Issues Politics & Society

Anjuran Suswono Janda Kaya Nikahi Pengangguran: Sudah Seksis, Objektifikasi Pula

Celetukan Suswono jadi wujud seksisme politisi lelaki di Indonesia. Padahal janda adalah individu utuh tanpa harus menikah dengan pengangguran.

Avatar
  • November 1, 2024
  • 6 min read
  • 572 Views
Anjuran Suswono Janda Kaya Nikahi Pengangguran: Sudah Seksis, Objektifikasi Pula

Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1, Suswono jadi sorotan pasca-melontarkan celetukan bernada seksis, (26/10). Celetukan itu keluar saat ia dan pasangannya, Ridwan Kamil ditanya soal program kartu bantuan untuk warga Jakarta. Ia berencana menambah lagi kartu bantuan yang akan menyentuh semua kalangan, termasuk janda miskin. 

“Pak, ada kartu janda enggak? Saya pastikan kalau janda miskin pasti ada, tapi masa janda kaya minta kartu juga?” ucap Suswono. 

 

 

Suswono melanjutkan, janda kaya sebaiknya menikahi pemuda pengangguran. Ia mencontohkan kisah Nabi Muhammad SAW dan istrinya, Siti Khadijah. Kata dia, Siti Khadijah merupakan janda yang terkenal sebagai pengusaha kaya raya kala itu. 

“Setuju ya? Coba ingat Khadijah enggak? Tahu Khadijah kan? Dia kan konglomerat. Nikahi siapa? Ya, Nabi waktu itu belum jadi Nabi. Masih 25 tahun, pemuda kan? Nah, itu contoh kayak begitu,” tambahnya. 

Tak butuh waktu lama, celetukan Suswono langsung ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial. Warganet menilai Suswono telah menistakan agama karena secara sadar telah memakai kisah Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah sebagai referensi candaannya. Organisasi Masyarakat (Ormas) Betawi Bangkit, tulis Bisnis Indonesia, bahkan sampai melaporkan dugaan penistaan agama ini ke Polda Metro Jaya. 

Setelah panen kritik, Suswono sendiri meminta maaf kepada publik lewat akun Instagram pribadinya pada (28/10). Dalam video berdurasi tiga menit, ia menyatakan sudah mencabut pernyataan tersebut. 

“Saya menyadari bahwa pernyataan saya dalam pertemuan dengan relawan Bang Japar telah menimbulkan polemik. Atas hal itu, saya meminta maaf sekaligus mencabut pernyataan tersebut,” kata Suswono. 

Ia beralasan, celetukan ini ditujukan kepada seorang warga dari kelompok janda di acara deklarasi Bang Japar, Jakarta Selatan, (26/10). Tidak ada maksud sama sekali untuk menyinggung janda, apalagi mengaitkannya dengan Rasulullah. Ia pun mengakui jika candaannya kurang tepat dan bijaksana. 

“Apa pun penjelasannya, saya sepenuhnya mengakui kesalahan saya,” ujarnya. 

Baca Juga: Bentuk Diskriminasi Gender di Tempat Kerja dan Cara Mengatasinya 

Politisi Lelaki dan Obsesi Mereka pada Janda 

Suswono boleh jadi sudah meminta maaf secara publik, tapi itu saja belum cukup. Ia luput mengakui bahwa candaannya seksis dan mengobjektifikasi janda. Bahkan Direktur Eksekutif Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati, menyebut celetukan Suswono sudah masuk kategori diskriminasi gender berwujud objektifikasi atau komodifikasi perempuan. Perempuan dijadikan objek pelengkap laki-laki saja, dan diakui ketika bermanfaat buat lelaki. 

Khoirunnisa menyayangkan pengakuan atas pernyataan diskriminatif justru tak masuk dalam video permintaan maafnya. Parahnya lagi, Suswono bukan politisi laki-laki yang melontarkan celetukan sejenis soal perempuan. 

“Saya paham di masa-masa kampanye seperti ini semua kandidat ingin menang, ingin menarik banyak simpati publik dengan melakukan segala cara. Sayang yang saya amati politisi laki-laki cenderung melakukannya dengan cara-cara seksis,” jelasnya pada Magdalene, (29/10). 

Ucapan Khoirunnisa bukan cuma isapan jempol. Kampanye seksis khususnya yang mengobjektifikasi janda sempat dilakukan mantan Ketua Komisi II DPRD Pamekasan, Apik pada 2018. Saat mencalonkan diri sebagai calon legislatif (caleg) Pamekasan dari Dapil 2, ia mendorong legalisasi Peraturan Daerah (Perda) Pro-Poligami, dikutip dari Media Lokal.co. 

Dalihnya, perempuan berstatus janda di Pamekasan melimpah. Berdasarkan dara Panitera Pengadilan Agama pada Agustus 2018, jumlah janda di daerah tersebut mencapai 899 orang. Selain itu, populasi antara perempuan dan laki-laki tidak seimbang dengan jumlah perempuan lebih banyak 22.878 dibandingkan laki-laki. Dengan dasar ini, menurut Apik, Perda Pro-Poligami punya tujuan baik untuk mengakomodasi nasib perempuan asal Pamekasan terutama kelompok janda. 

Baca Juga: Mundurnya Jacinda Ardern dan Tantangan Perempuan Pemimpin 

Ide yang sama terlontar oleh Muhammad Basir Qodim, Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPRD, sekaligus Ketua DPC PPP Kabupaten Banyuwangi. Diberitakan oleh Tirto.id, pada 2022 ia mewacanakan Raperda Janda. Isinya mendorong para laki-laki untuk poligami dengan menikahi janda sebagai bentuk perlindungan. 

Basir menjelaskan latar belakang usulan tersebut setelah melihat janda yang bercerai ditinggal suami, enggak memiliki keahlian, sehingga hidupnya serba susah. Selain itu, imbuhnya, jumlah laki-laki di Indonesia lebih banyak ketimbang perempuan. 

“Dan sebetulnya salah kalau undang-undang membatasi istri. Sedangkan perbandingan pria dan wanita saat ini adalah 1:5,” tuturnya dalam kanal Youtube BWI 24 Jam

Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Andy Yentriyani sempat mengkritisi usulan Basir Qodim. Kepada Tirto, Andy mengungkapkan Basir telah mendiskreditkan perempuan karena melekatkan nilai mereka hanya lewat status perkawinan saja. 

“Ini menunjukkan cara pandang yang masih mendiskreditkan perempuan berbasis status perkawinan, pemahaman yang sepenggal tentang kerentanan yang dihadapi oleh perempuan, orang tua tunggal maupun dalam status pernah menikah, dan menguatkan diskriminasi berbasis gender terhadap perempuan,” kata Andy. 

Baca juga: Rancangan Perda Anti-LGBT: Lagu Lama di Musim Pemilu 

Objektifikasi Janda yang Terus Langgeng 

Dalam riset Parker bertajuk “The stigmatisation of widows and divorcees (janda) in Indonesian society” (2016) dijelaskan, objektifikasi janda tak terlepas dari nilai sosial budaya yang mengakar di Indonesia. Bahwa perempuan harus terikat dengan laki-laki melalui pernikahan. Mereka juga harus melahirkan anak dalam ikatan pernikahan tersebut. 

Perempuan yang demikian adalah teladan kebajikan. Dielu-elukan sebagai sosok kesempurnaan feminitas. Sehingga, jika ada perempuan yang menyimpang dari jalan ini–baik karena pilihan, kebetulan, atau keadaan, akan distigmatisasi dan diobjektifikasi. Janda yang secara status “tidak terlindungi” oleh sosok laki-laki heteroseksual, menurut logika budaya Indonesia, tersedia secara seksual.  Anggapan ini pada gilirannya membuat janda semakin rentan mengalami berbagai jenis diskriminasi. 

Riset Monika Winarnita, dkk. Berjudul “Di bawah bayang-bayang ibu: stigma, rasa malu, dan kesempatan sebagai janda” (2019) menyebut, rezim Orde Baru punya andil melanggengkan anggapan ini. Dengan gagasan ibuisme yang direproduksi di ruang-ruang percakapan, institusi pendidikan, dan agama, nilai perempuan direduksi sebatas peran mereka sebagai istri dan ibu. Menjadi istri dan ibu membuat perempuan sukses berkontribusi pada masyarakat dan negara. Dengan demikian, lajangnya perempuan di Indonesia telah dianggap semakin bertentangan dengan nilai-nilai masyarakat. Hal ini menyebabkan stigma yang lebih besar bagi janda. 

Enggak heran hingga kini status janda masih dijadikan bahan jualan para politisi laki-laki. Yang menyedihkan, kata Khoirunnisa, diskriminasi itu semakin memperjelas ketimpangan pemahaman para politisi laki-laki terhadap masalah struktural dan solusi yang seharusnya didorong. 

“Perempuan dianggap sebagai komoditas. Ini masalah struktural dan seharusnya yang didorong adalah memberdayakan perempuan, mendorong aktualisasi diri mereka itu kan harusnya yang diharapkan dari para politisi ini,” kritik Khoirunnisa. 

Dalam kasus Suswono, ketimpangan pemahaman ini juga terlihat dari bagaimana ia luput mengidentifikasi masalah pengangguran pada generasi muda. Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, 6,53 persen penduduk Jakarta menganggur, dengan 70,37 persen di antaranya adalah Gen Z. Dalam laporan Magdalene awal September lalu, tingginya angka pengangguran generasi muda ini salah satunya didorong karena diskriminasi usia pelamar kerja atau dikenal sebagai ageism. 

Banyak lamaran kerja mentok pada batas usia 25 hingga 27 tahun saja. Bahkan terakhir yang sempat viral pada Januari lalu adalah persyaratan rekrutmen Bank BTN untuk posisi General Banking Staff, Customer Service, Teller Service Staff, dan Sekretaris yang dipatok usia maksimal 24 tahun. Satu bulan berselang, Kementerian Ketenagakerjaan sempat membagikan lowongan kerja lewat tagar #LokerNaker di X dengan pembatasan usia maksimal 25 tahun. 

Dalam debat perdana Pilkada Jakarta 2024, ageism ini sempat disinggung dalam salah satu pertanyaan debat. Namun walau sudah pernah disinggung Suswono masih belum bisa memahami dengan baik bahwa ageism ini merupakan masalah struktural yang tentunya membutuhkan solusi berkelanjutan, inklusif, dan adil. Bukannya solusi seksis yang cuma balik pinggirkan perempuan.  



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *