Tren Novel Healing Fiction di Tengah Hidup yang Melelahkan
Di tengah kehidupan yang berat dan rentan bikin stres, novel healing fiction menawarkan alternatif pelarian.
Yeongju bisa dibilang punya segalanya. Hidupnya adalah impian bagi banyak orang. Di usia 30-an, perempuan Korea Selatan tersebut telah merampungkan pendidikan tingginya, menikah, dan punya karier cemerlang di perusahaan prestisius. Namun semua ini tak bisa membuatnya bahagia. Sebaliknya, Yeongju merasa tertekan dan memilih meninggalkan hidup lamanya.
Ia keluar dari pekerjaan, menceraikan suami, lalu mengambil setengah dari uang hasil penjualan apartemen mereka untuk membangun kembali impian masa kecilnya. Ia membuka toko buku di Hyunam-dong, lingkungan kuno di Seoul yang dikenal sebagai surga toko buku besutan warga lokal.
Bersama dengan toko buku kecil yang ia rintis, kehidupan yang dinilai “membosankan” bagi banyak orang justru memberikan Yeongju percikan semangat hidup baru. Ia menabung pengalaman hidup dan menjalin relasi dengan orang-orang yang ternyata bisa membuatnya lebih sering tertawa.
Kehidupan baru Yeongju inilah yang berusaha disampaikan dalam novel fiksi Korea Selatan berjudul Welcome to the Hyunam-Dong Bookshop. Novel yang telah memenangkan berbagai penghargaan ini banyak dicintai pembaca dunia karena mampu memberikan ketenangan dan kenyamanan.
Membaca novel itu bagaikan menyeruput segelas coklat panas sambil mencicipi kudapan panas rumahan di tengah musim hujan. Perasaan hangat selama membaca Welcome to the Hyunam-Dong Bookshop banyak ditemui pembaca dalam novel-novel Korea Selatan dan Jepang dengan tema serupa. Beberapa di antaranya yang terkenal adalah Dallergut: Toko Penjual Mimpi, The Healing Season of Pottery, Before the Coffee Gets Cold, dan If Cats Disappeared from the World.
Baca Juga: Gerakan Feminisme Oleh Sastrawan Perempuan Korea
Genre novel-novel di atas ini dikenal dalam dunia literasi sebagai healing fiction. Fiksi ini menawarkan eskapisme. Biasanya berkisah tentang orang-orang yang menghadapi masalah sehari-hari seperti kesepian, patah hati, dan penyesalan. Sebagian lainnya berkisah tentang semesta alternatif yang menawarkan kesempatan bagi manusia menjalani mimpi atau keinginannya yang belum tercapai dalam hidup. Mulai dari toserba yang menjual mimpi, binatu yang membersihkan trauma, sampai toko kopi yang menawarkan perjalanan waktu.
Gabungan antara ide mengagumkan, bahasa yang mudah dicerna, dan karakter yang relatable membuat genre healing fiction banyak digandrungi masyarakat dunia. Di Barat, mengutip dari The Economist tren healing fiction bisa dilihat dari penerbit internasional seperti Bloomsbury, Hachette, dan HarperCollins. Mereka menerbitkan atau mengakuisisi novel-novel terlaris healing fiction Korea. Penguin Random House bahkan sudah menjadwalkan menerbitkan novel dengan genre ini dari November 2024 sampai awal Januari tahun depan.
“Fiksi ini tiba-tiba menjadi mode dan benar-benar meledak. Banyak judul yang telah dikontrak di antara 15 dan 20 wilayah,” kata Jane Lawson dari Penguin Random House.
Indonesia juga nyatanya terjangkit tren healing fiction. Dua tahun belakangan mulai banyak toko-toko buku yang memajang novel-novel genre ini di etalase best seller mereka. Dari sisi penerbit, label best seller terefleksi dari jumlah cetakan. Penerbit Baca misalnya mengatakan novel Dallergut: Toko Penjual Mimpi hingga kini sudah mencapai cetakan kedelapan. Begitu pula dengan novel Jika Kucing Lenyap dari Dunia.
“Keliatan ya kalau antusiasme pembaca terhadap genre ini memang sangat bagus. Penerbit lain juga melihat fenomena ini sebagai tren baru yang bisa diikuti,” kata Furqon, Redaktur Penerbit Baca kepada Magdalene, (18/12) lalu.
Menelusuri Kemunculan Tren Healing Novel
Ada luka besar yang menganga dalam tiap jiwa masyarakat Jepang di era 1990-an. Saat itu, Jepang dilanda dua tragedi besar. Pada 1995 ada gempa bumi besar Hansin dengan magnitudo 7,3 dan menewaskan 6.434 jiwa. Sebanyak 43.792 mengalami luka cedera, dan kerusakan tempat tinggal (rusak total dan rusak sebagian) mencapai 249.180 rumah.
Akibat gempa ini, banyak penduduk terpaksa hidup keras di penampungan. Di wilayah padat dengan rumah-rumah dari kayu lama, tragedi susulan terjadi karena keruntuhan dan kebakaran dalam skala luas tak bisa dihindari.
Cuma berselang satu bulan dari gempa, masyarakat Jepang kembali diguncang tragedi lain. Kali ini adalah kasus pembunuhan massal oleh Sekte Aum Shinrikyo di kereta bawah tanah Tokyo. Saat itu, 12 anggota sekte hari kiamat Aum Shinrikyo membunuh 14 orang dan melukai 6 ribu lainnya menggunakan gas beracun sarin di stasiun tersebut saat jam sibuk.
Episode-episode trauma nasional ini bersamaan dengan dampak yang lebih luas dari resesi dan restrukturisasi ekonomi, tutur cendekiawan Paul Roquet dalam “Ambient Media: Japanese Atmospheres of Self”. Ini berpengaruh besar pada peningkatan keinginan masyarakat Jepang pada sesuatu yang mampu memberikan perasaan tenang. Ini yang kemudian melahirkan tren bisnis baru healing boom.
Baca Juga: 5 Sastrawan Perempuan Jepang yang ‘Bunyi’ dan Patut Kamu Lirik
Di masa itu pula, mulai banyak pemilik bisnis mempromosikan berbagai macam produk “penyembuhan” (iyashi). Ini termasuk seni penyembuhan, musik penyembuhan, majalah dan buku bertema iyashi, aromaterapi, hingga berbagai jenis terapi. Semua produk dan jasa ini sama-sama menjanjikan ketenangan bagi konsumen dan dunia kesusastraan Jepang tak lama ikut menyusul tren ini.
Seperti halnya seperti konsepsi tentang musik ambient, genre sastra yang kemudian dikenal sebagai iyashike ini menawarkan dua hal: Menghasilkan suasana hati yang menenangkan dan menyediakan ruang berpikir yang bebas. Inilah kenapa genre iyashike umumnya merupakan cerita yang dirancang untuk menghibur dan menyembuhkan pembaca yang lelah dengan menciptakan estetika ketenangan. Untuk mencapai hal ini, cerita dalam genre iyashike disajikan sebagai cerita dengan sedikit atau tanpa konflik.
Sastrawan yang dikenal mempopulerkan genre ini salah satunya adalah Banana Yoshimoto. Melalui karyanya berjudul Kitchen (1988), Yoshimoto menawarkan proses berduka dan penyembuhan serta menunjukkan keyakinan pada masyarakat untuk bangkit dari keterasingan atau trauma yang ekstrem. Setelah kesuksesannya, sejumlah novelis yang lebih muda mengembangkan gaya penulisan menenangkan ini. Mereka termasuk Kurita Yuki, Seo Maiko, dan O¯ shima Masumi (1962).
Walau booming di 1990-an, hingga saat ini genre iyashike masih tetap eksis. Namun alih-alih berporos pada “penyembuhan” atas trauma kolektif masyarakat Jepang di masa lalu, genre ini berevolusi sebagai jawaban atas tantangan zaman pasca pandemi. Inilah yang persis terjadi di Korea Selatan.
Menurut laporan yang sama dari The Economist, healing fiction di Korea Selatan menjadi tren utama setelah pandemi COVID-19 walau telah mulai banyak bermunculan di 2000-an. Pandemi Covid-19 memang menimbulkan perubahan signifikan pada situasi sosial politik ekonomi masyarakat Korea Selatan. Generasi muda utamanya paling merasakan dampaknya.
Sejak 2015 ada istilah “Neraka Joseon” yang merujuk ketimpangan kelas yang kuat, ketidaksetaraan gender, dan kepemimpinan buruk yang mengakar di negara tersebut. Generasi muda, khususnya, merasakan kekecewaan dan keputusasaan yang mendalam tentang masa depan. Ketimpangan dan diskriminasi gender juga semakin kuat terasa. Setiap hari perempuan Korea Selatan harus hidup dalam bayang-bayang ancaman pelecehan dan kekerasan seksual. Pekerjaan layak cukup langka, sehingga memicu persaingan ketat.
Pasca-pandemi Covid 19, situasi semakin memburuk. Shim Jae-yun, Pemimpin Editorial The Korea Times bilang, tekanan untuk mengumpulkan kualifikasi dan fokus yang berlebihan pada kredensial akademis, kian menekan anak muda. Bahkan setelah lulus dari universitas, mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan tetap dapat diturunkan ke pekerjaan sementara atau paruh waktu, yang selanjutnya merusak kualitas hidup. Akibatnya, menjadi sulit untuk mencapai keamanan kerja atau membuat rencana jangka panjang.
Baca Juga: ‘Kim Ji-young, Born 1982’ di Tengah Gerakan #MeToo Korea Selatan
Persaingan ketat ini juga berdampak pada pengikisan rasa percaya dan solidaritas di antara orang-orang. Generasi muda yang dibesarkan dalam lingkungan ini, sering kali menganggap satu sama lain sebagai musuh. Pola pikir ini menumbuhkan lingkaran setan ketidakpercayaan dan kecemasan, yang menyebar luas di seluruh masyarakat.
Buntutnya, anak muda ditinggalkan dengan rasa kekecewaan yang mendalam, berjuang untuk memahami tujuan hidup yang sebenarnya. Terjebak dalam situasi ini, masyarakat Korea Selatan, terutama generasi mudanya mencari eskapisme yang memungkinkan mereka bisa sejenak rehat dari bisingnya dunia.
Ini mengapa healing fiction pun jadi primadona. Popularitas genre ini semakin meluas berkat banyaknya content creator pencinta buku di media sosial yang mengunggah rekomendasi novel-novel genre itu di akun pribadi. Situasi yang sama juga terjadi di Indonesia. Andry Setiawan, pendiri Penerbit Haru mengatakan, pihaknya mulai mengamati tren healing fiction dari tiga tahun lalu.
Pembaca setia mereka mulai merekomendasikan Penerbit Haru untuk mengalihbahasakan beberapa novel genre ini. Mereka bahkan sampai membuat talkshow sendiri soal healing fiction pada perhelatan Festival Buku Asia pada 2021.
Namun Andry mengatakan, tren healing fiction sebelumnya disusul terlebih dahulu oleh minat besar pembaca Indonesia dengan genre yang mereka sebut sebagai hugging essay. Sebuah genre non fiksi, imbuh Andry, yang menekankan pada validasi perasaan lelah pembaca akan kehidupan.
“Di masa Covid19, minat genre ini tinggi. Pembaca ingin perasaannya divalidasi. Buku-buku genre ini yang kami terbitkan seperti Aku Ingin Pulang Meski Sudah di Rumah, I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki, Sebenarnya Aku Tidak Baik-baik Saja diminati pembaca Indonesia,” jelasnya.
Dari hugging essay ini barulah tren healing fiction secara bertahap naik. Orang mulai mencari buku bacaan yang ringan, mudah sekali diikuti dan tidak terlalu bikin berdebar-debar. Andry sendiri percaya selama permasalahan kehidupan modern masih menggelayuti banyak orang, genre ini akan terus mendapatkan penggemar setianya.