Lifestyle

Terima Kasih untuk Ayahku yang Tak Pernah Ada

Menjalani Hari Ayah Nasional akibat ditinggalkan Ayah sejak kecil menyadarkanku cara menjadi ayah yang baik.

Avatar
  • November 20, 2020
  • 5 min read
  • 1060 Views
Terima Kasih untuk Ayahku yang Tak Pernah Ada

Hari Ayah bukanlah suatu momen yang aku rayakan dengan suka cita. Selain karena memang hari peringatan yang satu ini tidak terlalu umum di Indonesia, urusanku dengan ayah bukanlah suatu hal yang rasanya patut dirayakan dengan berbahagia.

Ayahku memilih untuk meninggalkan keluarganya di saat aku masih janin tiga bulan di dalam kandungan. Dan begitulah semua terjadi, semenjak aku bisa melihat dunia aku tidak pernah mengenal ayahku sama sekali. Pun yang dilakukan ibuku sebagai orang tua tunggal juga terasa seperti usaha untuk menghilangkan jejak laki-laki yang menurunkan wajahnya dengan nyaris identik kepadaku itu. Tindakan yang mendapat dukungan dari keluarga besar untuk “menyingkirkan” ayahku secara tidak langsung, hal yang kemudian membuatku mengisi masa awal sekolah dasar dengan keyakinan kalau ayahku sudah meninggal.

 

 

Satu hal yang mungkin bisa dibilang unik walaupun tidak dalam artian yang baik adalah, aku menjadi terbiasa untuk mengarang penyebab ayahku meninggal. Ada rasa minder kala itu, saat teman-teman sebayaku menceritakan aktivitas bersama ayah mereka, sedangkan aku tidak mempunyai cerita serupa untuk tandingannya. Sehingga jalan keluar yang terlintas adalah dengan menjadi yang paling menderita, agar setidaknya egoku sebagai bocah kelas 5 SD kala itu bisa mendapatkan tempat dan pengakuan.

Baca juga: Surat untuk Bapakku di Hari Ayah

Walaupun sebenarnya fakta perpisahan ayah dan ibuku sudah aku ketahui sejak kelas 3 SD, namun alam bawah sadarku tampaknya masih bisa belum mencerna dengan tepat, kenapa sebuah keluarga masih bisa dikatakan keluarga kalau hanya berisikan seorang ibu dan dua orang anak.

Lalu momen aneh itu datang. Tepat di usiaku yang ke-17, ayahku datang. Sebuah sosok yang tidak pernah ada dalam hidupku mendadak muncul dengan titel yang uniknya masih sama untuk keluarga besar saya, seorang ayah. Kehadirannya seakan-akan sangat dirindukan, disambut pulang bak pahlawan yang baru saja menghabiskan separuh hidupnya di medan perang.

Keluargaku yang dulu menolak kehadirannya, mengingkari keberadaannya, bahkan sampai menanamkan ketiadaan sosok ayah padaku, mendadak berubah 180 derajat. Memaksaku menghormatinya, bahkan sampai memanggilnya Papa, satu hal sederhana yang jelas tidak dengan mudah kulakukan. Datang membawa serenteng hadiah sebagai tanda perdamaian juga tidak membuatku luluh. Bukan karena tidak ingin berdamai, tapi yang aku butuhkan kala itu bukan setumpuk hadiah, melainkan penjelasan soal ketidakhadiran Ayah dalam fase anak-anak sampai remajaku.

Baca juga: Melirik 3 Karakter Ayah Tunggal dalam ‘Itaewon Class’

Hal yang cukup membingungkan untukku kala itu, bagaimana seseorang bisa menghilang dan muncul kembali begitu saja, namun tetap bisa menghadirkan satu kehangatan aneh untuk jiwaku yang hampa. Ternyata menyenangkan rasanya memiliki seorang ayah, namun ego dan rasa penasaran menghalangiku untuk memperlihatkan rasa itu secara nyata.

Momenku “memiliki” ayah hanya bertahan selama satu minggu, sebelum akhirnya dia kembali untuk mengurusi keluarga barunya. Hal yang membuatku sempat berpikir kala itu, apakah seorang ayah memang seharusnya seperti itu, datang membawa hadiah dan pergi tetap tanpa penjelasan.

Jadi ayah setelah besar tanpa ayah

Besar tanpa ayah mungkin bakal terasa sebagai sebuah beban berat untuk tumbuh kembang seorang anak. Untungnya, ibuku dengan segala kekurangannya tetap berusaha mengurus area kosong itu dengan baik. Terlalu baik kadang sampai membuatku berpikir kalau ayah bukanlah bagian penting dari sebuah keutuhan sebuah keluarga seperti yang diamini kebanyakan orang di luar sana.

Pasca kepergian keduanya, aku mulai memasuki fase tidak peduli lagi soal keberadaan ayah, memaksa alam bawah sadarku untuk menerima kalau keluarga tidak melulu berisi orang tua yang lengkap. Tidak sedikit pun ada rasa kesal terhadap ayahku, walaupun lingkunganku berbalik lagi dan kembali berusaha meyakinkan kalau sosok ayahku memang seperti itu adanya. Datang dan pergi sesuka hati, tanpa penjelasan dan juga tanggung jawab.

Bagaimanapun tidak utuhnya ceritamu dulu tidak seharusnya menjadi masalah. Karena istrimu, anakmu, dan dirimu sendiri berhak untuk menuliskan cerita baru yang jauh lebih menyenangkan.

Keyakinan itu terus tertanam sampai saat itu datang, momen di mana aku harus menjadi seorang ayah. Fase saat aku harus mendampingi istri sebagai suami berhasil kulalui dengan lumayan lancar, namun ada ketakutan yang berujung pada sebuah pertanyaan besar, bisakah aku menjadi seorang ayah yang baik?

Ketakutan itu membuat kemarahanku timbul. Ada hasrat begitu besar untuk mengutuki dia yang hilang tanpa sempat meninggalkan pelajaran untuk bekalku menjadi ayah. Rasa takut yang membawa dampak tidak terlalu menyenangkan untuk keharmonisan keluarga kala itu. Pertengkaran dan ketegangan menjadi satu menu wajib yang nyaris selalu terjadi, terutama saat istriku datang membawa penjelasan yang didapatnya dari kelas-kelas parenting yang kala itu diikutinya.

Semua ketakutan itu terus kutelan mentah-mentah, sampai aku menyadari ada satu pelajaran besar yang ditinggalkan ayahku: Jangan sampai aku menjadi seperti dirinya. Itu nilai utama yang aku yakini kala itu. Keyakinan yang membuatku berjanji untuk tidak akan meninggalkan keluargaku apa pun kondisinya, tidak akan aku meniru apa pun perbuatannya. Keyakinan yang memaksa untuk sedikit demi sedikit membuatku bisa menerima keadaan.

Baca juga: 5 Film yang Menunjukkan Kompleksitas Perceraian

Kalau keluargamu sekarang tidak terkait dengan apa pun yang terjadi di keluargamu dulu, bagaimanapun tidak utuhnya ceritamu dulu tidak seharusnya menjadi masalah. Karena istrimu, anakmu, dan dirimu sendiri berhak untuk menuliskan cerita baru yang jauh lebih menyenangkan.

Cerita penerimaan kemudian membuatku sedikit merasa lebih santai dalam menjadi seorang ayah. Sedikit demi sedikit beban berkurang dan rasa takut pun hilang. Mungkin tulisan ini menjadi bentuk penghargaan tertinggiku untuknya.

Terima kasih, Ayah, karena sudah menghilang dari hidupku. Berkatmu aku menjadi tahu apa yang tidak seharusnya kulakukan dalam prosesku menjadi ayah. Berkat kepergian Ayah, aku sadar kalau rumah tangga harus dibangun berdua. Bukan masalah kalau aku harus menjaga anakku sementara istriku memasak. Bukanlah hal yang memalukan untuk menyandang sapu ataupun alat pel saat istriku sedang lelah sepulang bekerja. Atau bergantian mencuci piring setelah makan malam berdua yang malah menjadi sebuah rutinitas yang menyenangkan.

Berkat kepergianmu, aku sadar kalau menjadi ayah bukanlah sebuah titel suci yang berarti harus dilayani; bukan juga jabatan tinggi yang berarti selalu menang sendiri dan tidak pernah mengenal kata salah. Menjadi ayah adalah sebuah proses pembelajaran tanpa henti yang akan terus berlangsung seumur hidup.

Sekali lagi, terima kasih, Ayah, sudah mengajarkanku untuk tidak menjadi ayah sepertimu. Dan untuk penutupnya, izinkan aku mengucapkan Selamat Hari Ayah untukmu, pria yang sudah menghilang dari hidupku tanpa sempat sekalipun kupanggil ayah.



#waveforequality


Avatar
About Author

Arief Fadillah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *