Politics & Society

Kelompok Rentan, Minoritas Masih Sulit Dapatkan Identitas Hukum

Ketiadaan identitas hukum bagi kelompok minoritas dan rentan menghambat akses pendidikan dan kesehatan.

Avatar
  • March 1, 2018
  • 3 min read
  • 738 Views
Kelompok Rentan, Minoritas Masih Sulit Dapatkan Identitas Hukum

Sudah lebih dari satu dekade Undang-undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 berlaku, namun masalah-masalah menyangkut identitas hukum masih muncul. Beberapa kelompok rentan di masyarakat seperti kelompok miskin, perempuan, dan orang-orang dengan disabilitas, masih belum mendapatkan hak dasar terkait identitas hukum, yaitu kartu tanda penduduk, akta kelahiran, akta pernikahan, dan sebagainya.

Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2016 menunjukkan banyak yang mengalami kendala jarak, biaya, dan prosedur yang rumit untuk mendapatkan identitas hukum, terutama di daerah pedesaan.

 

 

Dalam panel diskusi pencanangan Kelompok Kerja Masyarakat Sipil untuk identitas Hukum (Pokja Identitas Hukum) pekan lalu, disebutkan bahwa akibat ketiadaan identitas hukum untuk sebagian masyarakat menghalangi mereka mendapatkan akses terhadap layanan umum, seperti pendidikan dan kesehatan.

Kendala-kendala seperti yang tercatat pada SUSENAS juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh salah satu anggota Pokja Identitas Hukum yaitu organisasi  Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).

Pada 2006, PEKKA mencatat bahwa 70 persen dari anggotanya yang merupakan janda cerai mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Namun sebagian dari jumlah ini tidak bisa melaporkan kasusnya karena tidak memiliki akta pernikahan.

“Jika mereka tidak memiliki akta pernikahan otomatis anak mereka pun juga tidak mendapatkan akta kelahiran,” ujar Koordinator Nasional PEKKA Nani Zulminarni.

PEKKA juga menemukan korelasi erat antara pernikahan anak dengan ketiadaan akta kelahiran. Dari 10 anak-anak yang menikah di bawah umur, sembilan di antaranya tidak memiliki akta kelahiran.

Dari 2011 hingga 2013, PEKKA kembali mengadakan penelitian intensif pada anggotanya di 111 desa dari 17 provinsi, dan menemukan peningkatan jumlah kepemilikan akta perkawinan menjadi 64 persen, dari 60 persen pada periode sebelumnya. Namun Nani mengatakan, kelompok termiskin masih belum terjangkau akses. Dari semua anggota PEKKA, 45 persen tidak memiliki akta perkawinan, dan 13 anak-anak dari kelompok tersebut 13 persen tidak memiliki akta kelahiran.

Menurut Nani, kendala-kendala mengakses administrasi kependudukan tidak hanya dialami oleh kelompok masyarakat miskin, namun juga kelompok lainnya, seperti penyandang disabilitas.

“Kelompok disabilitas masih mengalami diskriminasi karena kurangnya pengetahuan masyarakat yang memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas akan pentingnya identitas hukum bagi kelompok disabilitas,” kata Nani.

Masalah-masalah administrasi kependudukan ini kembali mencuat di tengah kontroversi  pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), karena beberapa pasal dalam rancangan tersebut berpotensi mengkriminalkan orang-orang yang belum memiliki akta pernikahan.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, Pokja Identitas Hukum dibentuk sebagai mitra kritis pemerintah dan membantu mereka untuk mewujudkan sistem identitas hukum di Indonesia yang inklusif, non diskriminatif dan akuntabel.

Pokja  Identitas Hukum sendiri awalnya merupakan Konsorsium Catatan Sipil yang dibentuk pada 2006, namun kemudian vakum. Pada 13 November 2017, Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) dan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) menginisiasi pembentukan Pokja ini. Empat lembaga lain kemudian bergabung, yakni PEKKA, Lembaga Bantuan Hukum LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK),  Kemitraan, dan Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi  (GANDI).

“Kami juga melakukan advokasi ke Mahkamah Agung. Dan saat ini, di beberapa kawasan desa, sudah ada layanan satu atap untuk pencatatan akta nikah, mengurus akta cerai, dan lain sebagainya. Jadi dalam satu hari mereka bisa mengurus beberapa hal menyangkut pencatatan administrasi penduduk. Hal ini sangat membantu sekali di wilayah-wilayah terpencil,” kata Nani.

Koordinator Pokja Identitas Hukum, Muhammad Jaedi mengatakan, sudah ada beberapa kemajuan yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri, seperti pencapaian target yang naik menjadi 95 persen untuk kasus kepemilikan akta kelahiran anak patut.

“Dalam 5 persen tersebut, bisa saja berasal dari penduduk yang berada di daerah-daerah yang sulit kita jangkau. Untuk itu, Pokja ingin mendukung upaya pemerintah untuk mencapai target tersebut,” ujarnya.



#waveforequality


Avatar
About Author

Elma Adisya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *