Stigma Bayangi Pekerja dengan Gangguan Jiwa
Banyak pekerja dengan gangguan mental tidak mencari pertolongan medis karena takut cemoohan dan penolakan di tempat kerja.
Sepuluh Oktober adalah Hari Kesehatan Mental Dunia dan tema tahun ini adalah kesehatan mental di tempat kerja, di mana para pekerja setiap hari menghabiskan hampir dari setengah waktunya atau lebih.
Gangguan mental umumnya tidak kasat mata seperti penyakit fisik. Apa yang harus kita lakukan di tempat kerja jika kita memiliki kondisi gangguan mental ini? Banyak yang akhirnya absen kerja berminggu-minggu atau lari ke alkohol. Menurut data dari Asosiasi Kesehatan Mental East Tennessee, 26 dari 100 orang pekerja memerlukan fasilitas kesehatan mental dan 12 dari 100 orang pekerja mengalami penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol.
Badan Kesehatan Dunia menyatakan, depresi dan gangguan cemas adalah gangguan mental yang paling banyak ditemui yang dapat berdampak pada kemampuan seseorang dalam bekerja dan produktivitas kerja. Secara global, lebih dari 300 juta orang menderita depresi, yang merupakan penyebab terbanyak disabilitas. Lebih dari 260 juta orang hidup dengan gangguan cemas, dan banyak di antara orang-orang tersebut hidup dengan keduanya. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh WHO memperkirakan bahwa depresi dan gangguan cemas mengakibatkan kerugian ekonomi global sebanyak US$1 triliun per tahunnya karena hilangnya produktivitas kerja.
Banyak pekerja dengan gangguan mental tidak mencari pertolongan ke psikolog atau psikiater karena beberapa hal, termasuk stigma di tempat kerja. Ketakutan akan penolakan di tempat kerja adalah yang utama. Tentunya atasan akan lebih memilih pekerja yang sehat fisik dan mental, bukan? Kepercayaan diri yang dibutuhkan dalam bekerja dapat menjadi alasan untuk tidak memeriksakan diri, meskipun gejala-gejala depresi atau gangguan jiwa lain mulai muncul. Biaya pengobatan yang mahal juga kadang menjadi alasan untuk tidak memeriksakan diri. Nyatanya, mengatasi depresi dapat menghemat $2.000 per pegawai setiap tahunnya lewat perbaikan kesehatan dan produktivitas (termasuk biaya kesehatan mental).
Sebagai seorang dokter dengan bipolar, saya hanya membuka kondisi mental saya pada sebagian teman sejawat di rumah sakit tempat saya bekerja. Karena bahkan di lingkungan profesi kesehatan sekalipun, stigma terhadap kesehatan mental masih ada, dan saya mengalaminya.
Saat itu saya baru saja menyelesaikan program dokter magang di Temanggung, Jawa Tengah, dan seluruh dokter magang dari tiap provinsi diwajibkan untuk mengikuti pengarahan dari Dinas Kesehatan Provinsi dalam rangka pelepasan dokter magang. Lalu dokter magang dari tiap kabupaten diminta untuk memberikan kesan dan pesannya dan saya maju tanpa ragu. Waktu itu saya dalam kondisi hipomania dengan mood dan euforia tinggi, berdandan lebih dari biasanya, dan kepercayaan diri meningkat. Saya baru mengubah warna rambut saya menjadi abu-abu, memakai baju batik oranye dengan bahu terbuka, dan memakai lipstik merah menyala.
Sebelum memberikan testimoni, penampilan saya dinilai oleh salah satu dokter senior yang memberikan pengarahan. Di depan ratusan teman sejawat yang hadir, dia mempertanyakan, apakah penampilan saya pantas sebagai seorang dokter? Seharusnya dokter berpenampilan lebih serius, tidak sok “ngartis” seperti ini, ujarnya. Dokter seharusnya berpakaian lebih formal, berwarna gelap dan tidak mewarnai rambutnya dengan warna mencolok, ia menambahkan. Saya mengatakan bahwa saya sedang ada dalam kondisi hipomania bipolar yang mungkin membuat saya secara tidak sadar merasa harus berdandan lebih menor daripada biasanya.
Alih-alih memberi dukungan, dia mengatakan, apalagi dengan kondisi gangguan mental, apakah saya pantas praktik sebagai dokter? Lalu dia mengancam, dengan posisinya sebagai pejabat, dia bisa dengan mudah tidak memberikan tanda tangan untuk menyatakan selesainya masa magang saya. Saya sontak menangis dan ditarik ke belakang oleh seorang teman untuk menenangkan diri. Setelah itu, sang dokter senior masih terus membahas keadaan saya dan melabeli saya “dokter bipolar”, sampai banyak teman yang mengeluhkan perilakunya saat itu.
Sekarang saya sudah bekerja. Peristiwa tersebut tidak mempengaruhi karier saya. Saya memang pernah ditolak di beberapa tempat kerja karena kondisi mental saya. Apakah hal itu membuat saya takut untuk mengakui jika saya adalah seorang dengan gangguan jiwa di tempat kerja? Tidak tentunya.
Jika saya memutuskan hanya memberitahukan kondisi saya kepada orang-orang yang berkepentingan dalam pekerjaan saja, hal itu untuk membuktikan bahwa saya masih bisa mengontrol penuh kondisi mental saya dengan terapi teratur dan pemantauan ketat psikiater di rumah sakit tempat saya bekerja. Sampai saat ini saya masih merasa berkompeten menjalani pekerjaan saya di rumah sakit dan saya tidak akan ragu untuk mengambil cuti sakit apabila gangguan bipolar saya memburuk.
Saran saya untuk teman-teman yang merasa memiliki gangguan mental apa pun dan telah ada kemunduran fungsi terutama dalam pekerjaan, segeralah mencari bantuan ke psikolog atau psikiater. Sebagai langkah awal, kita harus jujur terhadap diri sendiri bahwa kita memerlukan bantuan profesional. Jika diagnosis kondisi gangguan mental sudah ada, pertimbangkanlah untuk jujur terhadap orang lain, termasuk atasan atau teman sekantor. Memang kondisi kesehatan kita adalah sesuatu hal yang pribadi, tetapi dengan pantauan ketat psikolog atau psikiater, saya percaya kita masih bisa bekerja dengan baik.
Mari bantu melawan stigma gangguan jiwa di tempat kerja meskipun Anda bukan seseorang dengan gangguan mental. Jangan menganggap seseorang dengan gangguan jiwa tidak berkompeten untuk melakukan pekerjaannya karena itu adalah dua hal yang sangat berbeda.
Gangguan jiwa, meskipun memerlukan waktu, bisa kita kontrol dengan bantuan medis dan psikoterapi. Bantulah teman atau bawahan Anda menghadapi kondisi mentalnya, salah satunya dengan menjadi suportif di lingkungan tempat kerja dan jangan membuat lelucon tentang memeriksakan diri ke psikiater karena siapa pun bisa mengalami kondisi gangguan mental, termasuk Anda.
Nurul Safitri adalah seorang dokter jaga IGD di sebuah rumah sakit tipe A pemerintah. Saat ini masih berjuang keras untuk tetap stabil di tengah tekanan pekerjaan dan bipolar tipe 1.