Gender & Sexuality Issues Opini

#MencatatPengalamanTranspuan: Jadi Korban Kekerasan, Dipaksa Bungkam (2)

Bagian tersulit dari menjadi transpuan bukan cuma stereotip dan penghakiman sekitar, tapi juga kerentanan menjadi korban kekerasan.

Avatar
  • October 17, 2024
  • 4 min read
  • 577 Views
#MencatatPengalamanTranspuan: Jadi Korban Kekerasan, Dipaksa Bungkam (2)

*Peringatan pemicu: Kekerasan seksual. 

Dari kecil, aku sudah bersahabat dengan luka. Namun bukan luka harus berpisah dengan ibu. Tuntutan untuk membiayai hidup, membuat ibu memilih untuk fokus bekerja saja. Alhasil, aku harus dititipkan kepada nenek untuk dirawat. 

 

 

“Kalau kamu mau tetap sekolah, ikutlah Nenek. Jika ikut Ibu, kamu harus bersabar enggak tahu sampai kapan bisa sekolah kembali,” begitu kata ibu sebelum pergi. 

Baca juga: #MencatatPengalamanTranspuan: Ini Dukungan yang Diperlukan Transpuan Saat Transisi (1) 

Saat itu aku masih kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ibu sedih, ia habis bertengkar dengan nenek, mungkin soal aku, entahlah. Yang aku tahu sejak itu, aku hidup sehari-hari dengan nenekku. Mulanya ibu masih rutin mengirim uang untuk keperluan makan dan sekolah. Namun perlahan uang kiriman itu tak pernah datang lagi. 

“Ibu kandungmu tidak bertanggung jawab pada anaknya,” ujar Nenek kala itu. 

Aku memahami perasaannya. Di usia senja di mana mestinya ia lebih baik duduk santai saja, tapi masih harus direpotkan untuk merawat cucunya. Ia berjuang sekuatnya agar aku bisa terus sekolah. Karena itulah aku berterima kasih pada Nenek yang mau menjalani peran ibu kepadaku. 

Aku juga berterima kasih pada Bulik (tante dalam Bahasa Jawa. Red) yang membantu nenek mengurusku di rumah. Memberi uang saku, memastikan kebutuhan sekolah terpenuhi, juga mengambil raporku. Belakangan aku tahu, namaku di akte kelahiran sudah berubah menjadi anak Bulik, bukan ibu. 

Semua tampak normal saja, aku merasa seperti anak yang tak kekurangan kasih sayang. Sampai akhirnya, Nenek dan Bulik kerap berlaku kasar padaku. Pemantiknya adalah kesukaanku memakai bedak yang di mata mereka tak lazim dilakukan lelaki. Bulik bahkan memancing anak-anaknya, sepupuku, untuk mengejek dengan sebutan “Banci”, “Bencong”. Nenek sama saja. Tak cuma kekerasan verbal, aku pernah dihajar karena penampilanku. 

Namun, luka paling traumatis ditorehkan oleh Paman, suami Bulik.  

Baca juga: 15 Tahun Tanpa Identitas, Transpuan Jogja Dapat Kado E-KTP 

Jadi Korban Kekerasan Seksual 

Mari bicara tentang kekerasan terhadap transpuan yang terus ada hingga sekarang. Mulai dari kasus kawan transpuan di Bekasi pada 2018 hingga yang paling mencekam, kasus Vina pada 2020. Sepanjang 2017, Naila Rizqy Zakiah, pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat bilang pada BBC Indonesia, terdapat 973 kasus kekerasan terhadap komunitas LGBT di seluruh Indonesia. Dari angka itu, sebanyak 73 persen di antaranya menyasar transpuan. Aku salah satunya. 

Begini ceritanya. Suatu hari, Paman masuk diam-diam ke kamar dan memaksaku untuk berhubungan seks. Rasanya ingin sekali berteriak minta tolong. Namun jika, berteriak, risiko buruknya ada dua. Pertama, keluarga besar tak mungkin percaya Paman masuk kamar mengajaku berhubungan intim. Kedua, aku disalahkan dan dituding menggoda suami Bulik, bertindak tak senonoh, mengingat penampilanku yang seperti ini. Imbas dua risiko ini sama: Aku bisa diusir karena membuat malu keluarga. 

Akhirnya, aku memilih diam dan membiarkan saja itu terjadi. 

Bertahun- tahun berselang, aku memahami tidak selamanya keluarga menjadi ruang yang aman. Justru mereka andil menghancurkan kepercayaan diriku dari dalam. Saat akhirnya Paman meninggal karena penyakit Diabetes, aku memberanikan diri bercerita kepada Ibu dan Bulik soal kekerasan seksual itu. Meski kami menangis, bersama aku menangkap kesan bahwa dalam kekerasan tersebut, aku masih dianggap bersalah karena penampilanku. 

Paman bukan satu-satunya orang yang melecehkanku. Anak Paman pernah memasuki kamar tanpa izin, lalu menjulurkan alat genitalnya di depanku. Jika kamu pikir sudah selesai, maka kamu keliru. Dulu Kakek juga kerap melakukan pelecehan padaku: Ia memegang dan mengelus pahaku berkali-kali.   

Kekerasan dan pelecehan ini terus aku rekam dalam ingatan. Namun hingga sekarang, aku tak pernah secara terbuka membicarakannya di tengah keluarga besar. Lagipula buat apa, toh mungkin mereka takkan memercayaiku. 

Baca juga: Transpuan di Sarang Penyamun: Pengalamanku di Sekolah Putra   

Ibu bilang, hidup ini adalah tentang pilihan. Setiap pilihan ada konsekuensi yang harus ditanggung. Dia juga selalu mengatakan, kalau aku mau menunjukkan identitasku sebagai transpuan, maka sudah selayaknya mempersiapkan diri untuk banyak terluka. 

Meski aku baru dekat dengannya belum lama saat dewasa, aku memahami perkataannya. Sebagai sama-sama perempuan, kami memang hidup di tengah masyarakat yang patriarkal. Mereka menganggap luka kami masalah sepele. Pun, pemerkosaan dan kekerasan seksual pada kami sekadar takdir yang harus diterima.  

Namun, dari Ibu juga saya belajar pelan-pelan bahwa saya punya pilihan untuk bicara. Termasuk bicara lewat tulisan ini sekarang. 

Jessica Ayudya Lesmana adalah penulis buku Lubang Kelam(in) (2023) yang membicarakan isu politik tubuh. Suka dengan literasi, membaca, dan menulis.   

Magdalene meluncurkan series artikel #MencatatPengalamanTranspuan yang ditulis oleh kawan transpuan. Tujuannya untuk mengurai hambatan hingga kisah pemberdayaan mereka. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jessica Ayudya Lesmana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *