Disforia Gender: Terjebak dalam Tubuh dan Identitas yang Tak Diinginkan
Terjebak dalam tubuh dan identitas yang tak diinginkan memang menyiksa. Celakanya, siksaan ini masih harus ditambah dengan stigma.
Dalam wawancara televisi pertamanya Elliot Page setelah melela sebagai transgender, ia mengaku pada Oprah Winfrey sempat berjibaku dengan serangan panik di kamar ganti. Salah satunya ketika ia menghadiri penayangan perdana film Inception (2010). Page tersiksa mengenakan berbagai macam gaun dan sepatu hak tinggi berulang kali. Pengalaman Page yang disampaikan di televisi ini disorot media massa. Mayoritas media melihat apa yang dialami oleh Page sebagai disforia gender. Apa itu?
Mark A. Yarhouse, psikolog dari Wheaton Collage Inggris dalam bukunya Understanding Gender Dysphoria mendefinisikan disforia gender sebagai pengalaman memiliki identitas psikologis dan emosional sebagai seorang biner, laki-laki, atau perempuan dan bahwa identitas itu tidak sesuai dengan jenis kelamin biologi, sehingga ia tak nyaman. Perasaan tidak nyaman atau ketidakpuasan ini begitu kuat bahkan memicu depresi dan gangguan mental lainnya. Dalam banyak kasus, disforia gender terjadi di masa kanak-kanak namun tidak sedikit juga menimpa orang-orang yang sudah mengalami masa pubertas atau dewasa.
Baca juga: Aprilia Manganang dan Buruknya Wawasan Gender, Seksualitas di Indonesia
Istilah disforia gender ini begitu lekat dengan Norman Fisk yang menulis editorial di Western Journal of Medicini pada 1974. Ia mengusulkan istilah sindrom disforia gender sebagai alternatif yang lebih progresif dan fleksibel untuk diagnosis transeksualisme, mengingat sebelum ada istilah ini, banyak praktisi medis menggunakan istilah gangguan identitas gender (gender identity disorder) untuk menjelaskan rasa inkongruen. Hasilnya, itu justru melahirkan stigma dan diskriminasi kepada kelompok transgender karena menempatkannya pada kelompok pengidap gangguan mental.
Lalu apa saja tanda-tanda yang mungkin terjadi ketika seseorang mengalami disforia gender? Menurut National Health Service Inggris, tanda-tanda seseorang mengalami disforia gender dapat dilihat dari bagaimana mereka mengubah penampilan, perilaku, atau minat. Mereka mungkin juga menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan atau kesulitan dalam menerima dirinya sendiri, termasuk di antaranya rasa rendah diri, menarik diri atau terisolasi secara sosial, depresi dan kecemasan berlebih, atau mengabaikan diri mereka sendiri.
Hal yang kemudian patut digarisbawahi adalah tidak semua transgender mengalami disforia gender. Dari sinilah kemudian dalam politik transgender, penggunaan kata disforia cukup problematik karena pendefinisiannya sangat eksklusif diarahkan kepada transgender yang pada kenyataannya tidak akurat dalam mewakili pengalaman menjadi trans itu sendiri.
Baca juga: Magdalene Primer: Memahami Gender dan Seksualitas
Dalam hal ini, Sam Dylan Finch seorang transmen dalam artikelnya Not All Transgender People Have Dysphoria – And Here Are 6 Reasons Why That Matters mengatakan, bagaimana ia dan sahabatnya, Kai, menjalani sebuah proses untuk mencoba memahami diri sendiri, termasuk memisahkan ekspektasi publik dan apa mereka benar-benar mau. Finch dan Kai menemukan dirinya sendiri melalui proses itu bahwa mereka tidak mengidentifikasi dengan jenis kelamin yang ditugaskan kepada mereka saat lahir.
Finch menegaskan bagaimana jenis kelamin itu relatif kompleks, terlebih lagi transgender. Karena itulah, penggunaan disforia yang mengacu pada trauma luka atau rasa sakit transgender telah menjadi karakteristik yang menentukan tentang apa artinya menjadi seorang yang dianggap liyan ini.
Menjadi transgender, menurut Finch justru adalah tentang perjalanan yang diperlukan untuk mengabaikan harapan dan menemukan dirinya sendiri. Ini tentang lapisan yang harus ia kupas guna mencari tahu siapa ia sebenarnya. Ini tentang kebanggaan dan kegembiraan yang ia rasakan ketika ia menemukan kata-kata untuk menggambarkan identitas dirinya sendiri dan menemukan komunitas sejenis.
Apa yang diucapkan oleh Finch kemudian beresonansi dengan pernyataan Elenaor MacDonald dari Institut Studi Perempuan di Universitas Queen. Dalam jurnal akademiknya, Critical Identities: Rethinking Feminism Through Transgender Politics ia berujar, identitas transgender memenuhi syarat untuk intervensi medis, yang diagnosisnya didasarkan pada serangkaian kriteria tetap.
Stigma dan akses medis
Selain stigma sosial yang cukup besar untuk mengklaim identitas yang juga dianggap sebagai gangguan kejiwaan, orang dengan disforia gender cenderung tak berdaya di dunia mesia, karena identitas mereka kerap dibantah oleh panel tenaga medis (demedikalisasi disforia gender).
Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Standards of Care: The Hormonal and Surgical Sex Reassignment of Gender Dysphoric Persons menyisakan sedikit ruang untuk variasi individu atau preferensi orang-orang transgender dalam menentukan arah bantuan medis apa pun yang mungkin mereka cari. Sistem gender biner yang kaku tetap menjadi dasar untuk evaluasi kesehatan.
Baca juga: Mainan Beridentitas Gender Lebih Berisiko dari yang Kita Pikir
Terlepas dari semua kesulitan yang disajikan dalam perawatan medis orang-orang transgender, ada kekhawatiran dan perdebatan yang sangat nyata di komunitas transgender bahwa demedikalisasi disforia gender akan membatasi cakupan asuransi obat-obatan atau operasi, yang secara efektif mengesampingkan pilihan bedah.
Namun perlu juga ditekankan bagaimana tempat kontestasi identitas juga berfungsi secara sosial dalam banyak hal. Dengan demikian, disforia gender masih jadi satu-satunya alat ukur dalam memahami perasaan dan efek yang ditimbulkan dari perubahan identitas gender seseorang.