December 18, 2025
Issues Lifestyle Opini

‘Duk Duk’ Cobek: Suara Kecil yang Selalu Membawaku Pulang

Hidup di negeri orang, suara “duk duk duk” cobek menjadi jembatan kecil yang selalu membawaku pulang ke dapur, ke ibu, dan ke rasa yang paling akrab di lidah dan di hati.

  • December 2, 2025
  • 5 min read
  • 517 Views
‘Duk Duk’ Cobek: Suara Kecil yang Selalu Membawaku Pulang

Dulu, setiap Minggu pagi, aku punya alarm khusus yang tidak pernah kupasang di ponsel. Alarm itu datang dari dapur: suara “duk duk duk” yang ritmis, pelan tapi mantap. Suara batu beradu itu menembus dinding kamar, menyibak selimut, dan pelan-pelan menarikku keluar kamar.

Di rumahku di Sragen, Jawa Tengah, suara itu selalu identik dengan sosok ibuku. Dari balik pintu dapur, ia berdiri di depan layah dan ulekannya, mengulek cabai, bawang, terasi, dan segala bumbu yang harum bahkan sebelum matang.

Begitu suara itu sampai di telinga, aku biasanya langsung berlari menghampiri ibu dan berseru, “Sambal terasi, ya, Buk!”. Kalimat yang selalu otomatis keluar, seperti kata kunci Minggu pagi. Ibu hanya tersenyum kecil, tangannya tetap bekerja. Tanpa perlu jawaban, aku tahu permintaanku sudah diterima.

Layah dan ulekan, atau cobek di banyak daerah, sudah menjadi benda sakral di rumah kami. Bukan karena mereka harus dimandikan kembang tujuh rupa setiap malam Satu Suro, tapi karena setiap hari mereka punya peran. Di tangan Ibu atau karyawan warung kecil kami, dua batu itu ikut menentukan bagaimana hari berjalan.

Suatu hari, hanya layah yang tampak di meja dapur. Ulekannya hilang. Seketika rumah gempar. Semua orang panik mencari batu kecil berbentuk gagang pintu itu ke setiap sudut rumah. Tak ada ulekan berarti tak ada sambal, dan hari tidak akan lengkap.

Setelah penggeledahan kecil-kecilan, kami menemukannya di tempat yang sama sekali tidak terduga: di dalam wadah es batu, terbungkus serbet putih. Ternyata Bapak mengalihfungsikan ulekan sebagai pemecah es batu. Pernah juga suatu kali, cobek dan ulekan dipakai mengganjal pintu. Benar-benar alat serba guna! Hal-hal sepele seperti itu yang membuatku merasa cobek bukan sekadar alat masak, tapi anggota rumah tangga dengan karakter sendiri.

Baca juga: Nasib Anak Rantau: Tidak Bisa Pulang Setiap Liburan Meski Punya Rumah

Strategi LDR dengan cobek

Pada 2022 aku harus berangkat meninggalkan Indonesia menuju “negeri tirai bambu”. Pergulatan batinku waktu itu cukup besar. Aku bukan hanya akan meninggalkan keluarga dan zona nyaman, tapi juga berangkat di tengah aturan ketat pasca COVID-19. Penerbangan ke Tiongkok sangat terbatas, hanya ada penerbangan kolektif yang diatur oleh KBRI, dengan kuota bagasi yang juga ketat.

Di tengah kerepotan memilah barang bawaan, muncul satu pertanyaan yang mungkin terdengar absurd bagi orang lain, tapi sangat serius bagiku: “Bisakah aku membawa layah dan ulekan legendaris milik ibu?”

Jawabannya, tentu saja tidak. Beratnya saja sudah hampir seperempat dari total bagasi yang diizinkan. Dengan berat hati, aku merelakannya tinggal di rumah. Sebagai gantinya, aku hanya membawa beberapa sachet sambal instan, berharap itu cukup untuk mengobati rindu rasa rumah.

Sambal sachet itu hanya bertahan beberapa bulan. Setelah persediaan habis, kekacauan kecil dimulai. Otakku bekerja keras mencari cara membuat sambal tanpa cobek. Aku bahkan tidak tahu cara menyebut “cobek” dalam bahasa Mandarin, sementara kemampuan bahasaku waktu itu masih nol.

Aku mencoba segala cara: menggilas cabai dengan sendok, menghancurkannya dengan gelas, hingga akhirnya membeli sebuah pot kayu kecil yang biasa dipakai warga lokal untuk menumbuk bumbu. Hasilnya? Sambal yang rasanya “boleh lah”, tapi tidak pernah benar-benar menyentuh rasa yang sama. Selain itu, butuh tenaga luar biasa untuk menghasilkan sedikit sambal, dan alat kayu itu rusak kurang dari tiga bulan karena kupakai terlalu sering.

Suatu hari, setelah sekian lama rindu sambal buatan sendiri, aku berkenalan dengan seorang perempuan Indonesia yang hendak pindah negara. Di tengah obrolan tentang makanan dan dapur, ia berkata santai, “Kalau kamu mau, ambil saja cobekku. Aku enggak bisa bawa.”

Cobek batu itu bentuknya memang mirip pot tumbuk khas Tiongkok, tapi ketika kugenggam, rasanya seperti menemukan harta karun. Berat di tangan, tapi ringan di hati. Untuk orang lain, mungkin itu hanya batu. Untukku, itu tiket kecil untuk pulang.

Foto: Dok. pribadi penulis

Baca juga: Rumah untuk Pulang

Suara yang menghidupkan rumah

Banyak orang yang masih bertanya kenapa aku begitu terobsesi dengan cobek. “Kan bisa pakai blender atau chopper, lebih cepat,” kata mereka. Dan mereka tidak salah. Di negeri orang, blender jauh lebih mudah didapat dan jauh lebih efisien.

Tapi buatku, ini selalu lebih dari soal kepraktisan. Suara “duk duk duk” ketika cabai, bawang, dan terasi bertemu di atas batu selalu membawaku kembali ke Minggu pagi di tempat asal: Ibu di dapur, Bapak membuka warung, dan aku yang menunggu sambal di meja makan. Di apartemen kecilku di Tiongkok, suara itu menjadi jembatan kecil yang menghubungkan masa kini dan masa lalu. Jarak ribuan kilometer seolah menyusut setiap kali batu itu beradu.

Layah dan ulekan, pada akhirnya, mengajarkanku banyak hal. Mereka mengajarkan bahwa rasa tidak pernah lahir secara instan. Ada tenaga yang dihabiskan, ada kesabaran yang dipinjamkan, dan ada waktu yang rela dikorbankan. Selain itu, dalam budaya Jawa, suara cobek kadang disebut sebagai tanda bahwa rumah sedang “hidup”. Karena ada orang di dapur, ada yang menjaga api tetap menyala, dan ada yang memastikan orang-orang di dalamnya pulang ke sesuatu yang hangat.

Dan setiap kali tanganku memegang ulekan, menumbuk cabai di atas batu yang dingin, aku tahu satu hal: di mana pun aku berada, selama masih ada suara “duk duk duk” itu, aku tidak pernah benar-benar sendirian.

Artikel ini merupakan bagian dari serial yang ditulis dan disusun oleh komunitas penulis diaspora Magdalene. Mereka banyak menceritakan soal suka duka hidup di negara asing dan bagaimana mengatasinya saat jauh dari rumah.

About Author

Yanuar Sari

Yanuar Sari adalah lulusan Linguistik yang berkecimpung di dunia IT dan sedang banyak menabung & mengasah skill untuk mewujudkan mimpi-mimpi kecil.