Surat Terbuka untuk Feminis yang Benci Feminisme Religius
Surat terbuka ini menjelaskan mengapa feminisme anti-agama sebenarnya adalah bukan feminisme sama sekali.
Surat ini saya tulis setelah saya harus bersusah-payah membuktikan bahwa sebuah unggahan di laman media sosial sebuah kelompok feminis Indonesia adalah misoginis terhadap perempuan berjilbab.
Unggahan itu sendiri terkait dengan berita tentang seorang atlet Indonesia yang bersikeras untuk memakai jilbabnya di sebuah pertandingan akhirnya didiskualifikasi karena hal itu. Argumen dalam unggahan tersebut menyatakan bahwa perempuan berjilbab seharusnya menuruti saja semua doktrin konvensional yang ada dalam tradisi Islam, dan tidak menuntut kebebasan beraktivitas yang macam-macam karena jilbab datang dengan seperangkat aturan yang tertulis di atas batu. Pendek kata, unggahan tersebut menyatakan bahwa jika ingin bebas melakukan apa saja, janganlah berjilbab.
Pernyataan misoginis tersebut diamini oleh beberapa anggota grup, dan saya pun mempertanyakan mengapa hal yang sedemikian misoginis dapat disetujui begitu saja oleh beberapa orang yang mengaku diri sebagai feminis? Setelah memprotes pernyataan tersebut, saya didapuk untuk membuktikan bahwa unggahan tersebut memang misoginis adanya. Saya pun bertanya-tanya, mengapa saya masih harus membuktikan hal ini? Mengapa hanya beberapa orang saja dalam utas atau thread tersebut yang mampu melihat bahwa unggahan tersebut misoginis, sementara yang lain mengelu-elukannya sebagai sesuatu yang progresif?
Saya sampai pada kesimpulan bahwa pernyataan tersebut dipandang sebagai progresif karena pesan yang mengarah kepada asosiasi “tidak berhijab sama dengan kunci kebebasan” di dalamnya. Dengan demikian, alasan mengapa sebagian orang melihatnya sebagai pernyataan yang progresif adalah karena unggahan itu ditulis dari perspektif tertentu yang mengidentikkan ekspresi keimanan dengan tata-aturan patriarkal. Sebuah kesimpulan yang didukung oleh selarik komentar di bawah unggahan tersebut yang menyatakan bahwa ia (sebagai feminis) tidak percaya akan adanya Muslim feminis.
Sebelumnya, saya sebenarnya sudah banyak menulis soal diskursus orientalis-liberal-sekuler yang sering kali ditujukan kepada mereka yang menganut feminisme berbasis agama, dan bagaimana sebenarnya argumentasi-argumentasi orientalis-liberal-sekuler itu dapat dipatahkan dan tidak tepat. Tapi baiklah, karena sepertinya “feminisme anti-agama” sedang marak di Indonesia, saya menulis surat terbuka ini dengan tujuan menjelaskan mengapa feminisme anti-agama sebenarnya adalah bukan feminisme sama sekali.
- Feminisme anti-agama adalah bukan feminisme karena tubuh feminisme, seperti tubuh perempuan, adalah ruang inklusif yang tidak punya waktu untuk berbagai bentuk eksklusivisme. Ini berarti bahwa ketika seseorang mengaku dirinya sebagai feminis namun ia tidak mau membuka hati dan pikiran untuk memahami prinsip-prinsip feminisme yang dibangun berdasarkan ekspresi keimanan oleh para perempuan lainnya, maka ia bukanlah seorang feminis.
- Feminisme anti-agama adalah bukan feminisme karena warna feminisme, laiknya warna rambut perempuan di seluruh dunia, merupakan hal yang beragam. Ini berarti bahwa segala bentuk elemen utama feminisme seperti pemberdayaan, agensi, kedirian, identitas, seksualitas, dan lain-lain, merupakan bentuk yang beragam dan tidak bisa didikte oleh diskursus hegemonik sekuler-orientalis yang selalu mengesampingkan agama sebagai produk patriarki. Feminis haruslah paham bahwa pelabelan agama sebagai produk patriarki itu sendiri adalah bentuk opresi patriarkal yang ditiupkan oleh roh imperialisme modern.
- Feminisme anti-agama adalah bukan feminisme karena perspektif feminisme, sebagaimana pandangan mata seluruh perempuan di dunia, merupakan perspektif yang selalu mempertanyakan hegemoni dalam segala bentuknya. Ini artinya bahwa feminis harus selalu awas dan waspada akan beragam ideologi yang mereka ikuti, supaya mereka tidak jatuh dalam perangkap pemujaan ideologi. Dalam hal ini, feminisme anti-agama adalah salah satu bentuk paling nyata dari pemujaan ideologi di mana sekularisme dipandang sebagai ruangan kebebasan yang steril dari patriarki, sementara agama dipandang sebagai setan patriarki yang harus dibinasakan. Asumsi ini sama butanya dengan asumsi yang menyatakan bahwa agama adalah satu-satunya solusi untuk memberantas patriarki.
- Feminisme anti-agama adalah bukan feminisme karena perspektif feminisme, seperti halnya telinga seorang perempuan, selalu bersedia untuk mendengar dan merangkul berbagai pengalaman ketubuhan, seksualitas, dan kedirian perempuan dalam berbagai bentuknya, termasuk dalam bentuk keagamaan. Ini berarti bahwa mereka yang mengaku sebagai feminis harus mengedepankan proses mendengar dan berdialog yang mendalam dengan para feminis religius (dan feminis sekuler). Feminis juga harus menghindari jargon-jargon patriarkal seperti “aku tidak percaya feminis Muslim” yang secara langsung mengalienasi, menghapuskan, dan menginjak-injak independensi, pengalaman, dan ketubuhan perempuan yang mengimani agama Islam (dan atau agama-agama lainnya).
Demikian, semoga kita semua selalu terus belajar untuk menjadi feminis yang lebih baik.
Lailatul Fitriyah adalah mahasiswi doktoral Program Studi Agama-agama Dunia dan Gereja Global di University of Notre Dame, AS.
*Ilustrasi oleh Sarah Arifin