti Remotivi mencoba menjelaskannya lewat doktrin konservatisme agama. Mengutip dari penelitian Sexual Minorities (2014) oleh Geoffrey Ream dan Eric M. Rodriguez, doktrin konservatisme agama mengutuk eksistensi keragaman identitas gender dan orientasi seksual dengan menganggap ketertarikan dan perilaku seksual “sesama jenis” merupakan hal yang salah dan imoral.

Kelompok dengan keragaman identitas gender dan/atau orientasi seksual juga dikontekstualisasikan dalam bahasa-bahasa terkait “dosa” dan “konversi” dan dikaitkan sebagai “pembawa bencana” dan “penghuni neraka” (ini terlihat dari temuan dalam diskusi kelompok Remotivi). Oleh kelompok konservatif agama, konteks agama dan keragaman identitas gender dan/atau orientasi seksual dianggap sebagai dua hal yang berseberangan dan tidak bisa disatukan sehingga patut dicurigai bahkan dilawan.

Konservatisme agama ini sayangnya pasca-Reformasi relatif mengakar di masyarakat Indonesia, bahkan menjadi bagian dari politik Islam di Indonesia. Ini termanifestasi dalam kebijakan-kebijakan atau produk-produk hukum yang tidak berpihak atau mendiskriminasi perempuan dan kelompok rentan serta minoritas lainnya seperti LGBTQIA+. 

Tunggal Pawestri dari Yayasan Hivos mengatakan, ini terlihat sekali dari Undang-Undang (UU) Nomor 44 tentang Pornografi Tahun 2008. Menurut Tunggal dalam UU Pornografi ini, ada satu pasal yang selalu dipakai untuk mempersekusi kelompok LGBTQIA+ di ruang digital. Adalah Pasal 4 Ayat (1) yang dalam penjelasannya secara rinci dituliskan, persenggamaan menyimpang yang dilarang karena mengandung pornografi adalah anal seks, lesbian, dan homoseksual.

Baca Juga: Saya Takkan Pernah Dianggap Manusia: Trauma LGBT di Lingkungan Agama

Dengan pasal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang memang diberikan kewenangan untuk mengatur cara pemblokiran konten Internet negatif, termasuk konten pornografi akhirnya melakukan pemblokiran atau take down pemblokiran dan/atau penurunan konten. Tunggal melanjutkan, UU ini kemudian juga diperparah dengan peraturan turunan dari Kemenkominfo sendiri.

“Akhirnya banyak peraturan turunan yang dibuat Kemenkominfo. Kita lihat dari penanganan internet sehat yang tercantum dalam Permenkominfo Nomor 19 Tahun 2014 lalu Peraturan Menteri (Permen)kominfo Nomor 5 Tahun 2020,” kata Tunggal.

Perkominfoninfo Nomor 5 Tahun 2020 ini misalnya memberikan kewenangan yang luas, bahkan berlebih ke pemerintah untuk mengatur aktivitas PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik), moderasi informasi, mengakses data pengguna atau juga percakapan pribadi, hingga pemutusan. Dengan aturan-aturan  turunan inilah, Kemenkominfo juga punya peran dalam memberikan kuasa pada masyarakat untuk mempersekusi kelompok rentan. 

“Pemerintah meminta masyarakat aktif melaporakan. Masyarakat dijadikani mata-mata negara” berdasarkan suka dan ketidaksukaan mereka terhadap kelompok LGBTQIA+ yang sayangnya dilandasi prasangka dan stigma. (Kondisi ini) diperparah dengan informasi yang minim terkait isu gender dan seksualitas,” tegasnya. 

Dengan landasan hukum yang mengikat dan dipandang sebagai sesuatu yang objektif, enggak heran jika penyedia layanan internet pun ikut serta dalam melanggengkan diskriminasi. Ini termasuk memblokir situs SuaraKita dan platform media sosial serupa lainnya.

Zara Aisyah Fauziah dari Sanggar Swara mengatakan, TikTok enggak memberikan ruang aman bagi para kelompok LGBTQIA+. Ini terlihat dari pengalaman transpuan yang dikatakan Zara live video TikToknya yang tiba-tiba diberhentikan, kontennya di-take down, dan cyber bullying di kolom komentar yang tak diacuhkan oleh pihak TikTok.

“Temen-temen transpuan speakup, bikin konten makeup tutorial dengan disisipin edukasi SOGI tapi hate comment platform ini enggak di-filter. Live-nya tuh suka tiba-tiba diberhentikan terus konten di-takedown dengan alasan pornografi,” jelas Zara.

Beruntung ada salah layanan jejaring media sosial yang berusaha melakukan menjadikan ruang digital sebagai ruang aman untuk semua. Adalah Meta atau yang dulu dikenal dengan Facebook. 

Dalam pemaparan Dessy Septiane Sukendar, Policy Program Manager Meta Indonesia terlihat bagaimana Meta punya komitmen untuk membangun ruang digital aman untuk semua orang untuk berekspresi dan membangun komunitas termasuk kelompok LGBTQIA+.

Meta mempunyai standar komunitas yang di dalamnya terkait kebijakan anti kekerasan, pelecehan atau harassment, bullying termasuk kepada kelompok LGBTQIA+. 

Standar komunitas ini diterjemahkan melalui moderasi konten digital di platform-platform digital Meta tidak hanya dari para pakar di Meta sendiri tapi dari mitra di seluruh dunia termasuk mereka yang aktif mengadvokasi hak-hak LGBTQIA+.  Ini terlihat dari mekanisme moderasi konten di Meta yang juga diatur dalam mekanisme Oversight Board.

“Pada 2021 kita memfasilitasi semacam board of director yang memberikan keputusan terkait kasus-kasus yang sangat grey. Jadi keputusannya tidak bisa diputuskan oleh Meta sendiri. Board ini diisi dari aktivis, NGO, lawyer yang bergerak di bidang hak-hak berekspresi, sehingga bisa memberikan arah apa yang harus kita ganti di kebijakan kami,” kata Dessy.

Hal ini berguna pada kasus pelaporan cyber bullying atau hate speech yang dilontarkan ke pengguna yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari LGBTQIA+.

Meta dalam hal ini memiliki dua jalur pelaporan. Pertama, yaitu pelaporan yang akan mudah dideteksi oleh Artificial Intelligence (AI) yang sudah dibekali dengan database. Kedua, case by case moderation di mana kasus pelaporan akan dimoderasi dengan para pakar di Meta untuk melihat konteksnya secara mendalam.

“Banyak kasus di mana bullying itu dilakukan enggak hanya dengan kata-kata slurs yang umum kita ketahui. Ada juga yang dilakukan dengan kata-kata yang disepakati kelompok. Kalau case seperti ini harus ada manusia yang memahami konteks, makanya pelaporannya kami berikan komentar. Pengguna akan menulis di situ kenapa postingan ini masuk pada bullying dan hate speech, baru dari situ kami tindak lanjuti,” kata Dessy.

Walau Meta sudah memiliki mekanisme sendiri untuk membangun ruang digital aman bagi kelompok LGBTQIA+, masih ada PR besar yang sebenarnya masih menghantui kebebasan berekspresi mereka. Negara masih punya andil besar dalam melanggengkan praktik diskriminasi berbasis hukum yang jadi patokan semua lapisan masyarakat termasuk penyedia layanan internet, platform digital, dan warganet sendiri. 

Karena itu, menurut Remotivi, penting bagi pemerintah untuk mencabut, merevisi, dan/atau menghentikan pengesahan undang-undang yang diskriminatif terhadap keragaman identitas gender dan orientasi seksual. Hal ini termasuk UU Pornografi dan aturan turunan seperti Permenkominfo yang mencatut aturan soal internet negatif dan moderasi konten.

Tunggal secara lebih spesifik menambahkan diperlukan lobi tentang pemaknaan ulang dan mendalam tentang proteksi kelompok rentan dan mengaitkannya dengan demokrasi serta HAM kepada penyedia jasa internet dan platform media sosial. Ini bisa dilakukan oleh para aktivis, pegiat, atau NGO yang bergerak dalam isu-isu HAM dan demokrasi.

“Demokrasi mendalam yang substansial mensyaratkan setiap warga negara punya hak menyampaikan pendapatnya dan berekspresi dengan bebas. Kalau platform medsos dan penyedia internet tidak bisa memberikan ada kelompok yang suaranya tidak bisa terwakili, ini harus disampaikan,” katanya.

Selain itu, Tunggal menambahkan, untuk perkara UU memang mungkin akan membutuhkan proses yang panjang. Karena itu, jalan lain yang mungkin bisa ditempuh adalah mengajak bicara orang-orang di Kemenkominfo yang sekiranya punya pemahaman atau perspektif inklusif. Dengan hal ini, ia berharap perubahan bisa dimulai.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *