Issues

Transpuan Ubah Kerentanan Jadi Kekuatan di Tengah Pandemi

Meski miskin dan kesulitan mengakses layanan kesehatan, para transpuan, termasuk yang ODHA, memberi contoh soal etika prioritas bantuan.

Avatar
  • April 23, 2020
  • 5 min read
  • 756 Views
Transpuan Ubah Kerentanan Jadi Kekuatan di Tengah Pandemi

“Jika dirasa ada orang yang lebih membutuhkan dan lebih rentan, Mbak boleh mendahulukan mereka. Saya rajin cuci tangan dengan sabun.” Begitu bunyi pesan WhatsApp yang kuterima dari Mona saat kusampaikan aku akan mengirimkan hands sanitizer ke rumah sewanya. 

Mona Nasution adalah seorang transpuan (transgender perempuan) yang sejak beberapa tahun lalu hidup dengan HIV. Beberapa bulan sebelum pandemi COVID 19, Mona mengalami kesulitan untuk mengelola kesehatan mentalnya. Ia sempat dirawat di rumah sakit. Hingga saat ini, Mona masih menjalani konseling rutin untuk memulihkan kesehatannya. 

 

 

Untuk membiayai pemulihan kesehatan dan kebutuhan sehari-hari, Mona bersama ibunya membuka warung kecil-kecilan di rumah sewa mereka. Situasi itu yang mendorongku untuk mengirimkan hands sanitizer padanya. Pikirku, ia akan membutuhkan barang yang saat ini susah diakses publik itu, terutama saat ia menggunakan kereta dan transportasi publik lainnya untuk wara-wiri ke rumah sakit di Jakarta. Jawaban Mona itu, membuatku menitikkan air mata. Betapa seorang Mona yang sedang bergumul dengan daya tahan hidupnya masih meminta aku untuk melihat kemungkinan ada manusia lain yang lebih membutuhkan hands sanitizer dibandingkan dirinya. 

Cara Mona mengingatkanku untuk berpaling lebih jauh pada manusia yang paling dibuat rentan, menghangatkan jiwa optimisku yang sedang lesu. Betapa tidak, beberapa waktu belakangan ini, aku dan mungkin warga yang lain  juga, merasa kecewa kepada negara terkait pencegahan dan penanganan pandemi virus corona (COVID-19). Antara lain, hilangnya tanggung jawab negara  dalam memastikan kelompok warga yang dibuat rentan untuk dapat membeli makanan bergizi, alat pengaman seperti hand sanitizer dan masker sesuai kemampuannya. Yang terjadi, bahan makanan pokok untuk meningkatkan imunitas, dan alat pengaman untuk menurunkan risiko tertularnya COVID-19 ditimbun, dibikin mahal tidak masuk akal oleh para pengumpul modal, sementara negara tak bisa mengatasi itu. Negara membiarkan warganya yang sudah sulit sebelum krisis corona menjadi semakin dibikin sulit.

Baca juga: Kisah Relawan COVID-19: Transpuan Berbagi untuk Geser Stigma

Kita juga belum melihat upaya perlindungan yang kuat untuk orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak tertular COVID-19. Terutama kawan ODHA yang ada dalam kondisi ekonomi yang lemah dan menghadapi situasi diskriminasi, baik terkait orientasi seksual dan ekspresi gendernya, maupun jenis pekerjaannya, seperti pekerja seks. Padahal menurut Tariskaindri Mutia, kawan transpuan yang aktif di pencegahan HIV/AIDS di Bali, ODHA lanjut usia dan ODHA yang memiliki penyakit jantung dan paru mungkin berisiko yang lebih besar terpapar COVID-19 atau mengalami gejala yang lebih serius, sebagaimana ia kutip dari info layanan Badan PBB untuk AIDS (UNAIDS).

Rupa ragam kerentanan yang melekat pada Mona tidak terjadi begitu saja, melainkan disituasikan. Maksudku, pandangan negara dan masyarakat yang terpenjara norma heteronormatif menimbulkan banyak kesulitan hidup kepada Mona jauh sebelum krisis Corona. Bahkan sejak para transpuan mengungkapkan ekspresi gendernya di usia belasan tahun.

“Mengapa transpuan menjadi kalangan yang paling susah hidupnya di antara LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender)? Karena kami visible sejak umur belasan tahun. Itu sebab banyak yang meninggalkan rumah dan sekolah sejak remaja.  Akibatnya banyak yang  bekerja di jalan entah ngamen atau jadi pekerja seks,” tutur Mona.

Menurutnya, itu juga yang membuat mereka rentan menjadi ODHA. Situasi itu semakin memburuk karena sejak  beberapa tahun terakhir para elite politik menggunakan isu anti-LGBT untuk meraih kemenangan politiknya. Di masa sebelum krisis corona, menurut Mona,  transpuan dengan HIV masih sering menghadapi diskriminasi dan stigma dari petugas kesehatan saat mereka mengambil obat antiretroviral (ARV) untuk menjaga imunitasnya. Di masa krisis corona di mana orang bersaing untuk mengakses layanan terbaik, lalu berapa kali halang rintang diskriminasi dan hierarki yang akan dilalui transpuan yang ODHA untuk menjaga imunitasnya dan mengakses layanan terbaik pemulihan dari pandemi COVID 19?

Tetapi alih-alih takut kehilangan akses, misalnya atas hands sanitizer, Mona mengajak kita membalikkan hierarki masyarakat saat ini. Dalam etikanya, bukanlah orang-orang yang paling banyak privilesenya yang harus diutamakan–seperti rencana  alokasi tes COVID 19  terhadap anggota DPR beserta keluarganya—tetapi siapa yang paling membutuhkan. Siapa yang paling dibuat rentan secara sosial, sehingga daya mereka semakin dibuat lemah untuk hidup layaknya manusia. Manusia yang seharusnya mampu mengakses hands sanitizer, masker, telur, bawang, seperti manusia lainnya.

Baca juga: Transpuan Setelah Kepergian Mira: Dicekam Ketakutan, Diperburuk Pandemi

Menurutku itulah keberhasilan Mona sebagai manusia. Ia berhasil mengubah kerentanannya menjadi kepekaan, solidaritas sosial kepada manusia lain yang lebih susah darinya. Ia berhasil membangun etika, semangat, di mana kerentanan dapat menjadi kekuatan tidak hanya mengurangi orang-orang yang dimiskinkan dan didiskriminasikan dari tertular COVID-19 tapi dari penyakit hierarkis, di mana kaum yang lebih mampu atau aman mengalahkan mereka yang lebih kecil daya hidupnya.

Selain Mona, beberapa kawan transpuan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama juga melakukan hal-hal yang berani untuk sesama. Tariskaindri menemani kawannya yang akan menjalani operasi jantung di sebuah rumah sakit di Bali, ketika tidak ada kawan lain yang berani menemani pasien karena ruang onkologi tempat kawannya menjalani perawatan operasi jantung berdekatan dengan penanganan pasien COVID 19. 

Di Yogyakarta, Tata Soelaiman dan kawan-kawannya yang tergabung dalam komunitas Eben Ezer tetap ngamen di jalan untuk mendukung shelter yang menampung orang-orang jalanan, agar dapur mereka tetap ngebul. Selain itu, ia juga terus mendampingi orang-orang jalanan yang membutuhkan pelayanan rumah sakit, baik untuk kesehatan dasar maupun untuk bagi yang mau tes HIV dan layanan kesehatan ODHA. 

Di Jakarta, kelompok teater transpuan Sanggar Seroja bersama QLC (komunitas safe space bagi queer), menggalang dana untuk membantu 50 transpuan di Kampung Duri dan Kalianyar, Jakarta, yang tidak dapat lagi bekerja karena krisis corona. Per 27 Maret, mereka mengelola Rp1.472.000 untuk memasak dan membagikan 150 nasi bungkus, dan paket berisisi mie instan, gula dan sabun batangan untuk cuci tangan. Juga mengelola Rp1.357.500 agar sembilan transpuan bisa bertahan hidup selama lima hari, sebagaimana dilaporkan melalui akun Facebook Rikky Muchammad Fajar.   

Pikiran Mona dan perbuatan kawan-kawan  transpuan tersebut membawa kita pada perjalanan batin yang lebih halus sekaligus berani bertindak. Di sekitar kita, di lingkaran masyarakat kita saat ini, siapakah yang paling (dibikin) rentan kondisi sosial dan kesehatannya. Sudahkan mata hati kita menangkap mereka? Dan seberapa berani kita bertindak berbagi daya, mempermudah akses mereka yang paling dikecilkan daya hidupnya untuk dapat sama-sama sintas dari pandemi COVID-19. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Dewi Nova

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *