Trofi adalah sebuah kemenangan.
Trofi bukanlah sebuah benda yang mudah didapat. Sebuah trofi hanya akan diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang yang unggul dan tentunya memenangkan suatu ‘pertandingan’.
Jenis trofi pun bergantung pada ‘usaha’ apa yang dilakukan untuk mendapatkannya. Bagi seorang siswa, ia harus terus belajar dan berlatih soal-soal untuk mendapatkan trofi Olimpiade ilmu pengetahuan. Begitu pula, seorang pemain sepak bola, ia harus terus menerus berlatih dari pagi sampai malam setiap hari guna mendapatkan trofi yang diinginkannya. Mama pun demikian, ia akhirnya mendapatkan trofi yang semua orang nantikan dengan usahanya yang dimilikinya sendiri.
Trofi Mama tidak terbuat dari emas, perak, perunggu, ataupun bahan mewah lainnya. Tidak ada nama Mama tertoreh di atasnya, juga tidak ada satu pun gelar juara yang besar. Namun, trofi mama tidak akan lekang oleh waktu. Trofi Mama bukanlah kemenangan yang dengan cepat dilupakan.
Mama adalah seorang penderita skizofrenia. Sebelumnya, ia mengalami berbagai masalah hidup yang membuatnya terpuruk pada stres yang sangat berat. Dulu, di tengah penyakitnya, ia masih sempat menyiapkan segala keperluan sekolah saya setiap pagi. Mama juga masih rajin pergi ke gereja dan berdoa di rumah. Hanya saja, ia mulai menarik diri dari lingkungan sosial. Saat itu, ia hanya mau berbicara terbuka dengan saya.
Mama mencoba terbiasa dengan kondisinya saat itu, hingga kadang ia membuat dirinya semakin terpuruk dengan tekanan yang ada. Hal yang sampai kini tertanam pada pemikiran saya adalah kekecewaan Mama pada Papa. Meskipun demikian, di tengah krisis yang menderanya, ia masih terus berusaha bertahan dengan Papa. Bahkan ia masih menyiapkan segala kebutuhannya.
Trofi adalah kebanggaan yang ia berikan.
Kondisi Mama tidak pernah tersentuh oleh medis hingga Januari tahun ini. Dari pertama sakit hingga saat ini, ia menganggap dirinya baik-baik saja, sehingga kami sulit membawanya berobat.
Pada saat menjalani pengobatan, kondisi Mama pun sempat drop. Mama sempat ingin menyerah dengan menghentikan obat yang dikonsumsinya. Namun, kami sekeluarga terus membantu meyakinkannya secara moral dan spiritual.
Mama memang seorang yang kuat, namun rintangan yang dihadapinya kemarin sungguh tidak dapat membendung segala emosi yang ia rasakan. Akan tetapi, saat ini kekuatan Mama seakan kembali seperti semula. Mama berhasil melawan efek samping obat tersebut. Mama menjadi seseorang yang aktif dengan jiwa yang utuh. Dirinya yang sempat hilang kini bersemayam kembali ditengah-tengah kami.
Dengan bangga Mama mendeklarasikan ‘kemenangan’ melawan dirinya sendiri. Bukan, Mama tidak pernah memenangkan pertandingannya dengan penyakit itu. Skizofrenia akan tetap menjadi teman Mama paling tidak hingga obatnya ditemukan. Namun, ia telah sukses melepaskan dirinya dari bayang-bayang trauma, stres, dan waham yang terus menerus mengejarnya.
Tanpa perlu dituntun, Mama juga telah kembali aktif di lingkungan sosialnya. Dengan inisiatifnya sendiri, ia mencoba membangun relasi yang dulu hilang.
Mama memberikan kami trofi yang tak ternilai. Trofi dengan tangisan, harapan, keluhan, dan segala yang ada di dalamnya. Trofi yang kini membuatnya semakin peduli akan kesehatannya. Trofi dengan gelar ‘terberkati’.
Cindy Handayani adalah seorang mahasiswi psikologi yang masih terus menggali passion menulisnya. Ia dikenal memiliki inkonsistensi. Senang bertukar pikiran lewat Twitter @cindygabb atau email [email protected].