‘Turtles All the Way Down’: Coming of Age Ala John Green tentang Remaja dengan OCD
Sambil menavigasi hidup sebagai remaja, Aza juga harus menavigasi hidup sebagai orang dengan OCD.
(Mengandung sedikit spoiler)
Aza Holmes (Isabela Merced) tidak bisa membiarkan isi otaknya berhenti untuk memikirkan hal yang seharusnya tidak ia pikirkan. Spiraling adalah kegiatannya sehari-hari. Kepalanya diisi dengan berbagai informasi yang tidak perlu tentang bakteria dan bagaimana tubuh bekerja. Penyakit OCD-nya (obsessive compulsive disorder) merenggutnya dari pengalaman normal menjadi remaja.
Bagaimana dia bisa menjadi normal kalau setiap saat dia percaya bahwa dia bisa terkena penyakit mematikan kapan saja dan di mana saja?
Kalau ada yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih normal, itu adalah sahabatnya Daisy (Cree). Daisy tahu cara membuat Aza menginjak bumi. Ketika ada berita bahwa seorang milyuner kabur dan FBI menawarkan uang sejumlah seratus ribu dolar sebagai hadiah, Daisy langsung mengajak Aza untuk berpetualang.
Bagi Aza dan terutama Daisy, uang seratus ribu dolar adalah jawaban untuk masa depan mereka. Daisy merasa punya kesempatan besar untuk mendapatkan hadiah ini karena milyuner yang hilang tersebut adalah teman masa kecil Aza, bernama Davis (Felix Mallard). Aza tidak menyangka bahwa petualangankali ini akan mengantarkannya pada pengalaman baru yang ia pikir tidak akan pernah alami: Jatuh cinta.
Diangkat dari Tangan Dingin John Green
Sebagai milenial yang tumbuh di era The Fault In Our Stars tentu saja nama John Green bukan nama yang asing di telinga saya. Seperti kebanyakan anak muda saat itu, sosial media saya diisi oleh berbagai macam quote dari karya-karyanya. Turtles All The Way Down, seperti karya-karya John Green lain, mengikuti semua formula yang sudah ia buat sebelumnya. Misteri orang hilang (Paper Towns), penjelasan tentang mental health yang detail (Looking For Alaska) dan bagaimana kematian menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari (The Fault In Our Stars).
Kali pertama menyaksikan film ini, saya merasa skrip yang ditulis Elizabeth Berger dan Isaac Aptaker ini kurang begitu berhasil menyeimbangkan trope John Green yang khas. Penggunaan misteri dalam Turtles All The Way Down tidak terasa semenghipnotis seperti yang ada dalam Looking For Alaska. Mungkin karena kedekatan Aza dan Daisy terhadap milyuner yang hilang agak sedikit berbeda dengan kedekatan Q dengan Margo dalam Paper Towns. Atau bahkan penyelidikan Miles mengenai kematian Alaska dalam Looking For Alaska.
Tetapi, kali kedua menyaksikan film ini, saya tersadar bahwa Turtles All The Way Down adalah sebuah character study mengenai pengaruh mental health terhadap kehidupan sosialnya. Baik Paper Towns dan Looking For Alaska, sosok yang menderita adalah objek obsesi karakter utamanya. Di film ini, dari film dibuka, penonton langsung diletakkan di dalam kepala karakter utamanya—Aza.
Baca juga: ‘The Colours of Mothers’: Puisi Paling Jujur tentang Ibu
Perbedaan besar inilah yang membuat film ini menjadi sedikit berbeda. Misteri yang ada hanyalah katalis bagi Aza untuk merasakan hal-hal yang selama ini ia hindari.
Davis sebagai love interest sayangnya memang tidak tergambar dengan baik. Sosoknya terlalu satu dimensi dan sampai akhir film pun idak memberikan sesuatu yang substansial, baik secara karakter atau bagaimana si aktor memerankannya. Tapi, itu tidak menjadi masalah yang begitu mengganggu karena Turtles All The Way Down bukan seperti The Fault In Our Stars yang menaruh romance sebagai menu utamanya. Menu utama film ini selain tentang bagaimana Aza “meladeni” penyakitnya, tapi juga bagaimana orang-orang yang ada di sekitarnya merespons perilaku Aza.
Dalam film ini, Aza memiliki tiga sosok penting: Ibunya (Judy Reyes), Daisy, dan psychiatrist bernama Dr. Singh (Poorna Jagannathan dari Never Have I Ever). Seperti hubungan ibu dan anak pada umumnya, dinamika hubungan Aza dengan ibunya agak sedikit berjarak. Ia tidak pernah bisa seratus persen jujur dengan apa pun yang ia mau. Kepada Dr. Singh Aza hanya bisa mengeluh tentang bagaimana obat-obat yang diresepkan kepadanya tidak berfungsi seperti yang ia inginkan.
Hubungan Daisy dan Aza sementara itu menjadi nyawa utama film ini. Sekilas mereka terlihat seperti dua orang sahabat yang saling mengisi satu sama lain. Sutradara Hannah Marks kemudian pelan-pelan mengajak penonton untuk membongkar lapisan demi lapisan.
Baca juga: Menjadi Ibu yang (Tidak) Sempurna
Dalam salah satu adegan paling dramatis dalam film, kita akhirnya melihat Aza dan Daisy kecewa atas satu sama lain. Aza merasa kecewa dengan apa yang dilakukan Daisy yang menulis dirinya di fan fiction Star Wars tanpa izin. Sementara Daisy selama ini merasa harus menahan diri bersahabat dengan orang yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri, tanpa peduli dengan orang-orang di sekelilingnya.
Tidak mengherankan jika Hannah Marks fokus dengan hubungan kedua sahabat ini karena dinamika inilah yang menjadi nyawa Turtles All The Way Down.
Baik Merced dan Cree mempunyai chemistry yang baik. Dari pertama mereka muncul, saya percaya bahwa mereka adalah sahabat lama yang memiliki sejarah. Merced yang mempunyai tugas lebih berat juga mampu untuk menjelaskan semua apa yang ia rasakan melalui ekspresi wajahnya yang kaya. Ditambah dengan editing dan musik yang “panik”, film ini lebih dari berhasil untuk membuat saya paham tentang tidak enaknya menjadi orang pengidap OCD.
Turtles All The Way Down mungkin tidak seseru film-film atau serial adaptasi buku John Green lainnya. Ada beberapa momen ini yang rasanya terlalu gelap dan depresif (bagian apa yang dilakukan Aza dengan hand sanitizer lumayan menghantui). Mungkin itu sebabnya, ia menggunakan plot misteri untuk menarik perhatian penonton. Tapi sebagai sebuah tontonan untuk mengingatkan betapa kompleksnya menjadi manusia dan remaja, Turtles All The Way Down adalah sebuah film yang tak bisa dilewatkan.
Turtles All The Way Down dapat disaksikan di HBO Go