Issues Politics & Society

Kenapa Sudah Saatnya Kita Berhenti Ikut Tren AI Ghibli

Mereka yang sedang kecanduan ikut tren AI Ghibli di media sosial enggak sadar telah melanggar tiga prinsip penciptanya sendiri, Hayao Miyazaki.

Avatar
  • April 9, 2025
  • 11 min read
  • 638 Views
Kenapa Sudah Saatnya Kita Berhenti Ikut Tren AI Ghibli

Demam Kecerdasan buatan (AI) semakin meluas. Berkat peluncuran model GPT-4o oleh OpenAI pada Februari lalu, fitur baru ChatGPT kini tidak hanya bisa membantu menulis, tetapi juga menghasilkan gambar dalam berbagai gaya artistik. 

Gaya artistik Studio Ghibli pun enggak luput dari objek fitur baru ChatGPT ini. Sejumlah pengguna media sosial, bahkan selebriti dunia dan instansi pemerintahan, membagikan hasil karya AI bergaya animasi Studio Ghibli. Mereka mengunggah foto pribadi, hewan peliharaan, pemandangan, kegiatan penyelenggaraan negara, hingga aktivitas militer di akun masing-masing. 

 

Bagi mereka, mereplikasi gaya artistik Studio Ghibli adalah bagian dari hiburan sekaligus selebrasi teknologi yang semakin canggih. Namun, hal ini tidak berlaku bagi para seniman. Salah satunya adalah Ishitani Megumi, sutradara anime dan pembuat storyboard anime One Piece. Melalui akun X pribadinya, Ishitani meluapkan kemarahan dan keputusasaannya terhadap tren AI Ghibli ini. 

“Apakah ada orang Jepang yang menggunakan Ghibli AI? Saya putus asa. Ini adalah tindakan yang dapat merusak nilai merek Ghibli. Saya ingin tindakan hukum diambil. Saya tidak tahan melihat Ghibli diperlakukan begitu murah,” cuit Ishitani. 

Selain Ishitani, ada juga Karla Ortiz, ilustrator profesional yang telah bekerja dengan Marvel hingga Universal Studios dan tengah menggugat perusahaan pembuat gambar AI atas dugaan pelanggaran hak cipta. Lewat akun X, Ortiz mengecam tren ini dengan mengatakan OpenAI telah melanggar hak cipta dan tidak peduli dengan karya serta mata pencarian seniman. 

“Itu menggunakan merek dagang Ghibli, nama mereka, karya mereka, reputasi mereka, untuk mempromosikan produk (OpenAI). Itu penghinaan. Itu eksploitasi,” kata Ortiz. 

Kemarahan Ishitani dan Ortiz sangat valid. Sebagai orang yang berkecimpung langsung di bidang seni, mereka memahami bagaimana sebuah gaya artistik yang unik dari seorang seniman dipoles melalui keringat dan air mata selama belasan tahun. Proses ini membutuhkan dedikasi seumur hidup, namun berkat AI, kerja keras ini berpotensi dicuri dengan mudah. 

Baca Juga:  5 Hal yang Perlu Diketahui Soal Teknologi Deepfake

AI yang Ternyata Ableist 

Ayu Purwarianti, Co-founder sekaligus Chief Scientist of Text Prosa.ai kepada Magdalene AI bilang, model pembelajaran mesin, khususnya jaringan saraf tiruan memang dilatih untuk memahami dan menerjemahkan masukan teks ke dalam bentuk visual yang baru. 

Dalam model pembelajaran mesinnya, AI dilatih dari kumpulan data gambar domain publik yang bersumber dari internet. Dengan model pembelajaran mesin seperti ini, secara langsung tanpa sepengetahuan, konsen, kompensasi, hingga hak cipta pekerja seni telah sepenuhnya dilanggar. 

Kaloyan Chernev, pendiri Deep Dream Generator (DDG) – AI Image Generator yang dikutip oleh The Guardian, mengonfirmasi sebagian besar gambar domain publiknya bersumber dari internet. Sayangnya, database ini juga sering kali menyertakan banyak gambar berhak cipta. 

Namun, nyatanya kontroversi AI generated image tidak berhenti di pelanggaran hak cipta saja. Dalam kasus tren AI Ghibli, penggunaan AI generated image sebenarnya telah melukai prinsip sang maestro animasi Studio Ghibli, Hayao Miyazaki. 

Miyazaki telah lama menentang AI. Dalam dokumenter NHK berjudul “10 Years with Hayao Miyazaki”, Miyazaki mengungkapkan bagaimana penggunaan AI merupakan penghinaan terhadap kehidupan itu sendiri. Ia mengaku tidak akan pernah mau menggunakan teknologi ini dalam karya-karyanya. 

Tidak banyak dibahas oleh banyak orang, kecamannya terhadap AI ternyata berangkat dari perspektifnya soal orang dengan disabilitas. Dalam dokumenter itu diperlihatkan beberapa staf berusaha menggunakan AI untuk bisa meniru cara manusia menggambar dan menciptakan berbagai pola gerakan aneh seperti zombie. 

Miyazaki yang melihat langsung demo animasi yang menampilkan makhluk seperti manusia bergerak menggeliat sambil menyeret kepalanya langsung berang. Ia teringat temannya yang seorang disabilitas. Lengan temannya sangat kaku, tidak dapat menjangkau tangan lawan bicaranya. Untuk sekadar menjabat tangan atau tos saja sangat sulit.  

“Sekarang, ketika memikirkannya, saya tidak bisa menonton hal ini dan menganggapnya menarik. Siapa pun yang menciptakan hal ini tidak tahu apa itu rasa sakit,” begitu katanya. 

Miyazaki melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana teknologi yang dielu-elukan akan membantu umat manusia, justru tidak memanusiakan manusia. Pada gilirannya, teknologi yang kita anggap selama ini objektif dan netral, ternyata dikembangkan dengan bias, salah satunya ableisme. 

Penelitian bertajuk “Disability, Bias, and AI” (2019) menjelaskan sistem AI memodelkan dunia berdasarkan apa yang ada di dalam data yang diberikan kepada mereka. Jika ada sesuatu yang hilang dari data, misalnya orang berkulit gelap, maka orang tersebut akan hilang dari model AI, dan dengan demikian tidak akan dikenali atau disertakan. 

Hal ini berlaku juga pada kelompok disabilitas yang dalam pengembangan AI hampir sama sekali tidak dilibatkan. Alhasil, AI yang kita kenal sekarang cenderung memperlihatkan sikap sosial yang menganggap disabilitas sebagai sesuatu yang buruk atau negatif.  

Pada 2018 misalnya, pengembangan AI untuk kendaraan Uber otonom di Arizona, telah menewaskan Elaine Herzberg, pejalan kaki yang sedang mendorong sepeda ketika ia terbunuh. Investigasi yang dilakukan oleh Dewan Keselamatan Transportasi Nasional menemukan masalah yang signifikan pada sistem otonom Uber. Ini termasuk kegagalan yang mengejutkan dalam “mengenali” pejalan kaki di luar tempat penyeberangan. 

Investigasi tersebut juga menemukan sistem Uber mengalami kesulitan dalam mengklasifikasikan Herzberg sebagai manusia seperti pada sistem AI lainnya yang salah mengklasifikasi pengguna kursi roda dengan kendaraan. 

Pakar disabilitas Karen Nakamura menambahkan, pengguna kursi roda terus-menerus ditabrak oleh pengemudi mobil manusia yang tidak mengenali mereka sebagai manusia. Dataset AI yang digunakan untuk melatih sistem penglihatan mobil, juga menanamkan bias yang sama. Bukan hanya karena kurangnya kursi roda dan skuter dalam dataset latihan, tetapi para pengembang di baliknya juga salah mengenali mereka. 

Baca Juga:  Ancaman Deepfake: KBGO dan Gerak Perempuan yang Makin Rentan  

AI Digunakan untuk Genosida 

Di tengah kehebohan tren AI Ghibli, militer Israel tidak mau ketinggalan. Lewat akun X resmi IOF, militer Israel mengunggah empat foto ala Ghibli yang dihasilkan oleh AI. Keempat gambar tersebut menggambarkan tentara infanteri yang berdiri di sebuah pos militer, perwira angkatan laut yang mengawaki senjata anti-pesawat, dan pilot angkatan udara yang duduk di dalam jet tempur. 

Empat gambar ini sontak menuai banyak kecaman. Beberapa pengguna media sosial bahkan menyebutkan unggahan tentara Israel tersebut sebagai upaya untuk menutup-nutupi atau menyangkal genosida yang mereka lakukan di Gaza. 

Bagi para pecinta animasi Studio Ghibli dan mereka yang mengenal baik sosok Miyazaki, kecamannya lebih pedas lagi. Pasalnya, Miyazaki bersama rekan-rekannya seperti mendiang Isao Takahata dan Toshio Suzuki telah menanamkan ideologi pasifis atau anti-perang dalam tubuh studio animasi legendaris ini. 

Miyazaki, salah satu pendiri Studio Ghibli, adalah penyintas perang. Ia pernah mengalami masa-masa sulit di bawah ambisi imperialisme Jepang yang melakukan ekspansi agresif di wilayah Asia dan Pasifik. 

Susan Jolliffe Napier, profesor dari program bahasa dan budaya Jepang di Universitas Tufts, dalam bukunya Miyazakiworld: A Life in Art (2018), menjelaskan satu momen terpuruk dalam kehidupan Miyazaki adalah kehilangan ibunya di masa perang karena penyakit TBC. Sang ibu, Yoshiko, selama delapan tahun hanya bisa terbaring di kasur. Miyazaki kecil dipaksa melihat keadaan ibunya yang semakin menurun, apalagi obat TBC pada 1944 masih belum ditemukan. 

Orang-orang yang mengidap TBC kurang mendapatkan perawatan yang baik. Apalagi saat perang, banyak orang yang diminta dan secara sukarela ikut serta dalam kerja relawan untuk pemerintah Jepang. 

Dalam masa-masa ini pula Miyazaki melihat bagaimana ambisi imperialis Jepang hanya menyengsarakan kelompok rentan, anak-anak, dan perempuan. Ia sendiri mengalami bagaimana masa kecilnya direnggut paksa karena perang. Peristiwa semasa perang membekas dalam memori masa kecil Miyazaki, membawanya pada pengalaman yang ia gambarkan: “Menyedihkan dan cukup kelam.” 

Pengalamannya sebagai penyintas perang membangun ideologi pasifis dalam diri Miyazaki. Ini kemudian terlihat dalam karya-karyanya yang banyak mengandung pesan anti-perang, beberapa di antaranya seperti Nausicaä of the Valley of the Wind (1984), Laputa: Castle in the Sky (1986), Porco Rosso (1992), atau Howl’s Moving Castle (2004), yang disampaikan dengan sangat eksplisit. 

Miyazaki selalu punya cara untuk menggambarkan kepada penontonnya bagaimana perang tidak pernah menghantarkan kemenangan dalam bentuk apapun. Sebaliknya, perang yang ditengarai oleh ambisi dan keserakahan manusia hanya akan menimbulkan bencana dan menorehkan luka, terutama bagi anak-anak dan perempuan. 

Ideologi yang ia pegang teguh ini semakin terlihat nyata saat ia menggarap Howl’s Moving Castle dan menolak hadir dalam acara penghargaan film paling bergengsi di dunia, Academy Awards atau Oscar, atas kemenangan filmnya Spirited Away (2001). Dalam buku yang sama dijelaskan bagaimana Miyazaki begitu marah atas invasi yang dipimpin Amerika ke Irak. 

“Saya merasakan kemarahan yang mendalam. Karena alasan itulah saya ragu-ragu untuk menerima Academy Award. Perang di Irak memiliki pengaruh yang besar bagi saya,” ujarnya. 

Kemarahan Miyazaki atas invasi Irak sangat kuat, sehingga membuatnya menambahkan tema anti-perang yang kental pada Howl’s Moving Castle, meskipun dalam versi novelnya tidak ada sama sekali. Karena itu, keikutsertaan militer Israel dalam tren AI Ghibli tak ayal telah menodai ideologi pasifis yang dipegang teguh Miyazaki dan Studio Ghibli. 

Apalagi dalam kaitannya dengan AI, Israel telah terbukti juga menggunakan teknologi ini untuk melancarkan rencana genosida di Gaza. Pertama kali dilaporkan dalam berita online Israel, +972 Magazine, Yuval Abraham, jurnalis dan pembuat film Israel yang berada di balik investigasi tersebut, mengatakan bahwa militer Israel menggunakan mesin AI bernama “Lavender” untuk mengidentifikasi anggota Hamas dan kelompok bersenjata lainnya yang dicurigai untuk dibunuh, mulai dari komandan hingga prajurit.  

Sistem otomatis tambahan, termasuk sistem yang disebut “Where’s Daddy” dilaporkan mengikuti pergerakan anggota yang dicurigai Hamas dengan melacak ponsel mereka untuk menargetkan mereka-sering kali ke rumah mereka, di mana kehadiran mereka dianggap sebagai konfirmasi identitas mereka. Serangan udara yang terjadi setelahnya bisa saja membunuh semua anggota keluarga target, atau bahkan semua orang yang ada di dalam gedung apartemen. 

Mengutip para perwira penargetan yang mengatakan bahwa mereka merasa tidak keberatan dengan program Lavender, meskipun mereka tahu bahwa program tersebut menghasilkan saran penargetan yang salah pada sekitar 10 persen kasus. 

Baca Juga:  Dari ‘Deepfake’ hingga ‘Add Yours’ Instagram, Ada Data Pribadi Perempuan yang Dipertaruhkan 

AI yang Merusak Lingkungan 

Tidak hanya ableis dan jadi alat genosida, penggunaan AI berdampak pada lingkungan. Dalam artikel yang diterbitkan UN Environment Programme, sebagian besar penerapan AI berskala besar ditempatkan di pusat data, termasuk yang dioperasikan oleh penyedia layanan cloud.  

Pusat data ini dapat memberikan dampak yang besar bagi lingkungan karena perangkat elektronik di dalamnya bergantung pada sejumlah besar bahan mentah. Sebagai informasi, membuat komputer seberat 2 kg membutuhkan 800 kg bahan mentah. Selain itu, microchip yang menggerakkan AI membutuhkan elemen tanah jarang, yang sering ditambang dengan cara yang merusak lingkungan. 

Masalah kedua, pusat data menghasilkan limbah elektronik, yang sering kali mengandung zat berbahaya, seperti merkuri dan timbal. Ketiga, untuk memberi daya pada elektroniknya yang kompleks, pusat data yang menjadi tempat teknologi AI membutuhkan banyak energi. 

Dalam penelitian ilmuwan dari Google dan University of California di Berkeley di 2021 diperkirakan, proses pelatihan AI saja menghabiskan 1.287 megawatt jam listrik atau setara dengan menyalakan sekitar 120 rumah rata-rata di AS selama setahun. Banyaknya energi listrik yang digunakan untuk pelatihan AI ini berdampak pada proses penghasilan 552 ton karbon dioksida. 

Dalam laporan MIT soal AI dan dampak lingkungan, lebih lanjut dipaparkan setelah model AI generatif dilatih, kebutuhan energi tidak akan hilang. Para peneliti misalnya memperkirakan permintaan ChatGPT mengonsumsi listrik sekitar lima kali lebih banyak daripada pencarian web biasa. 

Selain kebutuhan energi listrik, pusat data AI juga membutuhkan pasokan air dalam jumlah besar. Air dingin digunakan untuk mendinginkan pusat data dengan menyerap panas dari peralatan komputasi. Diperkirakan secara global, infrastruktur yang terkait dengan AI mungkin akan mengkonsumsi air enam kali lebih banyak daripada Denmark, sebuah negara berpenduduk 6 juta jiwa. Hal ini tentu jadi masalah karena seperempat manusia bahkan tidak memiliki akses ke air bersih dan sanitasi. 

Penggunaan AI tanpa perencanaan dan pertimbangan panjang akhirnya akan memperburuk kondisi bumi. Ini jelas bertentangan dengan prinsip Miyazaki yang dikenal sebagai pejuang lingkungan. Melalui karya-karyanya, Miyazaki selalu menyisipkan isu lingkungan. Sebagai generasi tua Jepang yang masih kuat dengan kepercayaan Shinto, Miyazaki melihat alam sebagai bentuk entitas hidup yang harus dijaga dan dipelihara oleh manusia. Di dalamnya terdapat dewa yang memberkati kehidupan manusia.  

Karena manusia tidak bisa hidup tanpa alam, maka sudah seharusnya manusia hidup berselaras dengannya. Namun di tengah modernitas, Miyazaki mulai melihat ada pergeseran nilai yang mendalam dari manusia. Manusia kini melihat alam sebagai benda mati yang bisa seenaknya dieksploitasi demi ambisi mereka sendiri.  

Dikotomi kuat dibuat untuk memisahkan alam dan manusia, “kita vs mereka”, demi melancarkan ambisi manusia. Tidak terpikirkan dalam benak manusia bahwa pengrusakan yang mereka lakukan bisa berdampak fatal pada alam dan seisi dunia termasuk manusia sendiri. Akibatnya, tahun demi tahun konflik antara alam dan manusia tidak bisa terhindarkan. Bencana lingkungan pun terus bergulir tanpa henti karena keserakahan mereka sendiri. 

Dikotomi ini terlihat jelas dalam dua karya Miyazaki, Nausicaä of the Valley of the Wind dan Princess Mononoke (1997). Dampak dari dikotomi ini lalu disampaikan MIyazaki secara eksplisit lewat bencana lingkungan dan perang antara hewan serta manusia yang membinasakan.  

Teknologi yang ternyata dielu-elukan dan dipakai secara massif oleh masyarakat dunia ternyata menyimpan sisi gelapnya. Ia tidak hanya ablei, tapi juga jadi perpanjangan tangan kekerasan, dan berperan dalam kerusakan lingkungan. Dengan fakta ini, apakah kamu tetap tertarik ikutan tren AI Ghibli? 



#waveforequality
Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *