Issues Politics & Society

Paket Kepala Babi di Kantor ‘Tempo’: Teror Nyata Kebebasan Pers

Apa yang bisa dilakukan jurnalis setelah ini?

Avatar
  • March 20, 2025
  • 4 min read
  • 991 Views
Paket Kepala Babi di Kantor ‘Tempo’: Teror Nyata Kebebasan Pers

Kantor Tempo di Palmerah, Jakarta menerima kiriman kepala babi yang dibungkus dalam kotak kardus berlapis styrofoam, (19/3). Paket tersebut ditujukan kepada “Cica,” nama panggilan Francisca Christy Rosana, jurnalis desk politik sekaligus host siniar Bocor Alus Politik.

Paket tersebut diterima oleh satuan pengamanan Tempo pada pukul 16.15 WIB, dan baru sampai ke tangan Cica keesokan harinya, (20/3). Tepatnya setelah ia pulang dari agenda liputan. Ketika membuka paket, Hussein Abri Yusuf Muda Dongoran, rekan Cica, mencium bau busuk dan menemukan kepala babi dengan kedua telinga yang terpotong.

 

Tindakan ini merupakan bentuk teror terhadap kebebasan pers. Pemimpin Redaksi Tempo Setri Yasra, mengungkapkan, kiriman itu adalah ancaman serius terhadap jurnalisme di Indonesia.

“Ini adalah bentuk teror terhadap kebebasan pers. Kami sedang menyiapkan langkah-langkah selanjutnya sebagai respons terhadap kejadian ini,” katanya, dikutip dari rilis resmi yang diterima Magdalene.

Teror ini sendiri muncul tak lama setelah DPR mengesahkan RUU TNI yang dinilai bakal memperkuat kekuasaan militer di ranah sipil dan mengancam kebebasan berekspresi, termasuk kebebasan pers.

Baca juga: Tok! Revisi UU TNI Sah, Penolakan Dwifungsi Militer Menggema di Depan DPR

Deja Vu Orde Baru

Pengiriman potongan tubuh adalah ancaman di era Orde Baru. Langkah intimidasi kerap dianggap sebagai strategi yang pas guna membungkam kritisisme publik, media, atau pihak oposisi.

Sejarah mencatat, jurnalis Harian Suara Indonesia yang berkantor di Malang, pernah dikirimi potongan kepala manusia, karena kritis memberitakan kebijakan pemerintah di balik peristiwa penembak misterius (petrus) era Soeharto.

Dilansir dari BBC Indonesia, pada 16 November 1984, sekitar pukul 03.00 dini hari, kantor redaksi Suara Indonesia dikirimi paket berisi potongan kepala manusia. Potongan kepala yang ditengarai potongan kepala korban ‘petrus’ tersebut diletakkan persis di pintu masuk kantor redaksi.

Pengiriman kepala babi kepada Tempo sendiri adalah simbol kekerasan yang tak cuma menyerang individu yang menerima kiriman, tetapi juga media, jurnalis, dan masyarakat luas. Bahwasanya, melawan pemerintah bisa berujung fatal. Lebih lanjut, intimidasi yang melibatkan kekerasan fisik atau ancaman macam itu merupakan bagian dari upaya sistematis. Tujuannya untuk memelihara kontrol politik dengan menciptakan atmosfer ketakutan dan ketaatan.

Pengalaman Tempo juga menambah panjang daftar tindakan kekerasan dan ancaman terhadap jurnalis di Indonesia, yang membuat posisi Indonesia di peringkat 111 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia.

Merujuk pada temuan Indeks Keselamatan Jurnalis (2024) yang dilakukan Yayasan TIFA bersama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Human Rights Working Group (HRWG) dalam Konsorsium Jurnalisme Aman menggandeng mitra riset Populix, dari 760 jurnalis, masih banyak yang mengalami banyak ragam kekerasan. Di antaranya, 24 persen jurnalis mengalami teror dan intimidasi, 23 persen mengalami ancaman langsung, 26 persen mengalami pelarangan pemberitaan, dan 44 persen mengalami pelarangan liputan.

Baca juga: Suara Perempuan di Demo UU TNI: Ini Langkah Mundur Demokrasi

Potensi Pembungkaman Pers, Apa yang Bisa Jurnalis Lakukan?

Keberanian Tempo dalam mengungkapkan isu-isu sensitif di Indonesia membuat mereka menjadi target dari dugaan intimidasi. Sebagai informasi, pengiriman kepala babi ini terjadi bersamaan dengan disahkannya RUU TNI dalam rapat paripurna DPR hari ini. UU tersebut dikecam publik karena rentan mempersempit kebebasan berekspresi dan ruang gerak pers di Indonesia.

Di tengah potensi ancaman tersebut, jurnalis Indonesia bisa mempraktikkan sejumlah langkah perlindungan diri. Misalnya dengan memperkuat perlindungan hukum dan keselamatan digital. Terlebih kita tahu, salah satu pasal di UU TNI membuat aparat punya kuasa untuk mengontrol aktivitas siber warga termasuk jurnalis. Sehingga, jurnalis kian rentan jadi sasaran peretasan atau serangan digital. Keberadaan alat enkripsi dan pelatihan tentang keamanan digital sangat diperlukan guna melindungi integritas kerja jurnalistik.

Di samping itu, solidaritas antarjurnalis dan media juga relatif krusial. Dalam kondisi ini, solidaritas kolektif digadang-gadang mampu memberikan perlindungan yang lebih besar bagi jurnalis yang terancam. Karena itu, kolaborasi antara media, lembaga hak asasi manusia, dan organisasi internasional juga sangat penting untuk memberikan tekanan kepada pemerintah agar menghormati kebebasan pers.

Artikel telah disunting pada 21 Maret 2025 dengan mengubah referensi di paragraf ketujuh dan kesembilan, yang merujuk pada pengalaman jurnalis Harian Suara Indonesia di era Orde Baru yang dikirimi potongan kepala manusia di kantornya, Malang. Redaksi juga menambah referensi di paragraf 11 dengan menyertakan temuan Indeks Keselamatan Jurnalis (2024) yang dilakukan Yayasan TIFA dkk.



#waveforequality
Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky and Chika Ramadhea

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *