Culture Prose & Poem

Ulasan ‘Laila Tak Pulang’: Ketika Penerimaan Queer Saja Tak Cukup

‘Laila Tak Pulang’ adalah novel misteri dengan pesan menohok tentang penerimaan individu queer.

Avatar
  • October 26, 2023
  • 6 min read
  • 1958 Views
Ulasan ‘Laila Tak Pulang’: Ketika Penerimaan Queer Saja Tak Cukup

Pagi itu Gus berjalan menuju rumah susun Ratna. Ia mau minta maaf langsung pada teman perempuannya itu lantaran lupa akan janji makan malam bersama. Namun, bukannya mendapati Ratna membukakan pintu dan memarahinya, ia justru menemukan tubuhnya terbujur kaku.

Di bak mandi yang dipenuhi air tinta hitam, di situlah Gus menemukan Ratna dalam posisi melengkung dan tulang leher yang retak. Selain jasadnya, ia mendapati sebuah pisau belati. Benda yang baru ia sadari mirip sekali dengan milik sang adik perempuan, Laila. Satu-satunya keluarga yang tersisa dan ia cintai setengah mati, tapi kini tidak diketahui keberadaanya. 

 

 

Takut temuan pisau belati itu akan menyeret adiknya, Gus terpaksa tutup mulut. Namun siapa sangka, diamnya justru membuat semakin banyak misteri pembunuhan dari orang-orang yang ia kenal. Pembunuhan yang celakanya semakin menarik masuk adiknya yang menghilang.

Misteri pembunuhan dan hilangnya Laila adalah bagian epik dari novel terbaru Abi Ardianda berjudul Laila Tak Pulang. Ada kengerian dan kepingan teka-teki yang membuat para pembaca seperti saya, ingin buru-buru mengetahui akhir kisah Gus dan Laila.

Kengerian ini tak cuma satu-satunya hal menarik dalam novel Abi. Dengan handal, penulis meramu setiap detail dan gerak-gerik Gus demi menghadirkan isu-isu sosial politik, agama, dan gender dalam narasinya. Kita beruntung, isu-isu ini hadir secara alami dan tak ditampilkan dengan gaya menggurui. Semua mengalir begitu saja.

Yang tak kalah penting, dengan cara ini pula Abi juga bisa membangun asumsi liar di kepala pembacanya. Jangan-jangan, kehilangan memang hadir karena kita tak pernah bisa memberi rasa aman buat orang terdekat?

Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah

Kuliti Maskulinitas Toksik yang Merugikan

Laila Tak Pulang adalah novel dengan total 27 bab. Dengan jumlah bab yang relatif banyak, Abi ingin membangun kedekatan pembaca pada protagonis andalannya, Gus. Lewat Gus, pembaca diantar menyelami cara laki-laki ini berpikir dan bersikap tanpa ada jarak. Ini membuat pembaca menginterogasi bias-bias apa yang dimiliki Gus seraya menaruh simpati padanya.

Sebagai sosok yang tumbuh di masyarakat patriarkal, secara tak sadar Gus menginternalisasi maskulinitas toksik. Ia percaya menunjukkan emosi adalah bagian dari kelemahan. Laki-laki harus mampu menyembunyikan emosinya, bersikap biasa-biasa saja walau ada orang yang mereka cinta hilang.

“Aku bukan laki-laki yang cengeng,” kata Gus suatu hari.

Penyangkalannya pada emosi membuat Gus kesulitan untuk memproses duka. Mengenakan topeng raut wajah yang keras, Gus terus menyangkal kenyataan bahwa Laila hilang. Dalam kesehariannya, ia tetap membuat secangkir kopi hitam yang ia tinggal di meja dapur. Handuk di atas ranjang, pasta gigi, kaos kaki. Bahkan sisa-sisa potongan kuku Laila dibiarkan begitu saja menghiasi seisi rumah susunnya.  

Dengan ini, ia berharap Laila akan tiba-tiba saja kembali pulang dan menyapanya lewat pelukan. Harapan yang justru membuat misteri kehilangan Laila tak pernah bisa ia sibak. Harapan yang menyanderanya dalam serangkaian misteri pembunuhan baru.

Gus mengalami pathological grief. Keadaan sulit melangkah maju karena terjebak dalam duka yang bahkan belum bisa diproses dengan sempurna. Ia jadi mengacaukan segalanya, termasuk pekerjaan yang jadi penopang hidup terbesar buatnya dan Laila.

Keyakinan untuk menjadi “lelaki sesungguhnya” tak cuma bikin Gus telat berduka, tapi juga membuatnya memaklumi penindasan Baron. Teman lelakinya itu gemar memalaki murid-murid berduit yang dia anggap cengeng, walau Baron sendiri adalah anak orang kaya. Ia juga gemar berganti-ganti pasangan di atas ranjang. Di mata Baron, perempuan hanya objek seksual yang bisa bebas ia buang jika bosan. 

Bahkan ketika ia memutuskan untuk menikah, hipermaskulinitasnya ini tak pernah sama sekali tergoyahkan. Sama dengan perempuan-perempuan yang ditiduri, ia ingin istrinya nanti “ditaklukkan” mutlak di malam pertama. Istri yang perawan sebelum menikah adalah syarat wajib agar ia bisa sepenuhnya jadi laki-laki jantan yang perkasa.

Baron memang brengsek. Namun, tak sekali pun Gus berusaha menegur atau menjauh darinya. Berteman dengan Baron adalah candu yang membuat dia merasa seperti mengarungi petualangan berharga.

Langkah diam adalah manifestasi dari pembiaran dan pelanggengan relasi kuasa. Ini sekaligus pengingat untuk pembaca tentang bagaimana masyarakat kita tanpa sadar mengamini maskulinitas beracun sebagai sesuatu yang memang seharusnya dilakukan laki-laki. Dampaknya maskulinitas beracun ini sangat ketara: Perempuan dan kelompok marjinal jadi semakin rentan.

Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja

Tanpa Rasa Aman, Laila Tak Pernah Pulang

Dunia ini tak pernah bisa menawarkan rasa aman kepada individu queer. Tinggal di tengah masyarakat yang menganggap heteroseksualitas sebagai satu-satunya orientasi seksual “normal” dan layak, bikin banyak queer hidup dalam ketakutan. Takut dihakimi dan dipersekusi. 

Negara dengan segala kedaulatan dan kekuatan hukumnya bahkan tak pernah mau melihat eksistensi mereka yang berharga. Berbagai Peraturan Daerah atau Rancangan Peraturan Daerah digodok justru hanya untuk menghilangkan eksistensi orang-orang ini. Ketidakberpihakan ini jelas berbahaya. Sebab, banyak aparat penegak hukum dan masyarakat seakan diberikan sinyal untuk main hakim sendiri. 

Semua orang jadi mengidap sindrom penyelamat. Persekusi dilakukan dengan dalih ingin “menyembuhkan” apa yang dianggap tak normal dan melenceng dari agama serta moralitas. 

Buat banyak individu queer, situasi penuh kekerasan ini membuat mereka terpaksa berkamuflase bak bunglon. Mereka memutuskan untuk tidak jadi diri sendiri. Hidup dengan cara bersikap dan berpakaian sesuai dengan norma sosial yang berlaku umum hanya untuk bisa bertahan hidup. Laila pun sama. 

Baca Juga: “Bagaimana Cara Mengatakan ‘Tidak’?” Tampilkan Perempuan di Lingkaran Kekerasan

Laila berusaha sekuat tenaga tidak menunjukkan identitas queernya. Walau begitu ada saja celah kamuflase yang terlihat oleh orang-orang di luar sana dan ini membuatnya kehilangan nyawa. Gus yang sayangnya baru mengetahui identitas queer Laila ketika ia sudah tidak ada, menyesal.

Bagaimana mungkin ia tidak mengenali adiknya itu. Di tengah kekalutan, perempuan yang tengah dekat dengannya pun menyadarkannya. Gus boleh saja mencintai Laila sepenuh hati. Menganggapnya berharga hingga harus dijaga, tapi Gus tak pernah bisa memberikan Laila rasa aman.

Hanya pada Gus, Laila sudah memberikan petunjuk-petunjuk kecil mengenai identitasnya. Akan tetapi, tak pernah satu kali pun Gus berusaha memahaminya. Ia bahkan justru mendorong Laila untuk bisa tampil seperti idealnya perempuan-perempuan yang ada dalam bayangannya. Hal yang sama persis dilakukan Baron dan temannya Ratna yang sangat membenci individu queer karena dianggap tidak normal.

Sikap Gus menjerumuskan Laila dalam kekerasan yang menghilangkan nyawa. Gus harus mencicipi pil terpahit di Bumi karena baru menyadari bahwa penerimaan tak pernah bisa utuh dirasakan tanpa rasa aman. Rasa aman adalah segalanya buat individu dari kelompok marjinal. Lewat rasa aman, mereka baru bisa sepenuhnya merasa diterima apa adanya. Namun nahas, buat seseorang yang mengklaim dirinya keluarga, Gus justru tak bisa memberikan satu-satunya hal penting yang Laila damba.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.