Lifestyle Opini

Tren ‘Bocah Kosong’: Figur Minim Talenta yang Kita Idolakan

Ada pergeseran selera warganet yang lebih mudah mengidolakan figur 'good looking' tanpa bakat sama sekali.

Avatar
  • October 15, 2023
  • 5 min read
  • 1620 Views
Tren ‘Bocah Kosong’: Figur Minim Talenta yang Kita Idolakan

Sudah jadi rahasia umum, ketenaran figur publik cepat naik turun di dunia hiburan. Beberapa di antaranya bahkan punya karier yang seumur jagung. Ternyata, ada sejumlah faktor yang memengaruhnya, termasuk lemahnya kemampuan mereka mengelola engagement dengan penggemar. Padahal, bagi publik figur, penting untuk memiliki strategi jitu guna mempertahankan ketenaran dan menjaga daya tariknya.

Saat ini, ada fenomena baru terkait daya tarik figur publik, yaitu naik-daunnya figur yang dikenal dengan julukan “bocah kosong”. Julukan ini merujuk pada mereka dengan ciri lugu, polos, jujur, sesekali menjengkelkan, dan dinarasikan eksis hanya bermodalkan daya tarik fisik semata. Mereka menampilkan citra minim talenta dan pengetahuan, meski kita tak tahu betul kelebihan mereka yang mungkin saja tak terlihat publik.

 

 

Ditambah lagi, beberapa dari mereka tidak menunjukkan–bukan berarti tidak memiliki–bakat yang umumnya menjadi karakteristik komedian, seperti kemampuan akting, menyanyi atau berkomedi.

Julukan bocah kosong mungkin terdengar merendahkan, tetapi faktanya karakteristik semacam ini tengah disukai oleh banyak penikmat dunia hiburan.

Fenomena ini telah menunjukkan adanya perlawanan terhadap hegemoni dalam dunia hiburan, yang perlahan mengubah pandangan, nilai-nilai, dan preferensi budaya masyarakat. Lebih jauh lagi, ini berkontribusi dalam perubahan sosial dan perilaku masyarakat.

Baca juga: Selingkuh, Viral, dan Centang Biru: Bekal ‘Influencer’ Dadakan

Siapa itu ‘Bocah Kosong’?

Jika kita melihat kembali beberapa dekade terakhir, figur publik di Indonesia, khususnya perempuan, sering kali dikenal dan disorot berdasarkan penampilan fisiknya yang dianggap menarik.

Contohnya adalah Ayu Ting-ting, Wika Salim, Anya Geraldine, Yolla Yuliana, dan masih banyak lagi.

Namun, kini muncul wajah-wajah baru yang menghadirkan karakter yang lebih otentik dengan ciri khas mereka yang ‘kosong’. Contohnya adalah Eca Aura, Nita Vior, dan Chateez.

Eca Aura, yang sebenarnya bernama Elsa Japasal, meraih ketenaran awalnya sebagai brand ambassador Aura E-sports. Popularitasnya melonjak setelah menjadi co-host di acara Talkpod bersama Surya Insomnia dan Indra Jegel. Dalam acara itu, Eca mendapatkan banyak pujian karena spontanitasnya dalam membawakan acara yang dianggap lucu dan menggemaskan. Misalnya yang sempat viral adalah celotehannya soal mau ta’aruf tapi Kristen.

Sementara itu, Nita Vior adalah seorang Brand Ambassador dari ONIC E-sports yang memiliki karakter kosong sama seperti Eca. Ada juga Chateez yang mulai populer setelah banyak videonya viral di media sosial. Salah satunya adalah video Chateez yang dibuat menangis oleh YouTuber Ria Ricis.

Kini, kehadiran mereka bertiga selalu dinanti oleh warganet. Misalkan saja dalam saluran Youtube Target Operasi by Genflix yang menghadirkan mereka dalam satu program yang sama.

Pergeseran Selera

Perubahan dalam selera warganet bisa dijelaskan menggunakan teori hegemoni. Teori ini mengacu pada dominasi budaya oleh kelompok atau entitas tertentu yang mengendalikan norma, nilai, dan ideologi yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam konteks perubahan selera pengguna media digital, teori hegemoni memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana selera dan preferensi dapat berubah seiring waktu. Ini terjadi karena beberapa alasan kunci:

Pertama, kekuatan platform media sosial yang memainkan peran sentral dalam perubahan selera.

Era media sosial memberi individu dan kelompok lebih banyak kekuatan untuk berpartisipasi dalam pembentukan budaya dan menyebarkan pandangan. Namun, pengaruh kelompok dominan masih sangat kuat dalam memengaruhi tren di media sosial. Kelompok dominan ini termasuk para pemilik media, golongan elite politik, dan publik figur yang mampu mempromosikan nilai-nilai yang ingin mereka dorong, yang pada gilirannya memengaruhi perubahan selera warganet. Kondisi ini seringkali dinamakan bagian dari hegemoni media.

Kedua, konstruksi identitas dan citra berperan penting dalam perubahan selera.

Hegemoni budaya menciptakan citra ideal yang diinginkan oleh masyarakat. Ketika konstruksi identitas dan citra berubah, seperti pergeseran dari penekanan pada penampilan fisik yang sempurna ke fokus pada karakteristik seperti kesederhanaan dan ketulusan, selera warganet pun ikut berubah. Ini sering kali terjadi melalui perubahan dalam representasi media dan naratif yang didorong oleh kelompok dominan.

Baca juga: Di Internet, Perempuan ‘Influencer’ Tak Pernah Bisa Jadi Diri Sendiri

Mengapa Bisa Terjadi?

Eca Aura, Nita Vior, dan Chateez adalah contoh manifestasi dari perlawanan terhadap hegemoni dalam dunia hiburan. Dalam kerangka teori hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, fenomena ini dapat dilihat melalui dua instrumen penting:

Pertama, ada “War of Position”, yang dalam pemikiran Gramsci adalah strategi perubahan budaya yang diterapkan secara bertahap dan sistematis melalui berbagai institusi dan norma yang ada dalam masyarakat. Konsep ini mencerminkan usaha perlahan dalam mengubah pandangan, nilai-nilai, dan preferensi budaya yang telah diterima oleh masyarakat.

Dalam konteks perubahan selera dari penekanan pada kecantikan fisik menuju karakteristik “bocah kosong,” strategi ini dapat melibatkan langkah-langkah seperti pembentukan opini publik yang mendukung perubahan tersebut. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan “koalisi” bocah kosong untuk menyuarakan bahwa era baru dari sebuah eksistensi di dunia hiburan adalah yang lugu dan polos.

Kedua, ada “War of Movement”, yang merupakan strategi yang lebih revolusioner dan mendadak dalam mengubah budaya, norma, dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Konsep ini terkait dengan perubahan sosial yang bersifat drastis dan cepat, yang dapat mengguncang status quo dan menghasilkan perubahan besar dalam pandangan dan perilaku masyarakat).

Misalnya, dalam konteks perubahan selera, kondisi ini dapat mencakup penggunaan budaya populer seperti musik, seni, dan tren remaja untuk menciptakan perubahan dalam pandangan masyarakat. Sebagai contoh, mereka konsisten membuat konten di TikTok untuk menegaskan eksistensi mereka dengan kekhasan yang mereka miliki.

Karena itu, kita perlu menjernihkan keraguan kita terhadap figur publik yang mungkin terlihat “kosong”. Memang, ada dampak negatif dari mengidolakan karakter kosong ini, seperti publik yang latah ingin jadi “kosong” juga, sehingga mereka tidak menjadi dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa karakter kosong memiliki tempat hanya pada dunia hiburan dan sebaiknya bukan untuk di dunia nyata yang penuh tuntutan atas skillset tertentu.

Namun dari karakter yang “kosong” tersebut, juga dapat memunculkan hal-hal positif yang tidak selalu harus dinilai dari penampilan fisik semata. Fenomena ini mengajak kita untuk lebih menghargai karakteristik masing-masing individu yang ternyata bisa menghibur juga dari kekurangan mereka, meskipun hanya gimmick semata.

Yogie Pranowo, Adjunct Associate Lecturer, Universitas Multimedia Nusantara.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Yogie Pranowo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *