Surat Terbuka untuk Ibu Susi Pudjiastuti
Sebuah protes untuk Menteri Susi Pudjiastuti atas komentarnya mengenai pembahasan masalah gender.
Melbourne, 18 Maret 2018
Yth. Ibu Susi Pudjiastuti,
Sejak Ibu dilantik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan oleh Bapak Jokowi, saya banyak sekali mendengar hal-hal positif dan inspiratif tentang Ibu. Saya kagum dengan berbagai kiprah dan semangat kerja ibu. Sebagai sesama perempuan dan sebagai seorang feminis, saya bangga dengan keberanian dan prestasi ibu yang dapat disandingkan dengan, bahkan melebihi, beberapa Menteri laki-laki, dan kita akui saja, we live in a men’s world.
Sampai kemudian, saya membaca artikel di salah satu media daring yang tersebar melalui media sosial, yang mengutip komentar Ibu soal “wanita” yang selalu membahas hal-hal “mengenai wanita.” Artikel tersebut mengutip Ibu berkata, “Tantangan utamanya, kita enggak perlu terus ngomong soal ‘wanita, wanita’. Just do what you want to do. Anda mau disamakan, disetarakan? Stop thinking about women are different.” (Saya kurang paham maksud kalimat terakhir, apakah maksud Ibu “Stop thinking that women are different”? Still, saya masih kurang paham. Saya harap ini hanya kesalahan edit saja). Artikel itu juga melaporkan bahwa Ibu berpendapat apabila kita terus membicarakan masalah gender, seumur hidup masalah itu tidak akan selesai dan kita tidak bisa move on.
Jujur saja saya sempat tidak percaya. Memang saya tidak mengenal Ibu secara pribadi. Saya juga tidak mengetahui pasti apakah ada maksud tersirat dan konteks yang melatarbelakangi komentar Ibu tersebut. Akan tetapi, jika memang benar yang Ibu maksud adalah kita sebagai perempuan tidak perlu mempermasalahkan isu ketidaksetaraan gender yang ada apabila kita ingin benar-benar dianggap setara, saya sangat tidak setuju, Bu.
Mungkin bagi Ibu, ada atau tidaknya diskusi mengenai kesetaraan gender tidak begitu berpengaruh bagi Ibu dan sebagian perempuan lain. Akan tetapi, untuk jutaan perempuan di negara kita, hal itu sangat signifikan. Dulu Kartini menyampaikan harapannya agar perempuan Indonesia bisa bersekolah, dalam bentuk surat-suratnya kepada sahabat beliau di Belanda. Sampai sekarang, dua per tiga masyarakat buta huruf di Indonesia adalah perempuan. Ribuan anak perempuan di Indonesia masih “dipaksa” menikah bahkan sebelum mereka lulus sekolah. Perempuan di Indonesia masih mendapatkan upah yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki pada jabatan dan kualifikasi yang sama. Para korban pemerkosaan dan pelecehan seksual dianggap “meminta” untuk dilecehkan hanya karena berpakaian tertentu atau berada di kawasan tertentu, sehingga mereka kemudian takut untuk melapor. Sebuah jajak pendapat nasional yang dilakukan pada Juli 2017 merangkum bahwa 90 persen kasus perkosaan tidak pernah dilaporkan kepada pihak berwenang.
Para saudari kita yang ingin mengabdi bersama Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus menjalani tes keperawanan yang tidak hanya melanggar privasi, namun juga dapat menimbulkan trauma. Bagi mereka-mereka ini, diskusi dan perjuangan soal gender itu penting, Bu. Bagi saudara-saudara kita ini, kesadaran mengenai kesetaraan gender itu berpengaruh, Bu. Kalau-kalau Ibu belum mendengar, berdasarkan sebuah survei pada 2016, Indonesia menempati peringkat kedelapan untuk negara dengan kesetaraan gender terburuk. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan melaporkan bahwa insiden kekerasan terhadap perempuan bertambah tiga kali lipat dari 2010 ke 2015.
Lain halnya jika yang Ibu maksud adalah jangan hanya bicara saja tetapi juga harus bertindak. Saya sangat mendukung aktualisasi dan realisasi perjuangan kesetaraan gender. Akan tetapi, sebagaimana halnya isu-isu lain, pendapat, pemikiran, argumentasi, dan aspirasi kita perlu disuarakan dan dibicarakan, atau istilahnya, dikomunikasikan. Itu juga merupakan action, lho, Bu. Terutama di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Kita perlu menyadarkan siapa pun di sekitar kita bahwa ketidaksetaraan gender adalah isu yang sangat nyata dan sangat dekat dengan kehidupan bermasyarakat kita. Dengan begitu, kita bisa bekerja bersama mencari solusinya. Seperti isu korupsi saja, deh, Bu. Kalau tidak ada yang menyadarkan kita mengenai adanya korupsi, lantas bagaimana kita bisa menuntaskannya?
Meskipun saya percaya dan menghormati hak Ibu dalam menyuarakan pendapat, saya sebenarnya sangat mengharapkan figur publik yang sangat disegani seperti Ibu dapat turut serta menyuarakan aspirasi kita semua sebagai perempuan untuk mendapatkan kesetaraan sosial. Kalau di bidang saya, peran ini dikenal sebagai influencer. Saya sebenarnya sangat mengharapkan masyarakat kita dapat melihat Ibu tidak hanya sebagai menteri perempuan Indonesia yang sukses dan tahan banting, tapi juga feminis. Menjadi feminis bukan berarti membenci laki-laki, bukan berarti menganggap perempuan derajatnya lebih tinggi, atau semacamnya. Menjadi feminis adalah menjunjung tinggi kesetaraan sosial antara semua gender yang ada, dan memperjuangkan hak-hak asasi yang seharusnya kita dapatkan sejak kita terlahir hingga kita mati. Menjadi feminis adalah memperjuangkan kebebasan perempuan untuk mengekspresikan dirinya tanpa dihakimi atau dicemooh, baik dalam bentuk pilihan hidup, profesi, pakaian, hingga lama waktu yang ia habiskan untuk merawat atau mempercantik dirinya (saya rasa Ibu paham maksud saya di sini).
Demikian surat terbuka ini saya tuliskan. Mohon maaf apabila ada yang kurang berkenan. Semoga Ibu Susi sukses selalu.
Salam hangat,
Dana Fahadi
Dana Fahadi adalah mahasiswi di Monash University, Australia yang sedang mengejar gelar Master’s of Communications and Media Studies. Dana juga adalah seorang feminis yang beraspirasi menjadi seorang penyanyi. Saat ini, Dana sedang berfokus menyelesaikan tesisnya dan menjadi Media and Communication Fellow untuk World Center for Women’s Studies. Dana menghabiskan waktunya luangnya dengan bersantai di pantai, bergelut dengan media sosial, berjalan-jalan, atau menonton ulang Grey’s Anatomy.
*Versi Bahasa Inggris untuk surat terbuka ini dapat dibaca di sini.