‘Survival of the Thickest’, Michelle Buteau, dan Kemampuan Melawaknya
Bagaimana jadinya jika si charming Michelle Buteau jadi peran utama untuk Sex and the City-nya sendiri?
Sejak pertama kali menyaksikan aktingnya di sitkom super-underrated berjudul Enlisted, sosok Michelle Buteau langsung mencuri perhatian saya. Kalau kamu pernah menyaksikan aksinya di peran-peran kecil dalam film-film seperti Someone Great, Always Be My Maybe, Work It, Happiest Season atau Marry Me, pasti kamu setuju dengan saya. Buteau punya energi positif yang adiktif.
Comedic timing-nya sempurna. Line delivery-nya memukau. Saya yakin saya bukan satu-satunya orang yang melihat potensi Buteau karena Netflix setuju dengan opini saya. Tiga dari lima judul film yang saya sebutkan diatas adalah film original Netflix, karena Survival of the Thickest tidak akan dibuat tanpa sosok Buteau di belakangnya.
Baca juga: Review Film ‘Barbie’: Saat Barbie Keluar Kotaknya dan Melihat Dunia Nyata
Diadaptasi dari buku Buteau sendiri, ia memerankan seorang fashion stylist bernama Mavis Beaumont. Dari pembukaannya yang efektif kita diajak melihat bagaimana Mavis bekerja dengan sangat baik. Ia bisa menghadapi mood bosnya yang jungkir-balik sekaligus mengakomodasi keinginan klien yang berubah-ubah. Hari itu juga ia mendapatkan tawaran untuk menjadi lead stylist untuk Lizzo. Happy is an understatement.
Kesuksesan Mavis sejauh ini selalu dikaitkan dengan nama pacarnya, Jacque (Taylor Sele), seorang fotografer terkenal. Mavis sebenarnya tidak keberatan sampai suatu hari ia mendapati kekasihnya yang sudah lama ia pacari tersebut, tidur dengan orang lain. Mavis makin kesal ketika mengetahui bahwa selingkuhannya tersebut adalah “versi kurus” dari dirinya. Mavis pun memasukkan baju-bajunya ke dalam koper dan meninggalkan Jacque. Selamat datang dunia baru.
Bisa Ditonton Sekali Duduk
Kalau kamu rindu dengan tontonan dengan low stakes, minim komitmen dan super light, Survival of the Thickest adalah pilihan tepat. Ketika saya tahu durasi serial ini di bawah setengah jam dan jumlah episodenya hanya delapan, saya gembira bukan main. Ini adalah jenis tontonan tepat untuk otak beristirahat.
Seperti judulnya, tentu saja thesis utama Survival of the Thickest adalah tentang inclusivity. Berita bagusnya, kreator Michelle Buteau dan Danielle Sanchez-Witzel sanggup menggaris-bawahi pesan-pesan mereka tanpa kesan menggurui apalagi ceramah. Ini semua, seperti yang saya bilang di paragraf pertama, bisa dilakukan karena Buteau memiliki kemampuan yang baik dalam disarming the audience. Ia lucu tanpa terlalu banyak usaha dan likeable tanpa banyak tingkah. Yang mengejutkan bagi saya mungkin adalah bagaimana Buteau mengunyah adegan dramatis selayaknya profesional. Penampilan-penampilan singkatnya sebagai cameo atau supporting character di film-film yang saya sebutkan di atas tidak mengakomodir ini. Survival of the Thickest akhirnya menjadi wahana Buteau untuk menunjukkan bahwa dia juga bisa akting.
Baca juga: Film Barbie di Tangan Greta Gerwig, Apakah Bisa Jadi Feminis?
Sebagai sebuah tontonan yang didesain jadi tontonan ringan dan renyah, plot utama Survival of the Thickest adalah tentang menemukan lagi cinta. Saya lega sekali ketika melihat serial ini tidak tertarik dengan tarik ulur cinta yang (sok) ribet. Hubungan Mavis dan love interest-nya, Luca (Marouane Zotti), cukup menggemaskan. Jacque memang mengganggu hubungan mereka, tapi secara keseluruhan dinamikanya tidak semengesalkan Emily In Paris.
Tidak hanya Mavis, dua sahabatnya pun mendapatkan jatah plot yang lumayan dinamis. Khalil (Tone Bell) selain digambarkan sebagai bestie yang suportif, memiliki plot yang asyik dengan gebetannya bernama India (Anissa Felix). Ada plot yang menarik mengenai bagaimana rasanya tumbuh menjadi minoritas yang melibatkan Mavis, Khalil, dan India yang menjadi salah satu episode terbaik Survival of the Thickest.
Satu sahabat Mavis yang lainnya, Marley (Tasha Smith), digambarkan sebagai boss bitch yang tidak punya waktu untuk hal-hal remeh. Di sini Marley mendapatkan kesempatan untuk eksplor soal seksualitasnya. Survival of the Thickest juga memberikan waktu bagi Marley untuk menegaskan hubungannya dengan Khalil. Mereka berdua memang sama-sama bestie-nya Mavis, tapi selain itu mereka tidak punya kesamaan apa-apa. Tapi apakah itu benar?
Baca juga: Cruella dan Cara Disney Menulis Ulang Karakter Antagonis Perempuan
Sebagai serial yang membahas orang-orang keren di New York City, tentu saja Survival of the Thickest memiliki banyak kekurangan. Banyak hal yang saya saksikan di serial ini sudah saya lihat di berbagai tontonan yang serupa (Sex and the City, Younger, How I Met Your Mother, dan seterusnya). Plot karier Mavis yang berpotensi menjadi “sesuatu” setelah beberapa episode berubah menjadi sebuah pengulangan yang tidak lucu. Hubungannya dengan Natasha (Garcelle Beauvais) terasa seperti déjà vu. Terutama buat kamu yang sering menonton romantic comedy. Pola hubungan mereka pasti familiar buat kamu.
Survival of the Thickest mungkin tidak akan mendapatkan musim kedua karena pada akhirnya serial ini tidak memiliki identitas yang ikonik. Emily In Paris, se-generik apa pun kisahnya setidaknya memiliki Paris dan fashion-nya sebagai pemantik. Survival of the Thickest tidak memiliki apa-apa selain kelucuan Buteau yang di atas rata-rata. Tapi ternyata, pada akhirnya, jadi lucu saja tidak cukup.
Survival of the Thickest dapat disaksikan di Netflix