Culture

‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah

Melalui novelnya, Zoulfa Katouh memberikan napas pada tiap jiwa yang gugur dan tengah berjuang di tengah konflik Suriah.

Avatar
  • May 12, 2023
  • 9 min read
  • 7247 Views
‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah

Nama Zoulfa Katouh setahun belakangan kian familier di telinga pecinta sastra. Penulis berdarah Suriah ini sukses menyihir banyak orang di seluruh dunia lewat novel debutnya As Long as the Lemon Trees Grow. Novel yang telah diterjemahkan ke lebih dari 19 bahasa termasuk bahasa Indonesia, secara resmi diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan Pustaka.

Katouh mengajak para pembacanya masuk ke dalam kengerian konflik Suriah melalui realitas Salama Kassab, mahasiswa farmasi yang karena keadaan terpaksa harus jadi dokter relawan di sebuah rumah sakit di Homs, Suriah.

 

 

Setiap hari Salama membantu para korban luka yang membanjiri pintu-pintu rumah sakit. Rutinitas ini membuat Salama terlihat bak mayat hidup yang tak punya sisa binar kehidupan. Keadaannya pun semakin parah karena ia terus dihantui oleh Khwaf. Sebuah eksistensi yang hanya bisa ia lihat dan secara terus menerus memperlihatkan gambaran-gambaran mengerikan tentang masa depannya jika ia tidak meninggalkan Suriah.

Dalam keadaannya ini, Salama tak sengaja bertemu dengan Kenan. Laki-laki dengan tubuh kurus dan mata hijau terang yang berjuang mengabadikan momen-momen serangan militer pemerintah Ba’athist Bashar al-Assad untuk ia perlihatkan pada dunia. Keduanya dengan cepat membangun hubungan yang kuat di tengah-tengah reruntuhan yang ditinggalkan oleh pengeboman dan serangan udara. Hubungan yang melambangkan kemungkinan adanya harapan di Suriah yang baru.

Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Trauma yang Lebih Hebat dari PTSD

Sudah hampir lebih dari 11 tahun Suriah dalam situasi konflik bersenjata. Kini Suriah mengalami krisis kemanusian atau humanitarian crisis. Konflik bersenjata yang berkepanjangan, belum lagi banyak pihak luar yang terlibat dalam konflik ini membuat Suriah seperti medan perang yang tak berkesudahan.

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) bahkan sampai menobatkan Suriah sebagai negara dengan krisis pengungsi terbesar di dunia. Sejak tahun 2011, lebih dari 14 juta warga Suriah terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Lebih dari 6,8 juta warga Suriah masih menjadi pengungsi internal di negara mereka sendiri, di mana 70 persen penduduknya membutuhkan bantuan kemanusiaan dan 90 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.

Dunia boleh jadi bisa melihat keadaan Suriah ini lewat liputan berita serta berbagai video amatir yang diupload langsung di platform digital seperti YouTube, Twitter, atau Instagram. Melihat sedikit gambaran tentang kengerian krisis kemanusian di sana dengan berbagai macam bentuk serangan militer Assad yang tanpa belas kasih mengeksekusi warganya sendiri.

Meski dunia memiliki akses untuk melihat gambaran-gambaran ini, dunia tak akan pernah bisa memahami situasi konflik Suriah secara sempurna seperti layaknya warga Suriah sendiri. Di sinilah peran Koutuh, penulis berdarah Suriah sangat dibutuhkan.

Lewat narasinya yang ditulis dengan indah dan penuh emosi, Katouh melalui Salama berusaha menyampaikan realisme situasi konflik Suriah secara langsung tanpa ada bumbu pemanis sedikit pun. Katouh tanpa ragu-ragu menggambarkan situasi Salama berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa ratusan pasien dengan keadaan terburuknya.

Ini mulai dari Salama yang harus melakukan amputasi pada prajurit dari Tentara Pembebasan Suriah atau Free Syrian Army, menyelamatkan anak kecil yang tangan dan kakinya sudah hampir putus, hingga menyelamatkan anak-anak dan perempuan yang terkena serangan senjata kimia. Serangan yang bahkan dalam ilmu kedokteran modern sekalipun masih belum ditemukan prosedur penyelamatannya.

Kengerian yang dibangun oleh Katouh pun makin tereskalasi lewat caranya yang selalu berusaha menyampaikan detail pergolakan emosi Salama melakukan operasi darurat. Ketakutan dan rasa bersalah selalu jadi emosi paling dominan yang Salama rasakan. Ia takut tangannya tak cukup cakap menyelamatkan nyawa seseorang apalagi ia adalah mahasiswa farmasi yang sebenarnya tak punya latar belakang kedokteran.

Ia juga merasa bersalah tiap kali ada pasien yang harus kehilangan nyawa dalam pengawasannya. Rasa bersalah ini semakin kuat apalagi semenjak ada seorang anak laki-laki yang ia “biarkan” meninggal karena mengalami pendarahan dalam.

Kengerian demi kengerian yang ia temui setiap hari di rumah sakit membuat kondisi mentalnya semakin terpuruk. Belum lagi dengan fakta Salama sebenarnya juga adalah korban dari krisis kemanusiaan yang melihat dengan mata kepalanya sendiri tubuh ibunya termutilasi akibat serangan udara dan ayah serta kakak laki-lakinya dibawa paksa oleh pasukan militer Assad untuk disiksa di penjara.

Tak mengherankan jika kemudian Salama pun acap kali mengalami berbagai masalah mental. Ia mulai berhalusinasi, kesulitan tidur, hingga bisa tiba-tiba terdiam dengan tatapan kosong. Khawf (dalam bahasa Arab berarti rasa takut) pun hadir dalam manifestasinya terhadap trauma besar yang ia alami. Trauma yang melebihi PTSD dan kini punya istilah sendiri, Human Devastation Syndrome atau Sindrom Kehancuran Manusia.

Sindrom Kehancuran Manusia sendiri adalah istilah yang diciptakan oleh ahli neuropsikologi medis Mohammad Khalid Hamza dari Syrian American Medical Society pada tahun 2016. Dilansir dari laporan khusus VOA tentang pengungsi Suriah, istilah ini dicetuskan oleh Hamza lantaran melihat dan meneliti bagaimana trauma yang dimiliki oleh korban konflik Suriah begitu besar hingga istilah PTSD pun tidak cukup menggambarkan trauma dan kerusakan mental yang dialami korban.

“Ini adalah kehancuran… secara mental, fisik, emosional, psikologis, kognitif, neuropsikologis. Besarnya [trauma] frekuensi serta lamanya waktu sangat jauh lebih tinggi, jauh lebih dalam daripada pasien PTSD,” jelas Hamza kepada VOA.

Dengan penghinaan sebagai salah satu faktor utama di dalamnya, sindrom ini menjangkau ke dalam inti keberadaan seseorang. Menghancurkan kemanusia dalam tiap jiwa korbannya secara terencana dan total hingga membuat mereka hidup layaknya cangkang saja.

“Bayangkan mimpi terburuk yang pernah kamu alami tetapi mimpi itu terjadi ketika kamu terjaga, setiap hari selama bertahun-tahun,” kata Hamza dikutip langsung dari laporan Human Devastation Syndrome:The Impact of Conflict on Mental Health Human Devastation Syndrome pada 2018.

Ia kemudian melanjutkan, “Orang-orang berlalu begitu saja saat kamu berdarah dan kesakitan, mereka mengabaikanmu atau tidak dapat mendengarmu atau tidak mengakui keberadaanmu karena sudah terlalu banyak kengerian yang mereka alami.”

Baca Juga:  “Bagaimana Cara Mengatakan ‘Tidak’?” Tampilkan Perempuan di Lingkaran Kekerasan

Bukan Perang, tapi Revolusi

Jika berbicara mengenai konflik bersenjata di Suriah, dunia kerap kali menggambarkannya sebagai perang saudara. Penjelasan dari Wikipedia atau dalam berbagai pemberitaan media nasional dan internasional jadi buktinya. Penyebab meletusnya konflik bersenjata ini pun seringkali direduksi menjadi perseteruan Sunni-Syiah. Media Merdeka misalnya jadi salah satu media Indonesia yang memberitakan penyebab konflik di Suriah berawal dari propaganda isu sektarian antara Sunni dan Syiah.

Pengreduksian konflik di Suriah ini ternyata menjadi kekhawatiran Koutuh. Melalui novel debutnya, Katouh berusaha memperlihatkan bagaimana situasi Suriah sejak 2011 bukanlah situasi yang disebabkan oleh propaganda atau perseteruan Sunni dan Syiah. Katouh bahkan menegaskan apa yang dialami Suriah sekarang bukanlah perang, melainkan revolusi.

Dalam memberikan pemahaman tentang apa yang sebenarnya terjadi di Suriah, Katouh tanpa segan membawa pembacanya untuk menyusuri sejarah Suriah. Ini dimulai pada Maret hingga Juli 2011. Bulan di mana Revolusi Suriah pertama kali meletus. Saat itu masyarakat Suriah tengah melakukan aksi protes kepada rezim pemerintah Assad yang telah berkuasa selama lebih dari dua dekade lamanya. Aksi ini menyusul aksi protes Kebangkitan Arab atau dikenal sebagai Arab Spring sebagai gelombang revolusi unjuk rasa dan protes yang terjadi di dunia Arab.

Revolusi ini yang menuntut reformasi demokratis, namun justru disambut dengan kekerasan polisi dan militer hingga terjadi penangkapan besar-besaran dan penembakan yang mengakibatkan ribuan orang tewas dan puluhan ribu lainnya terluka. Mulai dari titik inilah eskalasi kekerasan sistemis yang dilakukan Assad untuk mengeksekusi pihak manapun yang sekiranya menentang kepemerintahannya dimulai.

Assad sebagai panglima tertinggi Angkatan Bersenjata Suriah dan sekretaris jenderal Komando Pusat Partai Ba’ath Sosialis Arab tak segan mengeksekusi mati warga sipil. Dilansir dari Washington Post, sejak 2011 Angkatan Bersenjata Arab Suriah di bawah komando Assad dan pasukan paramiliter pro-Assad bahkan tercatat telah terlibat dalam lebih dari 300 serangan kimia di Suriah. Serangan kimia ini mayoritas menyasar pada kelompok rentan, yaitu anak-anak dan perempuan.

Dengan detail gerakan sipil masyarakat Suriah ini Katouh ingin pembacanya tidak mereduksi situasi Suriah hanya sebagai situasi perang di mana masyarakat Suriah digambarkan sebagai korban yang tidak berdaya dan tak punya tujuan. Sebaliknya, Katouh ingin memberikan pemahaman konflik Suriah pada pembacanya lewat lensa masyarakat Suriah sendiri. Lensa yang memperlihatkan bagaimana konflik ini memiliki akar kuat pada perjuangan masyarakat Suriah yang ingin merebut kembali kebebasan, rumah rumah mereka yang direnggut paksa.

Keinginannya untuk memberikan pemahaman soal situasi di Suriah membuat Katouh mengelaborasi perjuangan penuntutan kebebasan Suriah melalui kegigihan para masyarakat Suriah yang memutuskan tinggal di Suriah. Katouh menampilkannya lewat para anak-anak dan muda-mudi yang tanpa takut tetap berjalan beringan membawa bendera Suriah sambil meneriakkan kalimat pembebasan negerinya.

Katouh menampilkannya melalui kegigihan Salama dan kegigihan para dokter relawan yang enggan keluar dari Suriah demi menyelamatkan nyawa saudara sebangsa mereka yang dibantai habis-habisan oleh militer Assad. Tak lupa, Katouh juga menampilkannya melalui keberanian Kenan yang bertaruh nyawa mengabadikan momen-momen kebrutalan militer Assad untuk diunggah ke media sosial.

Untuk menyeimbangkan narasi nasionalisme masyarakat Suriah atas negerinya, Koutuh juga tak lupa untuk memberikan penghargaan bagi para pengungsi Suriah. Ia paham bagaimana perlawanan terhadap rezim Assad tak hanya hadir lewat satu cara perlawanan saja, tetap tinggal di Suriah. Perlawanan juga hadir lewat cara bertahan hidup dengan mencari suaka di negara lain.

Baca Juga: Ligwina Hananto: Di Balik Kecintaannya terhadap Komedi dan Cap “SJW” dari Netizen

Seperti yang sudah Koutuh coba elaborasi sebelumnya mengenai sindrom kehancuran manusia, ia menyadari bahwa tidak semua orang bisa bertahan waras dengan situasi konflik berkepanjangan di Suriah. Nyawa dan kesehatan mental menjadi taruhannya. Karena itu, bagi mereka yang memutuskan untuk mencari suaka, keluar dari Suriah untuk menyelamatkan nyawa diri sendiri dan orang terdekat tidak digambarkan Koutuh sebagai sebuah tindakan pengecut.

Koutuh justru membingkainya sebagai bentuk perlawanan. Karena dengan mencari suaka di negeri lain, menyembuhkan diri sendiri sambil mengemban identitas sebagai orang Suriah menggambarkan sebuah kesempatan baru bagi Suriah untuk tumbuh. Para pengungsi akan jadi penyambung mulut. Memberitahu dunia tentang konflik negara mereka yang pada gilirannya menjadi bahan bakar bagi dunia untuk bersolidaritas melawan kediktatoran Assad.

Dengan mengelaborasi perjuangan para karakternya inilah, Katouh mampu memperlihatkan pada pembaca tentang Suriah yang tak pernah kita pahami atau lihat lewat kacamata dunia. Narasi yang begitu humanis dengan penekanan pada perlawanan juga harapan di tengah kengerian konflik bersenjata.

Judul                :  As Long As Lemon Tress Grow
Penulis             : Zoulfa Katouh
Penerbit           : Bloomsbury Publishing (Inggris), Penerbit Mizan Pustaka (Indonesia)
Tahun terbit    : 2022



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *