Saat Ditinggal Matriark: Natal yang Berubah Ketika Nenek, Ibu, atau Tante Tiada
Saya masih ingat kegiatan saya di hari Natal tahun kemarin: bangun tidur, pergi ke gereja, pulang, makan, nongkrong di cafe, dan tidur lagi. Tak ada perayaan apa pun selain mendengar khotbah di gereja tentang kelahiran Yesus—yang dikaitkan dengan perubahan menjadi pribadi yang lebih baik.
Sedangkan, keluarga inti lain punya agenda masing-masing. Ibu, kakak, dan dua adik saya pergi dengan teman-teman dari gereja. Sementara saya yang tidak serajin mereka, sudah melepaskan nuansa Natal saat melangkah ke luar gerbang Katedral, Jakarta Pusat.
“Lo bukannya dulu ada ngumpul-ngumpul keluarga gitu pas Natal?” tanya teman saya yang tidak merayakan Natal saat kami nongkrong di Cafe di daerah Tebet, Jakarta Selatan. “Udah enggak pernah semenjak opung gue meninggal,” jawab saya.
2019 adalah terakhir kalinya kumpul keluarga besar terjadi. Saya makan masakan yang dibuat tante, ditanya kabar oleh om, mendengar petuah dari nenek, dan bergurau dengan sepupu yang usianya tidak jauh dari saya.
Pun demikian, semua itu berhenti ketika nenek meninggal di 2021. Tak ada lagi ajakan ke rumah nenek. Selamat Natal kini hanya terbaca, tak lagi terdengar langsung dari mulut sanak saudara.
Di tahun yang sama, penulis, fotografer, dan editor Mariah Maddox, juga kehilangan neneknya. Kepergian itu turut mengubah nuansa hari Natal dan tradisi kumpul-kumpul di keluarganya.
“Ketidakhadirannya meninggalkan rasa pedih yang hampir tak terdefinisikan, namun sangat nyata terasa di setiap helaan napas,” tulis Maddox di blog pribadinya.
Sejak kepergian neneknya, kain yang membungkus kehangatan keluarga mereka seperti terkoyak; pertemuan-pertemuan yang dulu penuh tawa kini redup, ikatan kekeluargaan perlahan terkikis, dan tradisi yang pernah dipertahankan dengan sepenuh hati, kini semakin sering terlupakan. “Di tempat yang dulu dipenuhi kehangatan, kini ruang itu seolah diambil alih oleh keheningan yang dalam—pengingat akan kerinduan yang tak pernah benar-benar reda dan lubang besar di dalam dada yang terus memanggil masa lalu.”
Neneknya adalah matriark buat Maddox; perempuan yang kerap menjadi perekat: menghadirkan rasa aman, kebersamaan, dan kestabilan. Dialah yang menahan semuanya tetap utuh, bahkan ketika segalanya di sekeliling nyaris runtuh.
“Ia adalah fondasi, penyeimbang—sosok yang mengentalkan cinta dan meluaskan hati dengan cara-cara yang nyaris tak terbayangkan.”
Baca juga: Bagaimana Seharusnya Gereja Bersuara Soal Genosida Palestina?
Kehilangan Matriark
Saya dan Maddox enggak sendiri dalam menghadapi perubahan di hari Natal. Jurnalis Devi Asmarani juga mengalami hal serupa. Ibu Devi adalah sosok yang meramaikan hari Natal keluarga besarnya.
Ia bahkan memotori dan merencanakan kegiatan hari itu: mengundang sanak-saudara untuk berkunjung, merencanakan tanggal dan tempat perayaan, memilih makanan, hingga menyetel lagu untuk dinikmati bersama. Untuk makanan, ibu Devi biasanya membuat masakan khas Sumatera.
“Makan ketupat, ketan, kayak makan-makanan Sumatera lah ya, rendang, sambel goreng ati, apa segala macam,” ujarnya.
Kurasi makanan ini membuat kemeriahaan tidak hanya dinikmati keluarga, tetapi terbuka untuk semua. Teman-teman Muslim Devi juga senang saat Natal tiba. Mereka ingin merasakan nuansa makan besar yang bukan cuma hadir saat lebaran.
Kemeriahaan itu terakhir dirasakan di 2019. Ketika ibunya meninggal pertengahan 2020 lalu, Devi dan keluarga berusaha mempertahankan tradisi Natal. Namun rasanya tak lagi sama. Pengunjung berkurang dan makanan Natal tidak lagi semeriah dulu. Meski masih dipertahankan hingga sekarang, perayaan dilakukan seadanya.
Tak ada lagi yang membuat ketupat, rendang, dan masakan khas Sumatera. Biarpun kakak ipar Devi pernah menggantikan jobdesc memasak, rasanya sudah berbeda. Mereka akhirnya melakukan potluck atau memesan makanan dari luar untuk merayakan Natal.
“Pada akhirnya kita juga menyesuaikan dengan ketiadaannya mama dan tradisi yang sudah berubah itu,” ucapnya.
Menurut Devi, tradisi natal penting dijaga untuk melanggengkan silaturahmi. Meski demikian, ia mengakui ada faktor yang membuat acara keluarga tak bisa dihadiri semua orang. Konflik di antara anggota misalnya, membuat satu atau dua orang absen jadi tak terhindarkan.
“Kayak misalnya ada yang punya masalah atau bahkan sesimple enggak pengen ditanya macam-macam, itu juga bisa membuat dia (anggota keluarga) enggak datang ke acara. Aku sendiri pernah mengalami fase itu ketika lebih muda,” tuturnya.
Baca juga: Ternyata Rindu Memang Berat, Kisahku Belasan Tahun Tak Mudik Lebaran
Hilangnya Ruang Aman
Rini—bukan nama sebenarnya—sudah dua tahun tidak merayakan Natal bersama keluarga. Serupa dengan Devi, Rini terakhir kali merasakan kemeriahan Natal sebelum ibunya meninggal. Namun, perbedaannya, tradisi ini hilang karena ia dilempari prasangka oleh keluarga besar.
Rini, yang saat itu tinggal di daerah Jawa Timur, selalu punya cita-cita merantau ke Jakarta. Sebagai sarjana perfilman, lapangan kerja yang bisa menyerap skill-nya memang terdapat di kota metropolitan itu. Namun, keinginan itu tak ia wujudkan lantaran sang ibu memintanya untuk menunggu.
“Waktu dia sakit parah, gue masih enggak ngeh maksudnya dia nunggu tuh itu (meninggal), kirainnya dia bakal sembuh,” kata Rini.
Ibunya berpulang di bulan ketiga 2024. Ketika tugasnya menunggu telah usai, Rini memutuskan untuk ke Jakarta. Ayah dan kakeknya memberi izin. Namun keluarga besar berkata lain. Mereka berkata keputusan Rini merantau melawan keinginan ibunya. “Padahal nyokap gue enggak ada obrolan gitu, nyokap gue cuma nyuruh nunggu,” tuturnya.
“(Protes) itu di-post di story sama keluarga, itu disumpah-sumpahin, di situ gue pecah sama keluarga besar, hubungan gue mulai renggang sama keluarga besar,” lanjutnya.
Mulai dari situ, Rini selalu membeli tiket kereta yang berangkat setelah 25 Desember. Natal tak lagi sama. Natal bukan lagi tempat aman.
Dulu, ia dan keluarga besarnya panitia Natal di gereja. Rini tak lagi merasa perayaan kelahiran Kristus bersama keluarga sebagai ruang nyaman.
“Kalau gue pulang pasti enggak dilibatkan. Di situ teman gue cuma adik gue dan dia pasti sibuk. Gue pasti sendiri, jadi gue enggak mau ngerasain perasaan ditinggal gitu loh. Sudah tergambar jelas kalau gue pulang pasti ini yang kejadian. Karena dulu pernah begitu pas om gue lagi marah sama gue,” jelasnya.
Jadi, alih-alih kosong dan sedih karena kehilangan tradisi natal, Rini lega karena tak lagi terikat di dalam drama toxic keluarga yang berbelit. Terlebih lagi, ia tidak perlu repot-repot menyiapkan kebutuhan jemaat untuk perayaan natal
Rencananya tanggal 25 Desember ini hanya datang ke gereja, mendengar khotbah, jalan-jalan keliling Jakarta, dan pulang ke indekos.
“Ternyata enak banget jadi jemaat biasa. Selesai gereja paling jalan-jalan aja,” kata Rini.
Baca juga: Nasib Anak Rantau: Tidak Bisa Pulang Setiap Liburan Meski Punya Rumah
Usaha Merayakan Natal yang Tak Boleh Padam
Devi dan Rini, meski dengan cara berbeda tetap berusaha menyalakan semangat Nata di hati masing-masing. Meski, kepergian matriark di keluarga masing-masing, sulit disangkal, membawa sebagian api yang membawa kehangatan itu.
Hal serupa juga dirasakan Maddox. “Betul yang orang-orang bilang, saat matriark tiada, dinamika keluarga berubah signifikan,” tulisnya.
“Ketegangan kerap meninggi, dan setiap orang memanggul dukanya dengan cara yang berbeda. Menjaga tradisi di tengah keadaan seperti itu terasa seperti mendaki gunung yang terlalu terjal untuk ditaklukkan.”
Buat Maddox, tidak mengabaikan proses berduka itu penting. Meski orang berduka dengan caranya masing-masing, ia punya tips yang bisa dicoba buat mereka yang kehilangan matriark dan mencari-cari spark yang selama ini hadir di hari-hari festive macam Natal, atau hari besar lainnya.
“Jika kamu merasa keluargamu mulai merenggang karena kehilangan sosok matriark, lakukan sesuatu. Pikirkan cara agar keluargamu bersama lagi, besar atau kecil, bahkan langkah sekecil apa pun, yang penting tetap bergerak,” tulis Mariah.
Barangkali mereka akan beristirahat dalam senang, mengetahui tradisi dan kebaikan yang mereka lakukan, diwariskan dari generasi ke generasi. Tapi, ingat, beban itu bukan buatmu sendiri. Bicarakan.















