Culture Lifestyle

Latah Cowok Julid di Balik Tren ‘My Makeup Rutin’ Instagram

Tren ‘my makeup routine’ yang ‘harmless’ berubah jadi ajang julid. Padahal mayoritas perempuan cuma mau bersenang-senang.

Avatar
  • April 25, 2024
  • 6 min read
  • 461 Views
Latah Cowok Julid di Balik Tren ‘My Makeup Rutin’ Instagram

Sejak Instagram merilis fitur Add Yours untuk stories akhir 2023, berbagai template pengguna memunculkan tren baru. Belakangan, salah satu tren yang muncul adalah template My Makeup Routine”. Lewat template ini, pengguna Instagram bisa membagikan detail produk makeup apa saja yang dipakai, mulai dari foundation, lipstik, eyeliner, eyebrow, hingga cleanser

Tertarik dengan tren ini, aku dan kebanyakan teman perempuan lain tak ketinggalan mengunggah foto dengan detail produk makeup. Alasannya sederhana: Aku suka makeup. Karena itulah, aku ingin berbagi produk makeup yang menurutku bagus dan bisa jadi rekomendasi. 

 

 

Sebaliknya, aku juga dapat insight merek-merek lain dari temanku. Sehingga, aku bisa bereksperimen lebih lanjut. Tentu saja aku kerap menemukan merek yang enggak bikin kantong boncos tapi hasilnya enggak kalah dari jenama terkenal. 

Ironisnya, tren yang terkesan harmless ini masih saja jadi bahan julid para party pooper. Mereka adalah para laki-laki julid yang sibuk mengomentari tren “My Makeup Routine”. Ada yang menyindir perempuan ikut tren karena sombong, flexing “kekayaan” lewat makeup yang kalau dijumlah total harganya bisa ratusan ribu bahkan lebih. Ada juga yang bilang, perempuan enggak punya value dan sibuk cari validasi. Yang lebih lucu lagi ada yang sampai membanding-bandingkannya dengan perjuangan emansipasi R.A Kartini. Seakan dengan ikutan tren ini perempuan telah mengkhianati perjuangan R.A Kartini. 

Baca juga: Bagaimana Rias Wajah Mengubah Hidup Saya Sebagai Laki-laki

Jadi Feminis tapi Tetap Pakai Makeup 

Untuk sindiran terakhir, aku agak tergelitik mengomentarinya. Lelaki julid itu bilang, perempuan yang memakai makeup apalagi bangga menggunakannya tidak sejalan dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender. Makeup dan “glorifikasi” tentangnya menandakan perempuan mengobjektifikasi diri sendiri. 

Anggapan ini enggak sepenuhnya salah karena pada kenyataannya industri makeup dibangun lewat monster berkepala dua, kapitalisme dan patriarki yang memang ingin terus menjadikan perempuan jadi kelas dua. Simone de Beauvoir, pemikir asal Prancis mengatakan dalam bukunya The Second Sex, perempuan sebagai liyan dipaksa untuk menemukan realitas dalam subjektifitas sebagai manusia. Mereka menginternalisasi standar dan mengamini segala opini juga batas-batasan yang ditetapkan laki-laki. 

Hal inilah yang kemudian mengantarkan perempuan untuk terus menjadikan dirinya sendiri objek penting. Sampai-sampai mereka kerap terobsesi terhadap citra dirinya sendiri lewat apa yang melekat di tubuh, wajah, dan pakaian. Di saat bersamaan, perempuan enggak sadar sedang “dipermainkan”. 

Kritik Beauvoir menjadi dasar penolakan makeup di sebagian kalangan feminis. You can’t be feminist and wear makeup. Bagaimana perempuan bisa sepenuhnya jadi subjek atas dirinya sendiri jika mereka disibukkan dengan suatu yang bersifat banal dan memenjarakannya? 

Apa yang disampaikan Beauvoir memang valid, tetapi ia punya celah yang dikritik balik oleh sebagian feminis. Ketika berbicara soal makeup dan kesetaraan serta keadilan gender, kita luput mempertimbangkan aspek lain tentang agensi perempuan sendiri. Apakah perempuan yang suka memakai makeup otomatis jadi korban patriarki dan kapitalisme yang tak punya agensi? Tentu kita tak bisa memaknainya lewat satu sudut pandang saja. 

Lewat kecantikan atau menjadi cantik (beauty work), ada sebagian perempuan yang justru mendapatkan dirinya terbebaskan dan lebih berdaya. Ada pula yang ingin menjadi cantik karena ingin menyenangkan dirinya sendiri bukan orang lain. 

Aku misalnya gemar memakai makeup karena itu seperti cat air dan krayon. Wajah yang kupunya adalah kanvas dan makeup aku gunakan untuk menggambar. 

Menyenangkan rasanya melihat pantulan diri di cermin pasca-selesai ber-makeup. Semua proses ini aku lakukan untuk diri sendiri bukan orang lain. Sebab, bahkan di rumah sekali pun, enggak ada jadwal bertemu siapa-siapa, dan hanya duduk sendirian di dalam kamar sering kali aku tetap menggunakan makeup

Linda M. Scott dalam bukunya “Fresh Lipstick: Redressing Fashion and Feminism” (2005) mengatakan beauty work seharusnya punya banyak makna dan penggunanya tidak boleh digambarkan sebagai korban pasif dari patriarki. Beauty work adalah “kekuatan feminitas” yang direbut kembali oleh perempuan. Itu berfungsi sebagai pernyataan penentuan nasib sendiri dan penegasan bahwa perempuan punya agensi. 

Jangan heran, enggak cuma aku, tapi teman-temanku yang feminis garis keras juga suka merias wajah. Toh pada dasarnya jika dilakukan atas dasar kesadaran dan agensi pribadi perempuan, kesukaan terhadap riasan wajah juga tidak akan serta merta membuat mereka gagal jadi feminis. 

Baca juga: ‘Dari Rahim ini Aku Bicara’, tentang Tubuh Perempuan yang Dikuasai Lelaki 

Anggapan Perempuan Dandan Kurang Pintar 

Membanding-bandingkan tren makeup dengan pengkhianatan perjuangan emansipasi R.A Kartini adalah hal yang konyol. Pun, menyindirnya karena perempuan dipukul rata haus validasi bahkan kekurangan value jelas misoginis. Kami, para perempuan jadi serba salah. 

Di satu sisi, makeup dianggap sebagai alat untuk menutup kekurangan agar lebih enak dipandang. Namun di saat bersamaan, perempuan dengan makeup dilihat less intelligent and less valuable. Sayangnya, pandangan misoginis tersebut dinormalisasi oleh laki-laki dan perempuan (dalam kasus perempuan, ini dinamakan internalisasi misogini). 

Dalam studi di Jurnal Sex Roles (2020) ditemukan, makeup memengaruhi cara kita memandang perempuan. Para peneliti meminta 1.000 orang (sebagian besar berasal dari Inggris dan Amerika Serikat) untuk menilai wajah perempuan dengan dan tanpa riasan tebal. Mereka menemukan, baik partisipan laki-laki dan perempuan menilai perempuan yang memakai banyak riasan wajah kurang punya kompetensi, agensi diri, bahkan moral. 

Philippe Bernard, penulis utama studi tersebut dan peneliti di Free University of Brussels bilang, kita jadi bisa memahami bahwa dehumanisasi terhadap perempuan akan terus terjadi selama mereka diposisikan sebagai tubuh yang diseksualisasi. 

Selain itu, nyinyiran laki-laki soal tren “My Makeup Routine” juga jelas misoginis karena sampai kapan pun ketertarikan perempuan pada suatu hal akan selalu dilihat rendah. Perempuan seakan dilarang untuk bersenang-senang untuk dirinya sendiri dan sesamanya. Apa pun yang mereka lakukan akan selalu menjadi objek evaluasi laki-laki. Hal ini kurang lebih jadi mengingatkanku dengan praktik peminggiran perempuan penggemar. 

Dengan bermain di logika misogini yang sama, perempuan penggemar dihakimi dan diremehkan karena kesukaan mereka yang bertentangan dengan nilai maskulinitas tradisional. Penggemar perempuan selalu disterotipkan lewat cerminan sifat “feminin” seperti histeria, fanatik, maniak, dan lainnya yang bertentangan dengan maskulinitas yang selalu dikaitkan dengan seni adiluhung atau high culture. 

Baca juga:Raisa dan Ekspektasi Cantik Natural 

Valerie Walkerdine, akademisi yang berkecimpung di bidang studi psikologi dan media, menggambarkan bagaimana pembingkaian rasionalitas dalam wacana maskulinitas membuat perempuan dipandang kurang memiliki evaluasi rasional yang baik dan karenanya mereka hanya merespons murni berdasarkan emosi mereka sendiri. 

Padahal antusiasme yang bisa kita lihat di perempuan penggemar boyband Korea Selatan misalnya paralel dan antusiasme penggemar laki-laki yang ada di setiap pertandingan olahraga. Tetapi, teriakan yang keluar dari penggemar perempuan membuatnya berbeda. Masyarakat menormalisasi laki-laki menaruh minat bahkan obsesi pada sesuatu hal. 

Lihat saja bagaimana masyarakat biasa-biasa saja ketika melihat laki-laki flexing hobinya mengoleksi jam atau jersey resmi klub sepak bola favorit mereka yang harganya jutaan rupiah. Tetapi kenapa ketika perempuan memperlihatkan minatnya pada sesuatu apalagi jika hal tersebut berkaitan dengan feminitas justru dianggap rendahan? Toh sama seperti laki-laki, perempuan yang punya minat terhadap sesuatu juga menggunakan uang dan jerih payahnya sendiri untuk mendapatkannya. Lantas kenapa harus dihakimi dan diperlakukan berbeda?


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *