Nasib Perempuan Pekerja: Batas Umur di Loker Lebih Merugikan Perempuan?
Dari batas usia sampai urusan norma, perempuan pekerja di Indonesia hadapi diskriminasi berlapis. Apa yang bisa dilakukan?
Mutia (bukan nama sebenarnya) sedih sekali saat menceritakan pengalamannya ditolak saat melamar kerja. Dari 50 lowongan yang sudah dia coba, hanya lima yang berhasil tembus sampai wawancara. Itu pun tak ada yang berujung sukses.
“Sulit banget ya?” kata Mutia, retorik.
Dari total lima wawancara itu, Mutia selalu terganjal pertanyaan “apakah ada rencana menikah dalam waktu dekat?”.
“Mereka tanya, ‘ada rencana menikah atau tidak?’. Karena aku memang sudah merencanakan pernikahan, aku jawab ‘iya’. Beberapa company bahkan sebut kalau mereka memang enggak mau (ambil risiko) buat kasih cuti hamil kalau memang aku mau menikah,” tambahnya.
Mutia adalah sarjana strata 2 (S2) alias magister dari salah satu kampus negeri di Indonesia. Sebelum sulit mendapat pekerjaan seperti saat ini, sebenarnya Mutia sudah pernah bekerja di salah satu perusahaan rintisan pada divisi Sumber Daya Manusia. Ia tak menyangka, pengalaman kerja serta latar pendidikannya justru sering digagalkan keputusannya ingin menikah.
Baca juga: Cerita #MilenialMenua: Saat Kerja Kerasmu Tak Ada Artinya (Bagian I)
Mutia tidak sendiri. Pengalaman serupa dirasakan Tika (bukan nama sebenarnya) yang telah menganggur tiga tahun karena kesulitan mencari kerja. Ia sempat memutuskan berhenti kerja karena menikah di umur 25. Namun, setelah memutuskan ingin kembali bekerja, Tika selalu terganjal statusnya sebagai ‘istri’.
“Biasanya kalau sudah interview dan tanya-tanya, aku enggak dihubungi lagi. Setiap tahapan tes dan wawancara selalu ditanya juga ada rencana punya anak dalam waktu dekat apa enggak?” kata Tika.
Untuk mengisi waktu, Tika pun nyambi sebagai manajer suaminya yang kebetulan berprofesi sebagai pegawai swasta sekaligus pekerja kreatif lepas.
“Selama tiga tahun itu akhirnya aku jadi manajer buat suamiku. Dia kebetulan penyanyi tapi juga pegawai kantoran. Jadi aku dapat uang gaji sebagai manajer dari job nyanyi dia,” jelas Tika.
Betulkah Lapangan Pekerjaan buat Perempuan Lebih Sedikit daripada untuk Laki-laki?
Ada banyak alasan mengapa perempuan cenderung lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Menurut Tika, hal ini kerap terjadi karena banyak lowongan kerja yang menerapkan batasan usia. Perempuan yang berhenti bekerja sebelum 25 seperti Tika adalah contohnya.
“Kadang aku kesulitan juga karena memang kebanyakan lowongan itu maksimal untuk usia 25 tahun. Batasan umur maksimal di iklan loker ini memang bikin hidup makin susah,” jelas Tika yang kini hampir 30 tahun.
Kata Mutia, selain karena batasan umur, perempuan juga sering dikalahkan laki-laki. Banyak perusahaan secara sengaja lebih memilih laki-laki untuk direkrut ketimbang perempuan. Ia juga merasa beberapa perusahaan bahkan cenderung mencari perempuan pekerja tanpa hijab, bukan seperti dirinya yang mengenakan hijab sehari-hari.
“Aku tuh selalu nemu, di beberapa lowongan, requirementnya itu laki laki. Ada juga yang enggak tertulis referensi gendernya di requirement, tapi pas dicoba, sebenarnya company tersebut prefer laki laki atau perempuan non-hijab,” ucap Mutia.
Dalam sebuah data yang dirangkum CNBC Indonesia, jumlah lowongan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin di Indonesia sendiri memang cenderung berat sebelah. Dari data 2000 hingga 2021, jumlah lapangan pekerjaan untuk laki-laki lebih banyak dalam delapan tahun yang tidak berurutan, yaitu: 2004, 2005, 2007, 2009, 2014, 2015, 2016, 2020.
Baca juga: Maaf, Usia 30 Dilarang Kerja: Ageisme yang Masih Hantui ‘Job Seeker’
Data itu memang menjawab bahwa lapangan pekerjaan tidak selalu lebih banyak untuk laki-laki. Namun, jumlah lowongan pekerjaan yang ada juga bukan berarti yang terbaik buat perempuan. Posisi-posisi yang dibuka untuk perempuan, misalnya bukan tempat-tempat strategis dengan gaji tinggi, atau posisi penentu keputusan.
Riset bertajuk “Bias Gender dalam Iklan Lowongan Pekerjaan”, oleh Safira D Anggita (2022), mebahas hal tersebut. Dalam penelusurannya terhadap iklan-iklan pekerjaan di media sosial, Anggita menemukan bahwa diskriminasi lapangan kerja bagi perempuan masih terjadi.
Pekerjaan yang ditawarkan untuk perempuan nyatanya lebih banyak berkutat di bidang hospitality. Sedangkan untuk laki-laki, kesempatan bekerja yang ditawarkan selalu berhubungan dengan sarana, prasarana, sampai manajemen perusahaan. Posisi manajerial juga lebih banyak ditawarkan kepada laki-laki. Selain jenis pekerjaannya, karakteristik yang menjadi syarat bagi pelamar perempuan pun jauh lebih banyak. Hal ini meliputi syarat belum menikah, berpenampilan menarik, minimal tinggi badan tertentu, sampai lokasi penempatan yang terbatas.
Menurut Hariati Sinaga, Dosen Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia, hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Stereotip yang melekat pada perempuan terkait kerja perawatan, dan juga anggapan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, jadi poin krusialnya.
“Perempuan itu masih dianggap bertanggung jawab penuh terhadap kerja perawatan dan kerja-kerja reproduktif. Sementara, laki-laki akan selalu dikaitkan dengan peran pencari nafkah utama,” ungkap Hariati pada Magdalene.
Baca juga: Perempuan Makin Rentan: Di Balik Syarat Kerja yang Makin Tak Masuk Akal
“Dua hal ini jadi saling berhubungan dengan ketersediaan dan jenis pekerjaan yang ditawarkan kepada mereka (perempuan) gitu. Jadi sebenernya ada stereotip masyarakat yang kemudian memengaruhi pemberi kerja,” tambahnya.
Selain itu, menurut Hariati, stereotip gender juga punya imbas besar pada ketersediaan jenis pekerjaan dan juga pendapatan yang minim pada perempuan. Kesempatan kerja yang tersedia untuk perempuan pun didominasi oleh posisi-posisi yang punya korelasi dengan kerja perawatan. Diskriminasi lapangan pekerjaan pun jadi satu hal yang tidak terelakkan.
“Kerja perawatan itu kan bukan cuma di domestik rumah ya, tapi juga kerja-kerja lain misalnya pendidikan, kesehatan, merawat, atau mendidik gitu kan. Nah karena hal ini, ketersediaan lowongan pekerjaan buat perempuan tentu jadi lebih banyak pada sektor-sektor tersebut. Pendapatannya pun cenderung minim,” tambah Hariati.
Bukan Persoalan Kecil: Kerja Perawatan Harus Diakui Sebagai Pekerjaan
Minimnya kesempatan kerja tentu punya banyak dampak signifikan pada perempuan. Salah satu imbas yang paling mungkin terjadi, perempuan yang juga terhimpit beban ekonomi, pada akhirnya akan terperangkap dalam kerja-kerja informal. Sebab, dalam masyarakat kita, pekerjaan perawatan seperti mengurus rumah, anak, dan bersih-bersih masih sering kali dibebankan pada perempuan, meski mereka juga bekerja di luar rumah.
“Pada posisi-posisi tertentu, perempuan perlu menyeimbangkan kerja-kerja rumah tangga dengan pekerjaan ekonomi produktif. Akhirnya, mereka akan cenderung masuk ke dalam jenis-jenis pekerjaan tertentu yang punya waktu lebih fleksibel seperti kerja-kerja informal,” jelasnya.
Tipe pekerjaan informal sendiri tentu tidak datang tanpa konsekuensi. Jaminan kesehatan yang nihil, eksploitasi jam kerja yang sering terjadi, sampai kerentanan keselamatan bagi perempuan, adalah beberapa persoalan yang melingkarinya. Hal ini tentu jadi alarm bahaya tersendiri bagi para perempuan pekerja .
“Hak-hak ketenagakerjaan yang dimiliki pekerja formal tentu enggak akan dimiliki para pekerja informal. Hal ini mencakup UMP, UMR, sampai perlindungan sosial. Jadi perempuan ini perlu bertanggung jawab sama dirinya sendiri, sementara dia juga pasti punya banyak pengeluaran yang bukan untuk dirinya sendiri, tapi lebih untuk orang lain. Untuk anak atau orang tua, misalnya,” tambah Hariati.
Ariane Utomo atau yang akrab disapa Ririn, Dosen Universitas Melbourne, juga bilang hal serupa. Tidak adanya penghargaan terhadap praktik perawatan membuat jenis pekerjaan ini tidak dinilai sebagai sesuatu yang produktif. Hal ini tentunya merugikan perempuan.
“Selama ini, semakin banyak waktu yang diambil perempuan di luar lapangan kerja (untuk kerja perawatan), semakin banyak akumulasi hal-hal yang sifatnya dilihat pasar kerja sebagai disadvantage, atau sebagai ketertinggalan, atau kalau di sini sebutannya career interruption. Hal ini kan sebetulnya berakar pada penghargaan dan pengakuan yang minim terhadap kerja-kerja perawatan. Padahal, mau enggak mau semua itu harus ada yang ngerjain,” papar Ririn.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021, sekitar 66,36 persen perempuan pekerja adalah pekerja informal. Dengan kata lain, data ini menunjukan bahwa lebih dari setengah perempuan pekerja di Indonesia masih belum memiliki perlindungan yang layak pada sektor ketenagakerjaan.
Menambah perkara kerja informal, minimnya lowongan kerja formal yang kini terjadi juga punya imbas pada beban perawatan karena populasi yang menua. Eva Sundari, Dewan Eksekutif KEMITRAAN, menyebut minimnya kesempatan kerja formal membuat perempuan kian terhimpit karena harus bekerja di sektor informal, dan juga merawat lansia. Belum lagi, sampai saat ini, negara memang belum punya regulasi spesifik terhadap pengurusan kelompok lanjut usia.
“Jangan dilupakan, populasi kita ini semakin menua. Negara belum punya regulasi jelas terkait hal ini. Jadi bisa dibayangkan ke depan, perempuan itu sudahlah terjepit di sektor formal, masuk informal terjepit juga karena rawan eksploitasi, sekarang perlu juga jadi penanggung jawab penuh pengurusan lansia. Tentu itu berat dan berlapis-lapis,” papar Eva.
Pada konteks yang lebih luas, kesenjangan kesempatan kerja pada sektor formal ini nyatanya juga punya pengaruh besar dalam pergerakan ekonomi suatu negara. Di Eropa sendiri, European Commission menyebut kerugian ekonomi yang mungkin terjadi akibat kesenjangan ketenagakerjaan berdasarkan gender bisa mencapai 370 miliar euro per tahun.
Solusinya Apa?
Ada banyak upaya yang bisa dilakukan untuk memberi kesempatan kerja yang sama pada perempuan. Menurut Eva, hal mendasar yang perlu dilakukan terus menerus adalah memperbaiki pola pikir keliru terkait pekerja perempuan yang selama ini ada di tengah masyarakat. Harus ada kampanye masif untuk melawan diskriminasi ini. Hal ini bisa dilakukan dari level individu sampai pemerintah.
“Hal utama yang perlu dilakukan adalah merespons diskriminasinya. Mindset bahwa perempuan tidak boleh memperoleh hak yang sama, atau punya kemampuan yang beda itu perlu didobrak. Ini bisa dilakukan dengan kampanye-kampanye masif di berbagai sektor,” ungkap Eva.
Selain itu, Ririn juga menyebut regulasi-regulasi kecil bisa mulai dimunculkan secara masif di berbagai sektor yang ada. Regulasi ini salah satunya adalah penyediaan tempat penitipan anak bagi orang tua bekerja, khususnya pada area-area urban seperti Jakarta. Pemerintah perlu menaruh perhatian pada hal ini. Selain bisa jadi pendukung produktivitas orang tua, penyediaan layanan ini bisa sekaligus jadi sarana intervensi bagi pendidikan anak.
“Penyediaan early childhood education atau child care itu penting sekali. Apalagi misalnya pemerintah bisa menyediakan layanan ini di daerah-daerah di mana banyak buruh perempuan kerja di pabrik,” kata Ririn.
“Di situ tuh istilahnya bisa sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Produktivitas kerja orang tua meningkat, anak juga bisa dapat intervensi, dari nutrisi yang lebih baik, sampai pendidikan yang lebih oke buat anak-anak usia dini,” jelasnya.