December 6, 2025
Issues Opini

Strategi Orang Tua Lindungi Anak dari Risiko Keracunan MBG

Ketika makanan bergizi gratis justru menimbulkan ribuan kasus keracunan, orang tua menyusun strategi sendiri demi melindungi anak mereka.

  • October 8, 2025
  • 4 min read
  • 683 Views
Strategi Orang Tua Lindungi Anak dari Risiko Keracunan MBG

Hingga akhir September 2025, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat hampir 7.000 kasus keracunan terkait program Makan Bergizi Gratis (MBG) di berbagai sekolah. Alih-alih menjadi solusi, program senilai ratusan triliun ini justru menimbulkan keresahan besar bagi masyarakat, khususnya orang tua.

Sayangnya, respons pemerintah tak kunjung menunjukkan empati. Presiden Prabowo Subianto, misalnya, menyebut angka keracunan hanya 0,00017 persen dari total penerima manfaat, seolah menganggap wajar ribuan anak yang sakit. Menteri Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai, juga ikut menyatakan bahwa keracunan MBG bukan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, padahal program ini secara nyata memaksa anak-anak mengonsumsi makanan yang belum teruji kualitas dan keamanannya.

Respons semacam ini membuat publik semakin gusar. Hanya tokoh seperti mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang bisa mendapat permintaan maaf langsung dari Ketua BGN, Dadan Hindayana, setelah cucunya menjadi korban keracunan MBG. Sementara orang tua lain hanya bisa berharap anaknya baik-baik saja, meski makanan yang disediakan di sekolah belum memiliki standar atau sertifikasi kesehatan yang jelas, seperti dilaporkan oleh KPAI.

Yang lebih memprihatinkan, banyak sekolah yang merasa dipaksa menerima MBG dan mendapat tekanan jika menolak. Maka tak heran jika para orang tua mulai menyusun strategi perlindungan mandiri, berusaha mengakali sistem demi keselamatan anak mereka sendiri.

Baca juga: MBG di Mata Ibu: Anak Dipaksa Menelan Tanpa Rasa Aman

Strategi orang tua menolak dan memanfaatkan menu MBG

Beberapa rekan kerja saya berbagi cara dalam mengajarkan anak-anak menolak MBG. Hal pertama yang mereka lakukan adalah mengedukasi anak-anak mengenai risiko MBG. Berita-berita dari media sosial dan situs berita digunakan sebagai bahan diskusi agar anak memahami mengapa perlu menolak makanan yang dibagikan.

Ada orang tua yang mengatur jam makan anak sedemikian rupa, bahkan menyesuaikannya dengan jam sekolah. Tujuannya untuk memastikan anak kenyang saat tiba di sekolah, agar tidak tergoda menerima makanan MBG.

Beberapa membekali anak dengan camilan, sementara yang lain bekerja sama dengan penjual kantin sekolah. Salah satu rekan saya mengizinkan anaknya mengambil makanan di kantin, lalu membayarnya saat menjemput. Ada pula yang membekali uang jajan agar anak punya alternatif makanan sehat yang bisa dipilih sendiri.

Namun, tidak semua makanan dari MBG langsung ditolak. Misalnya susu kotak, boleh dibawa pulang tapi tidak boleh diminum di sekolah, karena orang tua ingin memeriksa tanggal kedaluwarsa terlebih dahulu. Nasi putih kadang boleh dimakan jika terlihat segar, tapi lauk-pauk tetap dibawa dari rumah. Semua ini adalah bentuk adaptasi untuk memanfaatkan yang masih layak dan menolak yang berisiko.

Sementara itu, anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) menunjukkan respons yang unik. Di Tasikmalaya, sejumlah murid bahkan mengunggah konten memasak ulang menu MBG agar lebih matang dan sesuai selera. Meski kreativitas ini mengundang apresiasi, warganet tetap mengingatkan bahwa risiko keracunan tetap bisa terjadi meski makanan dipanaskan ulang.

Baca juga: Perempuan Pukul Panci, Desak Penghentian Program MBG Sekali Lagi

Intimidasi dan kerugian yang dialami sekolah

Cerita rekan-rekan saya juga mengungkap bahwa tekanan terhadap sekolah benar-benar terjadi. Beberapa sekolah bahkan meminta orang tua menandatangani surat perjanjian yang melarang mereka melapor jika anak keracunan. Ini jelas membuat orang tua marah dan semakin bertekad menjaga anak-anak mereka sekuat tenaga.

Yang juga memprihatinkan adalah dampak program ini terhadap inisiatif lokal yang sudah berjalan baik. Sebuah SD di Surakarta terpaksa menutup dapur sehat yang sudah eksis lebih dari 10 tahun. Dapur itu sebelumnya rutin menyajikan makanan bergizi hasil kolaborasi sekolah dan komunitas. Kini, dapur itu digantikan oleh menu MBG yang kualitasnya dipertanyakan.

Walau BGN menyatakan tidak ada paksaan, kenyataannya banyak sekolah merasa terpaksa menerima program, demi menghindari konsekuensi administratif atau tekanan dari otoritas daerah.

Saya sendiri, jika berada di posisi para orang tua, mungkin akan menerapkan strategi serupa. Bahkan jika perlu, menempuh jalur hukum. Namun, saya juga sadar bahwa tidak semua orang tua memiliki sumber daya yang sama.

Ada yang memiliki akses ke bantuan hukum, ada yang tidak. Ada yang mampu membekali anak dengan makanan sehat setiap hari, ada yang tidak punya cukup uang bahkan untuk uang jajan. Faktor seperti latar belakang pendidikan, waktu luang, dan akses informasi juga sangat berpengaruh.

Baca juga: Makan Bergizi Gratis, Janji Manis Realitas Amis

Dalam situasi seperti ini, wajar bila setiap keluarga memilih jalan masing-masing. Tapi yang jelas, orang tua tidak bisa sepenuhnya berharap pada pemerintah.

Program sebesar ini seharusnya dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, transparansi, dan evaluasi berkelanjutan. Tanpa perbaikan nyata dari para pemangku kebijakan, semua strategi perlindungan ini hanya akan menjadi bentuk perlawanan kecil dari masyarakat yang dibiarkan bertarung sendiri.

Retno Daru Dewi G. S. Putri adalah pengajar bahasa Inggris di Lembaga Bahasa Internasional, Universitas Indonesia. Topik-topik yang diminati oleh Daru adalah isu gender, kesehatan mental, filsafat, bahasa, dan sastra.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Retno Daru Dewi G. S. Putri