Toilet bagi Semua
Toilet mestinya juga mengakomodasi kebutuhan kawan-kawan transgender.
Di balik identitas gender dan kemampuan yang dipunya, kita sering kali lupa bahwa kita mahluk hidup. Sebagai mahluk hidup, manusia butuh kakus untuk membuang zat-zat berbahaya yang tidak dibutuhkan dalam tubuh.
Seandainya saja bisa melihat manusia sebagai mahluk hidup, kita tentu menyadari, enggak semua manusia dapat akses yang sama terhadap kakus. Misalnya, masyarakat miskin yang tinggal di perkotaan. Mereka dipaksa keadaan untuk memakai kamar mandi umum yang kerap tak bersih.
Dari contoh tersebut, kita bisa melihat identitas sosial sebagai embel-embel klasifikasi manusia, biasanya menjadi penghalang untuk mendapatkan akses kakus yang layak.
Baru-baru ini, kawan lamaku, sebut saja N, bercerita dalam prosesnya bertransisi menjadi transgender, ia mulai kehilangan beberapa hak dasar. Satu yang paling ia sadari lenyap adalah menggunakan kakus di tempat umum.
Karena kini bertransisi menjadi perempuan, sudah sepatutnya ia menggunakan toilet khusus perempuan. Namun, yang terjadi adalah ia kebingungan untuk mengunakan toilet apa yang seharusnya dia gunakan. Masalahnya di Indonesia, kakus diberi identitas gender. Sehingga, identitas minoritas seperti dirinya, kebingungan untuk mengakses kakus.
Baca juga: Toilet Ruang Kesadaran
Problematika Toilet Bergender
Sayangnya penyematan identitas sosial pada manusia tidak selalu berdampak pada pemenuhan kebutuhan dasar. Toilet berjenis kelamin misalnya, ternyata tidak mengakomodasi kebutuhan trans yang kebingungan.
Toilet berjenis kelamin sesungguhnya punya dua mata pisau. Pada satu sisi, pemisahan toilet berdasarkan gender membuat perempuan diberikan rasa aman dari pelecehan dan terpenuhi kebutuhan higenitasnya. Di sisi yang lain, genderisasi toilet melanggengkan heteronormativitas.
Coba perhatikan ruang laktasi dan nursery yang biasanya digabung dan ruangan itu menempel pada toilet perempuan. Hanya toilet perempuan menyediakan tempat ganti popok, tidak dengan toilet lelaki. Hal ini mengindikasikan, hanya perempuan yang dibebani dan terbebankan oleh kewajiban membesarkan dan mengurus anak.
Tidak heran apabila Indonesia didaulat menjadi salah satu negara tanpa ayah menurut riset mahasiswa PAUD Universitas Sebelas Maret (UNS). Sebab, heteronormativitas dan beban pengasuhan perempuan dilanggengkan melalui fasilitas publik seperti ruangan nursery yang menempel pada toilet perempuan saja.
Toilet yang hanya tersedia dalam dua gender juga membuat orang-orang berpikir, jenis kelamin dan gender hanya ada dua. Itu yang menyebabkan N kehilangan hak dasarnya atas akses terhadap kakus yang layak.
Betapa dilemanya transisi sebagai transpuan. Dengan penampilan yang kini feminin, dia tidak bisa menggunakan toilet lelaki dan merasa segan untuk masuk toilet perempuan. Ia khawatir perempuan merasa tidak nyaman dengan kehadiran dirinya.
N mungkin bukan satu-satunya minoritas yang harus menahan buang hajat di tempat umum. Teman-teman disabilitas fisik dengan kursi roda misalnya, harus pikir panjang untuk keluar rumah karena jangankan pergi ke toilet di pusat perbelanjaan, melangkahkan kaki keluar rumah saja sudah cukup berbahaya.
Baca juga: Babak Baru Perjuangan LGBT di Indonesia
Toilet Uniseks dan Pengakuan terhadap Transgender
Aku mendengar opini dari perempuan cisgender yang homofobik tentang ini. Ia menolak untuk berbagi toilet dengan transpuan. Alasannya adalah walau bagaimana pun transpuan adalah lelaki dan dia merasa terancam akan kehadiran perempuan “jadi-jadian” di toilet khusus perempuan. Bagiku, opini buruk perempuan cisgender ini tidak layak untuk didengarkan.
Konsep toilet uniseks sendiri bukan penemuan baru. Kita sesungguhnya bisa menemukan toilet tanpa embel-embel identitas gender di mana pun. Di pesawat terbang misalnya, toilet di sana tidak ada identitas gender semua bisa menggunakan secara bergantian. Apakah para perempuan di pesawat sana merasa terancam karena harus berbagi toilet dengan lelaki lainnya? Tentu tidak.
Lagipula, sebagai perempuan dengan pengalaman dilecehkan, semua pelecehan yang pernah terjadi padaku, semuanya dilakukan oleh laki-laki cisgender. Sehingga, aku rasa ketakutan tak berdasar atas transpuan menggunakan toilet khusus perempuan adalah murni sebuah opini homofobik.
Harusnya dengan konsep perempuan mendukung perempuan, kita memberikan terlebih dahulu tempat bagi transpuan untuk merasa aman di ruang publik. Identitas gender muncul setelah identitas sebagai manusia. Menjadi transgender bukan sebuah pilihan, itu adalah panggilan jiwa. Maka sebaiknya kita perlakukan transgender selayaknya sebagai manusia.
Namun, menurutku penting untuk memberikan satu toilet yang bisa diakses oleh semua orang tidak terbatas oleh gender dan abilitas fisiknya. Pun, ruang nursery dan laktasi di tempat gender neutral agar para ayah juga bisa ikut mengganti popok anaknya.
Sudah cukup kita melanggengkan heteronormativitas dan abilitas fisik. Sebab kita semua layak diperlakukan sebagai mahluk hidup dengan kebutuhan ekresi.
Akses terhadap kakus penting namun sering terlupakan. Dari pengalaman N kita bisa melihat, kelompok minoritas selalu menjadi korban atas kelalaian pranata dan institusi sosial manusia untuk menyediakan kakus bagi sesama.