‘Buzzer’ Masih Meresahkan, Bagaimana Kita Melawannya?
Buzzer, baik itu sukarela maupun berbayar, begitu familier belakangan karena sering digunakan untuk kepentingan politik di Indonesia.
Kondisi ini diamini oleh riset Universitas Oxford yang menunjukkan pemerintah dan partai politik di Indonesia rela merogoh kocek buzzer untuk memanipulasi opini publik.
Aktivitas ini dikenal dengan influence operation atau operasi pengaruh. Karena permintaan yang tinggi, harga jasa operasi pengaruh pun tidak bisa dikatakan murah.
Dalam konteks mempertahankan kekuatan atau kekuasaan, pemerintah Indonesia ditengarai telah menggunakan buzzer politik untuk melawan serangan konten-konten dari pihak oposisi.
Banyak riset yang telah dilakukan untuk membuktikan penggunaan buzzer di Indonesia. Misalnya isu tentang minyak kelapa sawit, penanganan pandemi Covid-19, RUU Cipta Kerja, dan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Operasi semacam ini tidak melibatkan organisasi atau perusahaan, tetapi lebih mengandalkan koneksi sementara berbasis proyek antara individu yang dalam beberapa kasus, diikuti upaya peretasan.
Narasi yang dibangun oleh para buzzer politik dapat menciptakan pengetahuan dan juga dapat memberikan pengaruh politik kepada masyarakat yang berada di dunia maya.
Sayangnya, pengetahuan yang disebarkan oleh buzzer tersebut tidak objektif karena berlandaskan kepentingan pihak yang mempekerjakannya. Alhasil, penggunaan buzzer berdampak negatif terhadap demokrasi di Indonesia dan menggerus ruang sipil.
Baca Juga: Kenali ‘Buzzer’, Hadapi Persekusi Digital
Piawai Setir Opini Publik
Cara kerja buzzer dimulai dari munculnya suatu isu, kemudian mereka memantau sentimen publiknya.
Setelah itu, pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah, akan menggunakan buzzer lanjutan untuk membentuk opini publik sesuai keinginannya terkait kebijakan yang akan atau telah diputuskan.
Para buzzer ini dengan sporadis melaksanakan serangan udaranya dengan menciptakan konten-konten yang dirancang khusus untuk memengaruhi opini publik sesuai dengan isu yang ada. Mereka kemudian menyebarkannya melalui berbagai saluran, terutama media sosial.
Pesan politik yang disampaikan kerap bersifat negatif dan politis serta efeknya dapat merusak demokrasi Indonesia. Cara kerja buzzer dengan menggunakan narasi-narasi positif dan negatif guna membentuk interaksi yang begitu besar.
buzzer juga bekerja dengan cara melakukan hal yang bertentangan dengan etika komunikasi. Mereka tidak segan melakukan perundungan digital ataupun fitnah dengan bahasa yang kasar, bahkan provokatif.
Jika dibiarkan secara terus menerus, dengungan para buzzer berisiko memantik konflik di tengah masyarakat.
Baca Juga: Jurnalis Merangkap ‘Buzzer’ Pemerintah di TikTok: Kenapa Bahaya buat Jurnalisme Kita?
Menyebarkan Hoaks dan Propaganda
Buzzer memanfaatkan celah kekosongan regulasi media sosial untuk menyebarkan propaganda negatif dan memanipulasi opini publik.
Lebih parah lagi, buzzer menyebarkan hoaks yang tidak hanya bertujuan untuk mengubah opini publik, tetapi juga memutarbalikkan fakta.
Tidak jarang, buzzer memang sengaja jadi inisiator perdebatan publik terhadap suatu isu yang mau diramaikan. Parahnya lagi, perdebatan yang terjadi terkadang menjadi ujaran kebencian yang dapat memecah belah masyarakat.
Selain itu, buzzer juga sering digunakan untuk membungkam kritik dengan cara menyerang para kritikus (warganet, pemuka opini dari oposisi, media massa) secara bersama-sama sehingga perbincangan tidak berlanjut dan reputasi dari kritikus menjadi tidak baik di hadapan publik.
Karena itulah, kehadiran buzzer tetap eksis hingga saat ini. Eksistensi mereka juga didukung kebijakan platform media sosial yang membiarkan adanya akun anonim dan akun palsu.
Baca Juga: ‘Buzzer’ dan Merawat Ruang Publik Kita
Mencegah Eksistensi Buzzer
Riset kami, yang belum diterbitkan, memberikan alternatif bagaimana kita sebaiknya bersikap agar buzzer tidak lagi eksis dan merusak kualitas demokrasi di Indonesia.
Pemerintah perlu mengajak platform media sosial untuk duduk bareng merumuskan kebijakan yang tepat. Regulasi pembuatan akun media sosial perlu diperketat untuk mengurangi kemunculan akun anonim dan akun palsu sehingga setiap pengguna media sosial memiliki identitas jelas.
Selain itu, penegakkan hukum juga perlu diperkuat dan memberikan sanksi tegas agar para pelaku mendapat efek jera. Efek jera itu sekaligus bertujuan agar pengguna media sosial lebih berhati-hati dalam mengunggah konten di media sosialnya.
Selain regulasi, peningkatan literasi digital juga perlu dilakukan sembari mengevaluasi program literasi digital pemerintah. Literasi ini dilakukan kepada pemerintah (elite politik) dan masyarakat.
Literasi kepada pemerintah perlu kita arahkan supaya tidak lagi menggunakan jasa buzzer untuk menyebarkan pesan-pesan politik dan membungkam kritik. Ini penting dilakukan agar pemerintah menjadi contoh yang baik.
Sementara dari sisi masyarakat, literasi dapat dilakukan sejak dini dengan memprioritaskan kemampuan dalam mengecek kebenaran informasi.
Dengan begitu, masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh upaya manipulasi opini publik oleh buzzer, baik itu melalui propaganda maupun penyebaran hoaks dan ujaran kebencian.
Harapannya, konten atau pesan yang diproduksi tidak mendapat respons publik dan tidak dibagikan oleh pengguna media sosial lainnya sehingga jangkauannya menjadi terbatas.
M. Yusuf Samad, Doctoral candidate, Universitas Hasanuddin.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
















