Kisah Relawan COVID-19: Transpuan Berbagi untuk Geser Stigma
Meski juga terdampak pandemi, seorang transpuan bergerak untuk membantu sesama yang mengalami kesulitan akibat pandemi COVID-19.
Aksi berbagi menggeser stigma – Yuyun Juniar
Menjadi transpuan (transgender perempuan) di negeri ini berarti berjalan di titian penuh stigma dan diskriminasi. Namun itu tidak menghentikan langkah kami untuk berbagi kepada teman-teman dalam komunitas maupun masyarakat lebih luas di tengah kondisi pandemi virus corona.
Awal April lalu, aku dan teman-teman di komunitas transpuan Srikandi Patroman di kota Banjar dan Srikandi Panjalu di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, mengobrol soal permasalahan yang dirasakan anggota komunitas dan masyarakat umum selama wabah dan pemberlakuan physical distancing. Kami tergerak untuk melakukan aksi sosial dengan kemampuan terbatas yang kami punya.
Beberapa anggota kami, yang kebanyakan bekerja sebagai pengamen jalanan dan pekerja seks, merasakan betul dampak pembatasan sosial sampai kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beruntung beberapa dari kami, termasuk aku, masih bisa menggalang dana untuk membantu mereka walaupun kami juga terdampak. Dari uang yang terkumpul, kami membuat 35 paket sembako untuk kami bagikan kepada transpuan yang benar-benar membutuhkan di Banjar dan Ciamis.
Baca juga: Transpuan Setelah Kepergian Mira: Dicekam Ketakutan, Diperburuk Pandemi
Di samping kebutuhan pangan pokok, kami juga mengamati adanya kebutuhan akan masker yang tinggi, tetapi persediaannya minim atau kalaupun ada, harganya melambung. Dari situ, kami berinisiatif membuat masker kain sendiri dan membagikannya secara cuma-cuma.
Dari uang yang anggota komunitas kumpulkan, kami membeli kain dan menjahit maskernya sendiri. Untuk produksi pertama, kami membuat beberapa puluh masker untuk kami berikan ke sesama anggota. Lalu, kami memproduksi lagi sekitar 500 masker untuk kami bagikan kepada tetangga-tetangga di sekitar sekretariat komunitas dan untuk pengendara motor yang tidak memakai masker di area Jl. Graha, Ciamis.
Kami tidak menyangka, aksi sosial kami berdampak positif bagi komunitas. Tadinya, pandangan masyarakat terhadap transpuan seperti kami ini buruk, penuh stigma. Tetapi setelah kami mulai membagikan masker, mereka yang semula tidak pernah menyapa sama sekali, akhirnya mau menyapa kami dan mengajak ngobrol. Mereka bertanya soal komunitas kami dan kegiatannya. Pelan-pelan, masyarakat sekitar mengerti dan bersikap baik kepada kami. Tanggapan positif semacam inilah yang mendorong kami untuk berencana membuat masker lebih banyak lagi untuk dibagikan.
Baca juga: KTP Bak Harta Karun Bagi Komunitas Transpuan
Tiap rencana baik tidak luput dari batu sandungan. Kami pun merasakannya jika berbicara soal pendanaan aksi sosial kami. Uang patungan para anggota begitu minim untuk bisa memproduksi masker secara massal lagi. Akhirnya kami hanya dapat menunggu sampai uang terkumpul cukup banyak nantinya, atau syukur-syukur kalau ada yang ingin jadi donatur.
Aku berharap, tidak hanya ada yang membantu kami dalam hal membuat masker, tetapi juga ada jalan bagi teman-teman transpuan untuk bisa mengakses bantuan dari pemerintah atau pengurus wilayah setempat. Kondisi sebagian dari kami sulit: Ada yang tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga, sementara untuk bisa mendapat bantuan, dua hal itu menjadi syarat yang mesti dipenuhi. Kelompok kami yang sudah rentan, menjadi kian terdesak selama wabah dan pembatasan sosial karena permasalahan identitas ini.