December 5, 2025
Community Culture Events Opini

“The Lovers”: Menyusun Bahasa Cinta di Luar Norma

Seberapa banyak bentuk cinta yang kamu paham, lalu kamu praktikan? Josh Marcy melempar refleksi itu lewat The Lovers, dan ingin mengingatkan kita lagi bahwa cinta adalah kata kerja.

  • August 6, 2025
  • 5 min read
  • 4509 Views
“The Lovers”: Menyusun Bahasa Cinta di Luar Norma

Pukul empat sore lebih sedikit, penonton yang sudah bergerombol di depan pintu dipersilakan masuk. Di panggung, seorang laki-laki dan perempuan tengah bersiap tampil, meregangkan persendian, sesekali lompat-lompat kecil. Saat melihat wajah yang familiar, mereka pun tak segan melempar sapa. Laki-laki itu adalah Josh Marcy, pencipta The Lovers, judul karya pertunjukan tari yang akan saya saksikan sore itu. Ia adalah bagian dari Festival Pertunjukan Belum-Sudah/ Not-Yet Performance Festival, yang digagas Garasi Performance Institute, akhir Juli lalu.

Begitu ruangan terisi, lampu perlahan redup. Keduanya mengambil posisi. Pertunjukan dimulai dengan apa yang, bagi penikmat seni tari awam seperti saya, tampak seperti tari balet pada umumnya. 

Namun gemulai balet itu seketika terdisrupsi saat musik yang tadinya lembut mendayu, seketika jadi koplo. Di momen itulah saya sadar, The Lovers bukan pementasan yang saya ekspektasikan.

Baca juga: ‘In(her)itance Silence’ Bangkitkan Kembali Ingatan Kita soal ‘Jugun Ianfu’ 

Antara Kekang dan Kebebasan

Sebagaimana tersirat dari judulnya, The Lovers adalah tentang para pecinta, kendati tidak ada alur naratif jelas yang jadi kerangkanya. Karya yang dipentaskan di Kedai Kebun Forum ini mendemonstrasikan sebuah dunia di mana dua tubuh secara konstan menegosiasikan batas-batas yang ada. 

Cinta yang ditampilkan pun tidak ideal ala kisah romansa, bukan pula eksplorasi erotik semata; melainkan sebuah proses koreografi yang mempraktikkan “cinta sebagai kata kerja”, sesuatu yang dipopulerkan feminis-abolisonis bell hooks. 

Ia juga pernah bilang, bahwa cinta adalah aktivitas yang dilakukan secara sadar, penuh komitmen, dan terus-menerus dinegosiasikan.

Sumber: Dokumentasi Garasi Performance Institute
Sumber: Dokumentasi Garasi Performance Institute/Farhan Rizki

Ditampilkan duet bersama pebalet Nudiandra Sarasvati, Josh menunjukkan bagaimana dua tubuh bisa saling berkaitan dalam level yang begitu dalam. Kadang mereka seperti hadir sendiri-sendiri, kadang yang satu lebih mendominasi, tapi setelahnya posisi kuasa bisa berganti. Ini adalah praktik interbeing: tubuh-tubuh yang saling menjadi. Tubuh-tubuh yang merunduk, menyeret, menahan, lalu melenting, kadang dalam gerakan lambat, dan diiringi ketukan musik koplo yang menghentak. 

Tensi ini menciptakan paradoks sensual: seolah konteks sosial menuntut cinta untuk berlangsung cepat, instan, dan efisien, namun The Lovers justru menolak patuh dengan memperlambat segalanya. Cinta di sini bukan tujuan, melainkan proses yang ditarik dan direnggangkan.

Baca Juga: SamaBhav Travelling Film Festival, Bersama Dorong Kesetaraan Gender 

Dalam sejarah seni tari, terutama balet klasik, tubuh diposisikan sebagai medium untuk mencapai bentuk sempurna, baik itu dalam pirouette yang presisi atau formasi simetris. Namun The Lovers secara sadar mendekonstruksi konvensi ini. 

Dalam satu bagian, Nudi mendemonstrasikan gerakan-gerakan yang menjadi dasar tarian balet. Namun, genre tari yang kadang terkesan elitist itu diintervensi oleh musik house bernuansa koplo, sebuah ragam musik yang merakyat dan mudah dicap sebagai “low art”. Dari titik ini, berbagai ketidakpatuhan semakin banyak terjadi; sepatu dipakai di telapak tangan, kaki tidak lagi untuk menopang, celana pun diplorotkan.

Ada momen ketika mereka bergerak di lantai, mengenakan pakaian merah, bergumul dan membentuk pose-pose seperti makhluk liar, tapi tanpa kehilangan kelembutan. Bagian ini memancarkan energi animalistik yang begitu intens, mengekspresikan hasrat yang primal namun di saat bersamaan penuh pengendalian. 

Estetika ini sejalan dengan yang seniman Kim Leutwyler perkenalkan sebagai queer corporeality, yaitu bagaimana tubuh-tubuh queer (dalam pengertian luas, termasuk yang menolak norma relasional) menghadirkan bentuk-bentuk afeksi yang tidak stabil, tidak mudah terdefinisikan, tidak dapat dipetakan, tapi sangat nyata dan terasa.

Sumber: Dokumentasi Garasi Institute
Sumber: Dokumentasi Garasi Performance Institute/Farhan Rizki

Salah satu aspek paling memikat dari The Lovers adalah keintiman atmosferik yang dibangun melalui elemen visual dan indra pendengaran. Perkawinan antara musik elektronik dan koplo yang membalut adegan puncak, diiringi pencahayaan kemerahan, mempertegas emosi tubuh yang dipentaskan Josh dan Nudi. 

Di bawah cahaya itu, tubuh keduanya mengilap oleh peluh. Efeknya dramatis, sekaligus menandakan kehadiran fisik yang total. Keringat menjadi residu kerja cinta: kendati letih, namun terus-menerus diupayakan.

Dalam koreografi konvensional, pencahayaan dan musik umumnya hadir sebagai komponen yang saling melengkapi. Tapi dalam The Lovers, ada kesan bahwa keduanya menjadi lawan main. Ketukan yang cepat justru mendorong tubuh untuk melambat. Ketegangan ini adalah bentuk ketidakpatuhan koreografis: sebuah siasat performatif untuk mengklaim kembali cara mencintai yang bukan datang dari buku manual maupun doktrin norma.

Spektrum Afeksi yang Liar

Bentuk cinta yang hadir dalam pertunjukan ini, jauh dari sifat normatif (monogami, pasangan tetap, relasi heteroseksual). The Lovers menyodorkan keintiman yang liar, ambigu, dan tidak mudah diberi label. Saya hampir tidak mengecap rasa romantis dalam cinta di sini. Dalam gerakannya, ia kadang terkesan atentif, tapi di momen lain, ada juga resistensi terhadap sentuhan yang tidak diinginkan.

Pengalaman ini beresonansi dengan karya Lampiran Cyclofemmes oleh Ishvara Devati yang juga tampil dalam festival ini. Jika Ishvara menggunakan figur Mak Lampir untuk membicarakan tubuh queer dan “yang liyan” dalam konteks budaya populer dan patriarki, maka Josh membicarakan queerness dari ranah gerak dan relasi: bahwa mencinta pun bisa menjadi laku queer ketika ia menolak dimasukkan dalam satu bentuk baku. 

Kedua pertunjukan ini, dalam cara yang berbeda, memperlihatkan tubuh bukan hanya sebagai subjek estetika, tetapi juga sebagai arsip afeksi dan politik.

Baca juga: “Lampiran Cyclofemmes”: Merebut Tubuh Mak Lampir, Merebut Tubuh Queer

Josh Marcy bukan sosok asing dalam praktik koreografi kontemporer Indonesia. Lewat kolektif Dansity Collective yang ia dirikan, Josh membuka ruang bagi tubuh-tubuh urban untuk mengalami tari sebagai ekspresi diri, bukan performa semata. Dalam karya sebelumnya seperti Hidden SKIN dan Performing Spiral, Josh telah menunjukkan ketertarikannya pada “koreografi bareng-bareng”; suatu metode yang tidak hierarkis, responsif, dan terbuka terhadap keberagaman tubuh serta afeksi.

Melalui The Lovers, ia melanjutkan praktik ini, tapi dalam skala yang lebih intim dan eksperimental. Festival Sudah-Belum menyediakan konteks yang ideal: sebuah ruang eksperimen yang ditopang oleh semangat “berlatih bersama,” seperti dikatakan Taufik Darwis, kurator festival ini.

The Lovers adalah ajakan untuk mencinta tanpa mengejar titik akhir. Ia menolak estetika koreografi yang selesai, menolak lingkungan yang mendikte cara tubuh-tubuh untuk mencinta. Dalam waktu kurang dari satu jam, ia menunjukkan betapa membebaskannya saat cinta keluar dari format yang dianggap baku.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.