Issues

Tak Melulu Dipaksa, Mereka Punya Alasan Menikah Segera

Faktor pengaruh teman, omongan selebgram, dan kesulitan meneruskan pendidikan berkontribusi terhadap angka pernikahan muda yang terus bertambah baik di desa maupun kota.

Avatar
  • October 18, 2021
  • 5 min read
  • 1051 Views
Tak Melulu Dipaksa, Mereka Punya Alasan Menikah Segera

Mainkan newsgame selengkapnya  di sini, dan selami langsung pengalaman menarik mereka yang nikah muda.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pernikahan muda menjadi topik yang hangat dibicarakan di jagat media sosial. Berbagai narasi mengenai indahnya kehidupan pernikahan muda yang diutarakan selebritas atau selebgram memenuhi beranda media sosial kita dan pencarian Google Indonesia. Misalnya saja per hari ini (20/9), jika kita menulis kata kunci “Nikah muda bahagia”, jumlah pencarian yang kita temukan adalah sebanyak 7.000.000 pencarian dengan pencarian paling atas mengenai 11 keuntungan menikah muda. 

 

 

Sejalan dengan apa yang saya temukan, Rani Hastari dari Yayasan Plan International Indonesia mengungkapkan bahwa jika kita lihat dari segi tren, memang sejak tiga sampai empat tahun belakangan ini banyak anak yang terpapar konten-konten di media sosial selebgram, influencer, dan juga serial yang di dalamnya terdapat bayangan terkait nikah muda yang selalu berakhir happy ending. Untuk dapat secara jelas melihat tren menikah muda ini, Rani menggaris bawahi bahwa kita dapat melihatnya langsung dari bagaimana respon perempuan dalam komentar unggahan para selebriti, selebgram, atau influencer Tanah Air yang melangsungkan nikah muda. 

“Bukan hanya melihat pendapat orang yang melawan hal ini [pernikahan muda], kita juga perlu mencari tahu orang menjalani ini kenapa. Karena menurut saya,  itu hal yang perlu dengarkan juga, jangan sampai kita justru jadi judgemental dalam melihat mereka. Kita harus tahu faktor why-nya,” kata Rani.

Baca Juga: Aisha Weddings: Puncak Gunung Es Pernikahan Anak di Indonesia

Faktor-faktor yang Bisa Mendorong Pernikahan Muda

Rani menyatakan, orang yang tidak ada di lingkaran gerakan anti-pernikahan muda melihat ini sebagai sesuatu yang wajar, bahkan sebagai suatu standar kesuksesan bagi perempuan. Pasalnya, ada anggapan bahwa nilai perempuan dilihat dari dengan siapa ia menikah, kemampuannya untuk menjadi istri, ibu, dan mengerjakan pekerjaan domestik.

Lebih lanjut dalam organisasinya, Rani dan tim mencoba secara langsung mendengarkan suara kaum muda tentang pernikahan muda. Rani mengungkapkan bahwa dari pertemuannya dengan mereka, ia dapat mengidentifikasi sejumlah hal yang mendorong nikah muda. Pertama, ada stigma sosial mengenai perempuan yang mempunyai masa “kadaluarsa” sehingga perempuan harus cepat-cepat menikah. Kedua, murni karena keinginan mereka sendiri yang ternyata salah satunya diprakarsai oleh kesulitan anak muda menjalankan studinya. 

“Yang menarik, ada anak muda yang bilang, ‘Iya Kak, temen aku bilang sekolah atau kuliah itu susah, jadi mendingan nikah aja’. Ketika ini terjadi, yang perlu digarisbawahi adalah kita mencari tahu kenapa mereka berpikir begitu, bukan langsung menyalahkan mereka. Kenapa sih, sekarang sekolah atau kuliah menjadi salah satu hal yang kurang menyenangkan bagi mereka?” tutur Rani.

Baca Juga: ‘Selebgram’ Dorong Remaja Menikah Muda

Respons dari salah satu anak muda ini memperlihatkan bagaimana ternyata interaksi antar teman sebaya sangat penting untuk ditelusuri. Hal ini bisa terlihat dari penelitian Rashmi Singh dan J.K. Nayak yang berjudul Peer Interaction and Its Influence on Family Purchase Decision: A Study among Indian Teenagers. Penelitian yang melibatkan 230 siswa dan siswi ini menemukan, melalui teman sebaya, anak-anak muda dapat dengan nyaman berbagi pandangannya. Bahkan, tidak jarang pembentukan pandangan dan pengambilan keputusan terjadi karena interaksi tersebut.

Pada masa pandemi yang mengharuskan para anak muda berada di rumah, banyak sekali anak muda yang merasa kewalahan dengan sekolah daring. Sekolah daring yang minim interaksi langsung antara murid dan guru menyebabkan berbagai permasalahan baru yang berakibat pada meningkatnya rasa cemas dan tekanan yang dialami pada anak muda. Dalam penelitian berjudul Faktor Pemicu Kecemasan Siswa dalam Melakukan Pembelajaran Daring di Masa Pandemi Covid-19 terhadap 74 murid SMA, MA, dan SMK di berbagai daerah di Indonesia, dinyatakan bahwa mereka mengalami kendala dalam melakukan sekolah daring.

Para anak muda ini kesulitan memahami pelajaran yang ada, namun mereka mau tidak mau harus mengerjakan segala tugas yang jumlah berkali-kali lipat lebih banyak dari biasanya. Dengan sistem pembelajaran yang tidak memberikan ruang bagi murid untuk memahami dengan baik apa yang mereka pelajari, banyak anak muda pun merasa sekolah bukan menjadi sesuatu hal menyenangkan namun sebagai suatu momok yang menakutkan. Hal yang kemudian mengkhawatirkan adalah bagaimana tekanan dan kecemasan yang timbul dari bersekolah di masa pandemi mampu mengakibatkan perempuan menikah muda. 

Karena kewalahan dengan sistem sekolah daring, di Lebak, terdapat 415 siswa SMP di kabupatennya, memilih untuk putus sekolah dan menikah muda. Sedangkan di Ketapang terdapat 962 pelajar putus sekolah dan menikah muda salah satunya karena kesulitan mengikuti sekolah daring. Pelajar tersebut terdiri dari 703 pelajar tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 259 pelajar Sekolah Dasar (SD). Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti juga menyatakan bahwa dari temuan KPAI ditemukan terdapat 119 peserta didik di beberapa provinsi di Pulau Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bengkulu yang menikah karena tidak sanggup mengikuti pelajaran daring dengan usia  beriksar 15-18 tahun. 

Hal yang kemudian Rani tambahkan dalam tren menikah muda beberapa tahun belakang ini terutama di pandemi adalah tren ini juga sudah merambah ke kota. Hal ini bisa dilihat pada saat warga Indonesia sempat dihebohkan dengan kemunculan Aisyah Wedding yang mempromosikan nikah muda

“Kita melacak juga dari teman-teman yang ada di jaringan, ini flyer [Aisyah Wedding] tersebar di mana aja. Terus kata teman-teman yang memang terima dan melihat langsung, flyer itu ada di daerah Depok dan Menteng. Di sini kita melihat ada juga gerakan yang sasarannya bukan di wilayah desa tapi perkotaan dan bahkan menyasar perumahan. Jadi kita tidak bisa lagi melihat ini kasusnya hanya di desa,” tuturnya.

Proyek jurnalistik ini didukung oleh International Media Support.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *