Gender & Sexuality

Kepanikan Moral dan Persekusi atas Minoritas Seksual di Indonesia

Dalam periode dua tahun terakhir, diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok LGBT semakin banyak terjadi. Tulisan ini adalah tulisan pertama dari seri dokumentasi tim Magdalene untuk membahas secara mendalam isu-isu terkini.

Avatar
  • August 14, 2018
  • 18 min read
  • 2576 Views
Kepanikan Moral dan Persekusi atas Minoritas Seksual di Indonesia

Suatu pagi dua tahun yang lalu, “Ferdi” yang berumur 30an tahun diliputi ketakutan terbesar dalam hidupnya ketika 20 pria mendatangi rumahnya di sebuah kompleks perumahan menengah-atas di Jakarta. Dipimpin oleh ketua RT, orang-orang ini memaksa masuk dan memenuhi ruang tamu kecilnya – beberapa terpaksa duduk di teras.

Mereka datang karena satu alasan: untuk mengutarakan kecurigaan mereka terhadap orientasi seksual Ferdi. Rupanya mereka telah membaca liputan media yang luas mengenai LGBT dan itu membuat mereka gelisah. Ketua RT dan beberapa pria lain mengatakan bahwa mereka tidak bisa menerima seorang homoseksual tinggal di lingkungan sekitar karena hal itu “mengganggu” mereka.

 

 

Sebagai laki-laki gay, Ferdi (beberapa nama dalam artikel ini telah diubah demi melindungi identitas mereka) tidak terbuka kecuali kepada beberapa teman dekat. Di lingkungannya ia selalu bersikap santun dan sederhana . Meskipun pacarnya dan teman-teman gay lain sesekali datang dan menginap di rumah yang ia beli dengan hasil jerih payah sebagai pegawai kantoran, ia tidak pernah mengadakan pesta atau kegiatan apa pun yang bisa memprovokasi tetangganya.

Tetapi situasi ini terjadi ketika negara ini dilanda hiruk-pikuk anti-LGBT yang dimulai pada awal 2016, setelah sebuah poster dari kelompok riset universitas yang menawarkan konseling gratis kepada orang-orang LGBT yang masih muda bocor ke media. Liputan media setelahnya–yang kebanyakan negatif–mengarah pada penyebaran ujaran kebencian yang dibuat oleh tokoh-tokoh publik, mulai dari politisi, pejabat pemerintah, hingga pemimpin agama. Beberapa dari komentar-komentar tersebut tidak hanya tidak masuk akal–seorang menteri kabinet menyamakan aktivisme hak LGBT dengan “perang proksi” yang lebih berbahaya daripada bom nuklir; seorang wali kota mengimbau ibu-ibu muda agar tidak makan mie instan–namun juga memprovokasi orang-orang, yang pada umumnya masih buta soal konsep keragaman seksual.

Disergap di rumahnya sendiri, Ferdi didorong oleh para tetangga untuk mengungkapkan orientasi seksualnya.

“Saya ketakutan. Saya menyangkal bahwa saya gay, dan saya mengatakan kepada mereka bahwa teman-teman saya datang untuk urusan pekerjaan,” ujar Ferdi, sambil menambahkan bahwa malam tersebut terasa seperti malam terpanjang dalam hidupnya.

Setelah massa tersebut akhirnya pergi, Ferdi yang ketakutan secepatnya pindah dari rumahnya. “Saya tidak merasa aman lagi di rumah saya sendiri,” ujarnya.

Sangat beralasan bagi Ferdi untuk merasa takut. Kasusnya tidak unik. Ia hanya salah satu dari sekian banyak anggota kelompok minoritas gender dan seksual di Indonesia yang telah menjadi target diskriminasi, persekusi, dan kekerasan selama beberapa tahun terakhir.

Seiring dengan meletusnya “kepanikan moral” di negara ini, “LGBT”, istilah yang biasa digunakan untuk memahami keragaman seksual dan gender (singkatan dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender), menjadi umum hampir dalam waktu semalam. Dari yang sebelumnya hanya dikenal oleh orang-orang tertentu, istilah tersebut telah berubah menjadi kata kunci yang membawa makna menyeramkan bagi banyak orang Indonesia.

Kejahatan terhadap kemanusiaan

Dalam survei yang baru-baru ini dirilis berdasarkan pantauan terhadap media, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBH Masyarakat) menemukan bahwa 973 orang menjadi sasaran dalam kasus diskriminasi, persekusi, dan kekerasan di seluruh Indonesia pada 2017. Hampir tiga perempat dari korban adalah transgender, diikuti dengan 23 persen laki-laki homoseksual, dan 3 persen lesbian. Kasus-kasus berkisar dari pengekangan kebebasan berekspresi (termasuk larangan acara atau diskusi terkait LGBT) dan penggerebekan rumah serta penggusuran, sampai penangkapan di klub malam gay, hingga pembunuhan.

“Ketika kami mengatakan korban, maksud kami adalah orang-orang yang hak asasinya diinjak-injak, atau orang-orang yang telah dianiaya dan/atau didiskriminasi,” kata Naila Rizqi dari LBH Masyarakat.

Ini adalah tahun kedua LBH Masyarakat melakukan penelitian tentang isu ini. Pada 2016, survei mereka terfokus pada stigma dan diskriminasi yang memicu homofobia massal. Naila menambahkan: “Perbedaannya pada 2016, sebagian besar pelaku adalah organisasi sipil dan institusi pendidikan. Pada 2017, kebanyakan pelaku adalah penegak hukum.”

Diskriminasi di perumahan, termasuk penggusuran paksa, adalah salah satu bentuk persekusi paling umum yang dihadapi oleh kelompok LGBT. Semakin terlihat berbeda dari norma ekspresi gender seseorang, semakin sulit bagi mereka untuk menemukan rumah atau kamar kos untuk disewa. Jika mereka hidup sebagai pasangan, tantangannya berlipat ganda.

“Ray” dan “Cindy” – keduanya berumur 20an awal – diusir dari rumah mereka dua tahun yang lalu setelah orang tua mereka mengetahui tentang hubungan mereka. Sejak saat itu, mereka harus berjuang untuk mencari tempat tinggal dan memenuhi kebutuhan hidup.

Cindy harus berhenti kuliah dan menjadi pencari nafkah utama dengan bekerja di restoran. Sebagai transpria, Ray menghadapi lebih banyak kesulitan dalam mencari pekerjaan. Karena mereka hanya dapat menyewa satu kamar di rumah kos, Cindy harus aktif mencari kamar untuk mereka berdua. Ray biasanya berpura-pura datang mengunjunginya, sampai mereka dilaporkan oleh penghuni lain dan diusir dari rumah kos. Sejauh ini mereka sudah berpindah tempat tinggal lima kali. Di satu rumah kos, tetangga di kamar sebelah sering merisak dirinya.

“Dia sering ngata-ngatain gue, ‘dasar lesbi lu’, ‘berengsek’. Terakhir dia teriak marah-marah ‘lesbian!’ sampai kepala gue dijedotin ke dinding sama dia.”

Kejadian itu menyebabkan Cindy dipanggil oleh ketua RT, yang menanyakan sifat hubungannya dengan Ray.

“Gue lagi enggak di tempat waktu Cindy lagi diinterogasi. Tapi dia bilang ke Pak RT kalau kita saudara, tapi Pak RT enggak percaya. Waktu diinterogasi udah kayak warning: kalau kamu ketahuan pacaran sama Ray nanti saya laporkan ke polisi,” Ray menceritakan kejadian itu. (Dengarkan percakapannya di file SoundCloud di bawah ini).

​Meskipun perlakuan kejam dan penganiayaan terhadap pria gay dan transpuan sering dilaporkan di media karena lebih sensasional – seperti penangkapan 141 laki-laki gay dan biseksual pada Mei 2017 di pusat kebugaran dan sauna Atlantis di Jakarta – kasus yang melibatkan pasangan lesbian lebih sedikit diliput oleh media.

Sri Agustine dari salah satu organisasi lesbian, biseksual, dan transgender (LBT) di Jakarta mengatakan, penganiayaan terhadap lesbian dan transpria biasanya terjadi di ruang pribadi, kebanyakan di rumah mereka. Dalam banyak kasus, penggerebekan biasanya diprakarsai oleh beberapa pemuda dari masjid setempat yang kemudian mendorong kepala desa dan pemuka agama setempat untuk mengambil tindakan terhadap orang-orang LGBT yang dimaksud. Mereka juga mengancam akan melakukan keributan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.

Aparatur negara layaknya penegak ketertiban, polisi, dan bahkan personel militer pun kemudian akan mengikuti permintaan para penyerang dan mendorong pihak yang dipersekusi untuk pindah. Di Bogor, enam pasangan lesbian yang bekerja di sebuah pabrik dipaksa meninggalkan rumah kos mereka oleh polisi setempat, yang mengatakan hidup mereka menjadi taruhannya apabila mereka bersikeras untuk tetap tinggal.

Dalam laporan berjudul “Scared in Public and Now No Privacy: Human Rights and Public Health Impacts of Indonesia’s Anti-LGBT Moral Panic”, Human Rights Watch mencatat bahwa pada 2017, 300 orang ditangkap polisi karena orientasi seksual dan identitas gender mereka, sebuah lonjakan dari tahun-tahun sebelumnya dan angka tertinggi yang pernah tercatat di Indonesia.

Riska Carolina, seorang peneliti di Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan konsultan hukum untuk kelompok advokasi LGBT Arus Pelangi, mengatakan bahwa pasti terdapat peningkatan selama beberapa tahun terakhir dalam jumlah dan juga tingkat keparahan kasus pelanggaran hak asasi terhadap kaum LGBT.

Dia menunjuk pada sebuah kasus yang melibatkan seorang lesbian dengan ekspresi gender maskulin yang tinggal bersama pasangannya di Sumatera Utara. Setelah menjadi korban “pemerkosaan korektif” oleh orang yang tidak dikenal, ia berakhir hamil dan sendirian setelah pasangannya yang ketakutan pergi meninggalkannya. Setelah melahirkan, dia pun mencoba meninggalkan bayinya di luar rumah seseorang namun tertangkap.

“Warga sekitar memukuli dan menangkapnya. Dia sekarang menjalani hukuman 10 tahun penjara atas pengabaian anak,” katanya. “Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.”
 

Kami digebukin…disuruh guling-guling dan tiarap, saya nggak mau karena saya orangnya keras. Yang lain pada ketakutan, ‘Kak, tiarap, kak.’ Saya gak mau. Dia mau tes urin dan narkoba, silakan, saya nggak pernah pakai narkoba, ngerokok juga nggak. Kapolres datang ke samping saya, ‘Tiarap!’ katanya. Ketika saya bilang enggak, dia langsung tembakkan senjatanya, lalu saya kaget sampai tiarap. Mereka sepak saya pakai kaki sampai terguling-guling dan mau muntah.

Di samping pemerkosaan korektif, komunitas transgender serta perempuan dengan ekspresi gender maskulin dan lelaki dengan ekspresi gender feminin sering mengalami “koreksi” atas ekspresi mereka. Transpria dipaksa untuk memakai rok atau hijab, sementara rambut transpuan dicukur dan mereka dipaksa untuk tampil “jantan”.

Lembaga-lembaga pendidikan penuh dengan tindakan pelecehan semacam ini, dengan para pemimpin dan petinggi kampus yang sering memimpin kampanye kebencian dan diskriminasi terhadap orang-orang LGBT. Beberapa universitas mengancam untuk menarik kembali beasiswa mereka jika penerima teridentifikasi sebagai homoseksual. Universitas lainnya seperti Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat, menyatakan bahwa mereka tidak akan menerima siswa homoseksual (meskipun kini larangan tersebut telah dicabut). Ini berarti mengadakan diskusi terkait keragaman seksual dan gender dilarang di banyak kampus.

Di beberapa tempat bahkan lebih buruk.

Aceh, satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara resmi mengadopsi syariat Islam, telah sangat agresif dalam tindakan kerasnya terhadap kelompok LGBT. Bulan lalu, dua pria dicambuk 90 kali di depan ribuan orang usai salat Jumat karena dugaan melakukan hubungan sesama jenis berdasarkan keputusan Mahkamah Syariah Aceh. Mereka juga ditangkap di sebuah ruangan oleh sekelompok warga beberapa bulan sebelumnya. Ini adalah cambukan publik kedua yang dilakukan untuk tindakan homoseksual dalam waktu kurang dari setahun.

Karena visibilitas mereka, transpuan adalah kelompok masyarakat LGBT yang paling rentan, terutama di Aceh. Januari tahun ini, polisi dan polisi syariat di Aceh Utara bersama-sama menyerbu lima salon yang mempekerjakan transpuan. Mereka menangkap selusin klien dan karyawan, memaksa mereka untuk melepas pakaian, memotong rambut mereka di muka umum dan menahan mereka selama tiga hari.

Magdalene melacak dua perempuan trans Aceh yang sekarang tinggal di Jakarta untuk menghindari penganiayaan. “Lia” memiliki salon kecantikan di Lhoksukhon, Aceh Utara, sebelum serangan di Januari. Dia menceritakan kepada Magdalene pengalamannya digiring bersama transpuan malam itu ke sebuah lapangan upacara di mana mereka dilecehkan dan dipermalukan.

“Kami digebukin, dipukulin, pakai sendal. Pertama disuruh teriak dan disuruh gulin-guling dan tiarap, saya gak mau karena saya orangnya keras. Yang lain pada ketakutan, ‘Kak, tiarap, kak.’ Saya gak mau. Dia mau tes urin dan narkoba, silakan, saya nggak pernah pakai narkoba, ngerokok juga nggak. Kapolres datang ke samping saya, ‘Tiarap!’ katanya. Ketika saya bilang enggak, dia langsung tembakkan senjatanya, lalu saya kaget sampai tiarap. Mereka sepak saya pakai kaki sampai terguling-guling dan mau muntah.

Dia melanjutkan: “Rambut saya dijambak, disuruh jalan kayak laki-laki, disiram entah pakai air apa dua kali. Sakit banget memang. Tiga orang menggunting rambut saya. Rame-rame memaksa saya buka baju, sambil ditodongkan senjata. Setelah telanjang, mereka ketawa-tawa puas.  Kapolres membentak-bentak menyuruh saya menjerit seperti laki-laki, tapi belum seperti laki-laki, katanya. Kedua kalinya dipanggil anggotanya, ‘Sini kau, tampar dia!’ Ditamparlah yang kuat tiga kali, sampai darah keluar dari mulut saya.”

Kepala polisi yang dia maksud adalah mantan Kapolres Aceh Utara Untung Sangaji, yang menyombongkan dirinya pada video yang diunggah di YouTube bahwa ia tidak akan membiarkan “banci-banci sampah ini” yang disebutnya sebagai “penyakit menular.” Meskipun Sangaji kemudian menawarkan permintaan maaf setengah-tulus dan dipindahkan ke posisi lain di Sumatera Utara, dampak sudah meluas. Banyak perempuan trans sejak saat itu melarikan diri dari Aceh demi keselamatan diri mereka sendiri. Beberapa yang menetap di Aceh hidup dalam ketakutan.

“Tiara”, seorang transpuan yang sempat menjalankan usaha rias wajah pengantin di kabupaten Aceh Besar, pindah ke Jakarta karena keluarganya mengatakan bahwa terlalu berbahaya baginya untuk tinggal. Dia berkata GALA, Gerakan Anti-LGBT di Aceh, berada di balik meningkatnya perlakuan kejam terhadap LGBT.

“Mereka tidak peduli; kalau berjumpa mereka di jalan akan dihajar. Mereka menangkap beberapa teman saya yang sedang beli nasi di warung dan menyerahkan kepada Satpol PP untuk direhabilitasi dan dicukur rambutnya,” ujar Tiara kepada Magdalene dalam sebuah wawancara.

“Sekarang teman-taman sudah potong rambut semua, pangkas laki-lakiuntuk ganti ekspresi (gender) mereka,” tambahnya.

Karena dilarang bekerja di salon kecantikan, banyak perempuan trans pun terpaksa bersembunyi dan menjadi pekerja seks untuk mencari nafkah.

“Saat ini LGBT, tapi siapa yang akan menjadi berikutnya?”

Tidak ada undang-undang yang melarang hubungan homoseksual atau transgender saat ini di Indonesia. Bahkan UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif. Namun hal itu tidak menghalangi polisi untuk melakukan tindakan kekerasan mereka.

Mereka yang ditangkap dijatuhi berbagai tuduhan. Para pria dari penangkapan di Atlantis Spa diduga melakukan tindakan pornoaksi, yang termasuk dalam UU Anti-Pornografi. Tuduhan serupa diberikan kepada 14 orang yang ditangkap pada bulan April 2017 di Hotel Oval di Surabaya, di mana mereka disebut-sebut memiliki flash drive yang berisi video porno. Tujuh dari mereka dijatuhi hukuman 18 hingga 30 bulan penjara. Polisi juga memberitahu media bahwa dari 14 pria yang menjalani tes infeksi seksual menular, lima orang terkena HIV positif.

“Polisi mengatakan bahwa mereka melanggar hukum dengan melakukan tindakan pornografi di tempat umum, tetapi mereka tidak pernah menunjukkan bukti atas tindakan tersebut,” kata Naila dari LBHM, menambahkan, “Mereka juga tidak terlalu jelas dalam mendefinisikan ‘tempat umum’. Bukankah kamar hotel adalah tempat pribadi?’

Riska dari ELSAM mengatakan bahwa apa yang membuat tren ini lebih mengkhawatirkan adalah masifnya sifat penganiayaan serta keterlibatan negara dalam banyak kasus.

“Coba saya tanya kembali: Apakah Anda ingin memiliki anak semacam itu? Dan apakah mereka satu-satunya kelompok yang teraniaya?” tanya Sukiman, Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga di Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini.

“Penganiayaan pada dasarnya adalah kekerasan atau perlakuan buruk yang menyangkal hak-hak fundamental seseorang. Penganiayaan dapat bersifat ekspansif dan sistematis, yang berarti dapat terkait dengan kebijakan pemerintah,” katanya. “Sekarang mari kita lihat berapa banyak kebijakan negara yang mendiskriminasi dan menindas minoritas seksual dan gender.”

Pada 2013, ujarnya, Badan Program Pembangunan PBB menemukan lima peraturan daerah yang mendiskriminasi kaum LGBT. Jumlahnya telah berlipat ganda menjadi 45 pada tahun ini.

Selain itu, ada tekanan yang kian membesar dari kelompok Muslim konservatif untuk mengkriminalisasi perilaku seksual sesama jenis orang dewasa di bawah panji melindungi “nilai-nilai keluarga”, seperti kampanye anti-LGBT yang dilakukan kelompok Kristen konservatif di negara-negara lain.

Yang paling bersuara di antara kelompok-kelompok ini adalah Aliansi Cinta Keluarga atau AILA, yang berpendapat bahwa homoseksualitas bersifat menular dan akan membahayakan anak-anak serta generasi muda. Pada bulan Juli 2016, AILA membuat petisi untuk mengubah klausul tertentu dalam KUHP agar mengkriminalisasi semua hubungan seks di luar pernikahan dan semua hubungan seks antar sesama jenis kelamin. Petisi itu pada akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan atas KUHP dan bahwa upaya tersebut harus melalui proses legislatif. (AILA tidak membalas permintaan wawancara Magdalene untuk artikel ini).

Ini mengarahkan wacana pada pentingnya undang-undang yang mengkriminalisasi homoseksualitas, topik yang banyak didukung a politisi dan anggota parlemen.

Ketua DPR Bambang Soesatyo dikutip oleh Jakarta Globe mengatakan: “Apa yang harus kita prioritaskan adalah keselamatan masa depan bangsa, terutama keselamatan generasi muda kita dari pengaruh yang bertentangan dengan norma-norma, budaya dan agama kita.”

Versi sebelumnya Revisi UU KUHP, yang saat ini sedang dibahas di Parlemen, mencerminkan tujuan ini, seperti dalam sebuah artikel mengenai pelecehan seksual anak yang hanya menargetkan kaum LGBT. Artikel itu kini telah direvisi.

Legislator Eva Kusuma Sundari dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah salah satu dari sedikit suara moderat di Parlemen. Dalam sebuah wawancara dengan Magdalene dia memperingatkan bahwa mengkriminalisasi kaum LGBT dan tindakan homoseksual akan menjadi “teladan buruk” karena melanggar prinsip non-diskriminasi dalam UUD 1945 Indonesia.

“Mungkin kita mulai dengan (diskriminasi terhadap) kaum LGBT sekarang, namun kemudian bisa diperluas ke agama, ras, atau etnis tertentu,” kata Eva.

“Ya, kita dapat melarang orang-orang berkampanye atau menyebarkan propaganda mengenai pernikahan sesama jenis, karena itu berlawanan dengan Undang-Undang Perkawinan kita, atau menyebarkan pornografi, tetapi jangan sampai mengkriminalisasi seseorang karena menjadi diri mereka sendiri,” ia menambahkan.

Banyak yang mengaitkan peningkatan sentimen anti-LGBT dengan politik, terutama politik elektoral. Indonesia baru saja selesai mengadakan Pilkada di seluruh negeri, dan pemilihan presiden serta legislatif tahun depan dikhawatirkan akan lebih memecah-belah dibanding Pemilu 2014.

“Kita tidak dapat menyangkal bahwa politik identitas – dalam hal ini identitas keagamaan – memainkan peran yang sangat penting dalam politik Indonesia saat ini,” kata Irwan Hidayana, seorang peneliti di Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia. “Perspektif sebagian besar orang Indonesia terhadap LGBT berdasar kepada ajaran agama – bahwa itu adalah dosa dan menyimpang dari norma-norma – sehingga membuatnya menjadi masalah politik yang matang juga.”

Budi Wahyuni, Komisaris Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), berkata: “Bagi pemerintah daerah, memiliki pemerintahan yang ‘bersih’ berarti terbebas dari isu-isu terkait apa yang mereka anggap tidak bermoral, baik itu prostitusi atau LGBT. Sehingga kebanyakan politisi akan mencari cara mudah untuk meyakinkan rakyatnya bahwa mereka berbuat sesuatu.”

“Pendekatan berbasis moralitas seperti ini ada di masyarakat yang sakit seperti yang kita miliki sekarang,” ujarnya kepada Magdalene.

“Apakah Anda ingin memiliki anak semacam itu?”

“Masyarakat yang sakit” yang dimaksud oleh Budi adalah sebuah masyarakat yang telah tumbuh jauh lebih religius secara konservatif dalam beberapa tahun terakhir. Ini menjelaskan mengapa sentimen anti-LGBT memiliki perspektif agama yang kuat.

Saiful Mujani Research and Consulting merilis survei nasional pada awal tahun ini yang menunjukkan bahwa sejumlah besar orang Indonesia tidak menyetujui hubungan non-heteroseksual. Dari mereka yang pernah mendengar tentang komunitas LGBT, hampir 90 persen merasa “terancam”. Setengah mengatakan mereka tidak akan menerima seorang LGBT di keluarga mereka sendiri, 80 persen mengatakan mereka
tidak akan mentoleransi orang-orang LGBT sebagai tetangga.

“Peran ‘sekutu’ adalah menghubungkan para korban penganiayaan dengan bantuan, seperti bantuan hukum. Sangat penting bagi sekutu untuk tidak tinggal diam.”

Irwan Hidayana membandingkan jajak pendapat tersebut dengan survei kecil  namun serupa yang ia lakukan di tiga kota besar di Indonesia pada tahun 2012. Survei itu menemukan 40 persen dari responden menerima orang homoseksual dan transgender. Sebagian faktor dari pergeseran ini adalah penyebaran narasi kebencian yang meluas di media, katanya, tetapi konservatisme agama pun berkontribusi pada meningkatnya sentimen negatif.

“Banyak khotbah di masjid berbicara tentang LGBT, dan terdapat juga persepsi bahwa LGBT adalah produk barat, sama seperti feminisme,” katanya.

Ustadzah Nur Hamidah, yang mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qudwah di Depok, Jawa Barat, mengatakan kepada Magdalene: “Pada prinsipnya, Islam mengajarkan pelestarian manusia. LGBT menentang prinsip ini, karena mereka memutus rantai eksistensi manusia. Islam juga merupakan agama preventif: mencegah penyebaran penyakit seksual menular dan penyakit sosial.”

Ketika ditanya mengenai pandangannya atas penganiayaan terhadap orang LGBT dia berkata: “Islam adalah agama yang melindungi para korban, bukan para pelaku. Hukuman untuk orang LGBT adalah dikucilkan dan diasingkan sampai mereka mati. Mengapa? Karena mereka bisa menulari orang lain.”

Dia menambahkan: “LGBT juga bertentangan dengan budaya kita, jadi saya tidak bisa menyalahkan yang menganiaya mereka karena negara harus memastikan adanya efek jera untuk menyelesaikan masalah ini.”

Meskipun ada segelintir ulama dan cendekiawan Muslim Indonesia yang memiliki pandangan progresif terhadap LGBT, Hamidah mewakili perspektif sebagian besar guru Islam pada umumnya.

Pandangan ini juga merambah ke pendidikan. Pada bulan April, diskusi panel yang banyak dipromosikan diadakan oleh Departemen Pendidikan Nasional di kantornya yang berjudul “Lindungi Anak dan Keluarga Indonesia dari Gerakan LGBT.” Dua pembicaranya – seorang dokter dan seorang akademisi – terkait dengan AILA. Setelah acara itu menimbulkan banyak keberatan dari media sosial, tema perbincangan pun diubah menjadi “Membangun Keluarga Berkualitas” dan dua pembicara konservatif tersebut dibatalkan pada saat-saat terakhir.

Diwawancarai oleh Magdalene setelah diskusi, salah satu pembicara, Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga di Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Sukiman, mengatakan: “Kami ingin anak-anak kami tumbuh dengan baik dan mampu melawan pengaruh negatif.”

Apakah ini berarti LGBT harus dilarang? tanya reporter Magdalene.

“Coba saya tanya Anda kembali: Apakah Anda ingin memiliki anak semacam itu?” jawabnya. “Dan apakah mereka satu-satunya kelompok yang teraniaya? Masih banyak lagi. Perempuan juga dianiaya. Ini kenyataannya. Ini memang tidak ideal, tetapi mereka bukan satu-satunya kelompok yang tertindas.”
 

Para sekutu, bergabunglah dengan perlawanan!

Terlepas dari agama, hasil survei dan pernyataan publik menunjukkan bahwa banyaknya kebencian terhadap kaum homoseksual dan transgender muncul dari ketidaktahuan. Kebanyakan orang tidak memiliki pemahaman dasar mengenai orientasi seksual dan identitas atau ekspresi gender. Banyak yang tidak menyadari bahwa homoseksualitas telah dideklasifikasi dari salah satu gangguan mental oleh asosiasi psikiatri di seluruh dunia sejak tahun 1970-an.

“Peran ‘Sekutu’ adalah menghubungkan para korban penganiayaan kepada bantuan, seperti bantuan hukum. Sangat penting bagi sekutu untuk tidak tinggal diam.”

Banyak orang bersedia menerima narasi yang ditawarkan kelompok konservatif seperti AILA, mengelirukan homoseksualitas dengan pedofilia dan berasumsi bahwa setelah beberapa negara melegalisasi pernikahan sesama jenis, komunitas LGBT di Indonesia pun akan menuntut hal yang sama.

Tentu saja ada ruang untuk pendidikan setelah kegaduhan mereda. Tetapi komunikasi harus dilakukan secara strategis, termasuk memilih bahasa yang paling sesuai dalam advmokasi (sebagaimana aktivis hak-hak perempuan Indonesia yang selama beberapa dekade menghindari kata “feminis” saat mengidentifikasi diri mereka untuk menghindari permusuhan dan resistensi yang tidak perlu).

Irwan berkata: “Di satu sisi, lebih banyaknya orang yang tahu apa itu ‘LGBT’ dapat digunakan sebagai peluang untuk ilmu yang lebih baik. Tetapi mungkin menggunakan istilah LGBT bersifat kontraproduktif. Mungkin kita bisa menggunakan istilah ‘keragaman seksual’.”

Untuk saat ini, penting bagi sekutu – orang-orang non-LGBT yang mendukung tujuan mereka – untuk bergabung dalam perang melawan penganiayaan dan diskriminasi dan membela hak mereka untuk hidup seperti warga negara Indonesia lainnya.

Naila berkata: “Peran ‘Sekutu’ adalah menghubungkan para korban penganiayaan kepada bantuan, seperti bantuan hukum. Sangat penting bagi sekutu untuk tidak tinggal diam.”

Dede Oetomo, pendiri kelompok advokasi homoseksual Gaya Nusantara, mengatakan bahwa ini saat bagi organisasi keagamaan progresif dan moderat untuk memberikan dukungan mereka: “Mereka berbicara tentang pluralisme, mengapa tidak berbicara pula mengenai keragaman seksual dan gender?”

Bagi banyak aktivis LGBT, peristiwa-peristiwa dalam dua tahun terakhir secara psikologis telah mengguncang mereka hingga ke titik di mana setiap bentuk dukungan akan membantu. “Setidaknya ketika para sekutu melantangkan suara mereka untuk berkata ‘tidak’ pada kekerasan terhadap LGBT, kami sudah merasa dikuatkan,” kata Agustine.

Ada pun Ferdi, bahkan setelah dua tahun dan meskipun kini tinggal di tempat lain, masih sangat trauma dengan insiden itu hingga awalnya ia menolak untuk menceritakan kembali pengalamannya (meskipun pada akhirnya ia berubah pikiran ketika berpikir bahwa ceritanya mungkin dapat membantu isu ini).

“Saya tahu ada banyak kasus yang jauh lebih buruk daripada kasus saya, seperti penganiayaan terhadap transpuan di Aceh. Tapi kejadian itu telah membuat saya paranoid,” katanya.

Managing Editor Hera Diani dan jurnalis Ayunda Nurvitasari, Camely Arta, Elma Adisya, Tabayyun Pasinringi serta Wulan Kusuma Wardhani berkontribusi untuk artikel ini.

*Illustrasi oleh Sarah Arifin; foto oleh Elma Adisya

Artikel ini diterjemahkan oleh Radhiyya Indra dari versi aslinya dalam Bahasa Inggris.

Baca juga tentang hak privilese heteroseksual yang mungkin kamu tidak sadari dan follow @dasmaran di Twitter.



#waveforequality


Avatar
About Author

Devi Asmarani and Magdalene

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *