Gender & Sexuality

Transpuan di Sarang Penyamun: Pengalamanku di Sekolah Putra

Selama enam tahun mengecap pendidikan di sekolah khusus pria, ia justru menjadi target kekerasan berulang, termasuk kekerasan seksual.

Avatar
  • January 13, 2022
  • 6 min read
  • 1718 Views
Transpuan di Sarang Penyamun: Pengalamanku di Sekolah Putra

Memori itu masih cukup hangat di kepala. Lapangan semen yang dipenuhi puluhan remaja laki-laki berkaos putih yang menjalani kegiatan ospek tahun ajaran baru. Di bawah panggangan matahari dan dikepung bau kecut keringat mereka, pertanyaan yang sama dari tiga tahun sebelumnya ketika aku memulai SMP di sekolah yang sama kembali menggerogoti pikiranku: Bagaimana aku yang feminin bisa bertahan dan melewati hari-hari di sekolah khusus putra ini? 

Ini adalah tahun keempat aku bersekolah di sekolah khusus pria ini. Layaknya kebanyakan sekolah di Indonesia, seluruh siswa wajib menaati sekian banyak peraturan, seperti larangan rambut menutupi alis dan telinga, serta larangan memanjangkan kuku. Kenyataannya bukan rambut gondrong atau kuku panjang yang membuatku mendapat hukuman sosial dari lingkungan sekolah, tetapi bulu mata yang lentik dengan polesan maskara dan bibir yang dipoles gincu merona. 

 

 

Transgender Perempuan Jadi Target Kekerasan

Keesokan harinya, jantungku berdetak lumayan cepat. Ini kali pertama aku menunjukkan penampilan “ekstremku” di sekolah. Sebelumnya, ketika sedang berdandan aku berbisik pada diri sendiri, “Semoga dandananku hari ini cukup baik untuk seorang pemula.”

Dengan naifnya aku berpikir mereka akan menerimaku, sehingga aku tidak mengantisipasi reaksi yang begitu keras dari lingkungan sekolah. Sorotan tajam para guru dan kerasnya tawa para siswa menyambutku. 

Baca juga15 Tahun Tanpa Identitas, Transpuan Jogja Dapat Kado E-KTP

Anjir, ini kenapa ada bencong di sekolah, dah?”

“Cantik, sepongin aku, dong!”

“Awas, awas! Ada penjahat kelamin!” 

Setelah menutup diri sejak kelas satu SMP, kini aku menjadi target kekerasan di lingkungan sekolah. Sekujur tubuhku gemetar dengan hebatnya akibat reaksi mereka. Perutku mual, tenggorokanku tegang, penglihatanku memudar, keringatku terasa sedingin es batu. Rasanya mau mati saja. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyesali pilihan untuk mengekspresikan diri. 

Menjalani pendidikan di sekolah putra bagi seorang transpuan sepertiku bagaikan neraka. Risakan demi risakan terus menerorku setiap hari. Tidak hanya siswa, para staf pengajar juga ikut merisakku. Bahkan, aku hampir dikeluarkan dari sekolah karena identitasku dianggap memicu masalah di antara para siswa, serta berpotensi mengintervensi pembelajaran di sekolah.

Aku bukan satu-satunya yang memiliki pengalaman serupa. “Ardi”, 26, seorang transpria menghadapi ketidaknyamanan yang sama ketika bersekolah di pesantren perempuan ketika remaja. 

“Lama-lama aku jadi merasa tersiksa,” ujarnya. 

Siksaan yang ia rasakan semakin menguat saat ia mulai memasuki masa pubertas, ketika ia kerap kali tertekan oleh pertanyaan dan kebingungan mengenai identitasnya. Ardi juga mengatakan sering kali ia kesulitan untuk mengekspresikan dirinya di antara para santri perempuan. Beberapa santri perempuan bahkan menghindari dirinya. 

“’Awas, nanti dia suka, loh, sama kamu!’” kata Ardi menirukan omongan salah satu santri perempuan di pesantrennya dulu.

Mengenyam pendidikan di lingkungan sekolah heterogen saja sudah cukup menyeramkan bagi banyak individu trans, apalagi di sekolah homogen. Seharusnya pemerintah menjamin keamanan dan keselamatan setiap warganya, termasuk individu trans, namun hasil survei Arus Pelangi tahun 2017 menunjukkan 55 persen diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+ datang dari negara, sedangkan 45 persennya dilakukan oleh masyarakat. 

Tidak kurang dari Ketua MPR RI periode 2014-2019, Zulkifli Hasan, mengatakan pada 2016: “Ini [kelompok LGBTIQ+] harus dilarang karena enggak sesuai dengan budaya kita.” Pernyataan tersebut pun didukung oleh Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI saat itu, Mohammad Nasir. Dengan menteri pendidikan yang memiliki pandangan seperti ini, tidak heran beberapa institusi pendidikan dengan jelas melakukan diskriminasi terhadap kelompok LGBTIQ+, seperti Universitas Andalas yang menolak untuk menerima mahasiswa LGBTIQ+ di kampus mereka pada 2017 lalu. 

Baca juga: 7 Cara Sederhana Mendukung Komunitas Transgender

Sebagai seorang yang berekspresi feminin di sekolah khusus laki-laki, aku juga kerap mengalami kekerasan seksual. Suatu hari di jam istirahat, ketika sedang menggambar, aku dikejutkan oleh penis teman sekolahku yang muncul dari dalam kotak pizza.  Di kali lain, foto wajahku di majalah dinding kelas dipenuhi coretan penis lengkap dengan tulisan “mau titit, dong!” 

Bahkan seorang staf pengajar pernah melakukan percobaan pemerkosaan terhadap diriku. 

Ini mengingatkanku pada monolog yang dibawakan oleh aktivis transgender Khanza Vina yang berjudul UMEAK: “Tak hanya itu, dua orang dari mereka mengeluarkan penisnya lalu menyodorkannya tepat di depan mukaku, ‘Isap! Isap!’ bentak mereka sambil tertawa terbahak-bahak.”

Bagi banyak individu trans yang bersekolah di sekolah heterogen, seringkali perisakan diikuti dengan pelecehan dan kekerasan seksual.

Sekolah Homogen = Terapi Konversi?


“Saat itu, aku pikir kondisiku adalah sebuah kesalahan dan dosa yang harus diperbaiki,” ujar Ardi saat ditanya alasannya menjalani pendidikan di pesantren. Sebenarnya diam-diam aku juga memiliki alasan yang sama. Memang, orang tuaku berharap aku bisa kembali ke “kodratku” dengan bersekolah di situ, namun saat itu memang masih kurang pengetahuan dan penerimaan diri terhadap kondisi yang aku miliki. Selain itu, kerap aku dipenuhi rasa kesal karena selalu merasa berbeda dan dibedakan oleh masyarakat.

Namun, enam tahun bersekolah di sekolah khusus laki-laki tidak membuat pikiranku berubah. Aku tetap seseorang yang “terlahir” di tubuh yang salah. Aku bukan seorang pria. Alih-alih “sembuh” dari kondisiku, aku malah mengalami depresi dan pikiran bunuh diri. Sering kali aku berpikir tidak akan mampu hidup melewati usia dua puluh tahun.

Tentunya aku beruntung karena masih ada sampai saat ini. Banyak individu trans dan LGBTIQ+ di luar sana yang tidak seberuntung diriku. Mereka gugur akibat berbagai macam metode terapi konversi. Pada 2014, Leelah Alcorn menggemparkan Amerika Serikat saat Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di usia 17 tahun dan membagikan momen tersebut lewat akun Tumblr-nya. Sebelumnya, orang tua Leelah yang tidak mendukung identitas gendernya telah mengirimnya untuk mengikuti program terapi konversi berbasis ajaran Kristiani. Aku yakin masih banyak Leelah lain di luar sana yang ceritanya tidak sempat media massa, termasuk di Indonesia.

Terapi konversi masih relatif marak di masyarakat kita. Bahkan, praktik tersebut masih sering dilakukan oleh klinik bodong berkedok pelayanan hipnoterapi, komunitas religi dengan ruqyah sebagai salah satu metode ikonisnya, serta instansi pendidikan dengan dalih memperbaiki moralitas anak-anak bangsa. Padahal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menerbitkan laporan tentang dampak terapi konversi terhadap kelompok LGBTIQ+ pada Mei 2020, yang antara lain menunjukkan temuan tindakan kekerasan dan diskriminatif yang dialami korban selama proses terapi berlangsung.

Selain belajar di sekolah putra, aku juga pernah menjalani terapi konversi yang membuat orang tuaku menghabiskan belasan juta rupiah untuk beberapa sesi konseling. And, yes, it turned out to be a total scam.

Aku bersyukur karena Tuhan masih memberiku kesempatan untuk merasakan kehidupan yang lebih baik. Mungkin Tuhan mendengar doaku, sekitar 12 tahun silam ketika mengikuti orang tuaku beribadah umrah–doa seorang anak 10 tahun. 

“Tuhan, tolong biarkan aku hidup sebagai perempuan sampai akhir hayatku,” ucapku saat sembari termenung menghadap Ka’bah saat rombonganku sudah meninggalkan pekarangan Masjidil Haram. 

Aku memiliki banyak privilese: Akses terhadap informasi yang tepat, layanan konseling yang tidak bias dan dilakukan oleh profesional berlisensi, serta pertemuan dengan orang-orang baik yang sangat membantu dalam proses penerimaan diriku.

Dulu aku selalu berpikir bahwa keadaanku tidak akan pernah menjadi lebih baik seperti yang dikatakan orang-orang. Namun, dengan kokohnya dukungan dari berbagai aspek di kehidupanku, akhirnya aku kembali memiliki gairah hidup. Ternyata, aku mampu melewati usia di atas dua puluh tahun! Aku tidak lagi menyesal telah mengekspresikan diriku di sekolah pada hari itu.

Ya, aku berhasil! Aku sudah melewati neraka itu. Sekarang, saatnya aku menjalani episode baru hidupku. Tentu akan banyak tantangan baru, neraka-neraka baru yang siap membakar setiap langkahku. Tapi, setidaknya aku akan menerobos seluruh bara api tersebut dengan versi diriku yang paling otentik.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jeje Bahri

Jeje Bahri adalah seorang ilustrator dan desainer yang senang melamun dan menghabiskan waktu memandangi lingkungan sekitarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *