‘Sentimental Value’, Trauma Turun-temurun, Serta Sela di Antara Memaafkan dan Mengampuni
“I think the apple’s rotten right to the core, from all the things passed down from the apples coming before,” kata Charli xcx dalam lagu Apple dari album fenomenalnya, BRAT. Ia adalah cara penyanyi keturunan Inggris-India ini, membicarakan trauma generasional.
Penggalan lirik itu bisa pula berfungsi sebagai catatan kaki bagi film terbaru Joachim Trier, Sentimental Value. Ia mengisahkan warisan luka keluarga yang membusuk tapi tak bisa dibuang. Tema yang mirip ini, bisa jadi alasan Charli mengenalkan film itu di Oslo Pix Film Festival, Agustus kemarin. Di penampilannya di Coachella, tulisan “Joachim Trier Summer” juga sempat muncul sebagai backdrop penutup.
Film ini menandai kembalinya Joachim Trier setelah The Worst Person in the World (2021), menutup trilogi Oslo-nya dengan nuansa lebih muram sekaligus lembut. Tayang perdana sekaligus menang Grand Prix di Festival Film Cannes 2025, Sentimental Value kini jadi perwakilan Norwegia untuk kategori Best International Feature Film di Oscar.
Baca juga: Mengalami “BRAT”, Mendalami Sisi ‘Pop Girlie’ Charli
Trier dan rekan penulisnya, Eskil Vogt, menulis film ini seperti surat terbuka tentang ingatan, seni, dan keluarga; tiga hal yang dalam semesta film ini saling bertaut sampai kusut.
Cerita berpusat pada Gustav Borg (Stellan Skarsgård), sutradara tua yang pulang ke Oslo setelah kematian mantan istrinya. Ia berniat “menebus” masa lalu dengan membuat film baru berdasarkan kisah keluarga mereka, menjadikan rumah lamanya sebagai lokasi syuting.
Kedua putri Gustav, Nora (Renate Reinsve) dan Agnes (Inga Ibsdotter Lilleaas), ikut terseret. Nora si bungsu menolak tawaran untuk membintangi film terbaru sang ayah, sementara Agnes si sulung—yang tampak mapan, tapi rapuh dalam diam—sempat menolak putra semata wayangnya diajak memerankan Gustav kecil.
Ketika Gustav akhirnya menunjuk seorang aktris muda Amerika, Rachel Kemp (Elle Fanning), untuk memerankan mendiang ibunya, proyek itu berubah jadi eksperimen emosional yang menelanjangi luka lama: antara ayah yang menyesal, anak-anak yang tumbuh dan dibiarkan terluka, serta seni yang lahir dengan mengorbankan perasaan sumber ‘inspirasi’-nya.
Trier menjahit film ini bukan sebagai drama keluarga konvensional, melainkan semacam chamber piece yang bergulir di antara momen-momen intim. Kamera Kasper Tuxen bergerak tenang di ruang-ruang yang tampak nyata ditinggali: dapur, kamar mandi, tangga kayu yang berderit. Semua sudutnya seperti menyimpan ingatan. Trier tahu, kadang percakapan paling jujur justru terjadi lewat cara seseorang menghindari pandangan orang lain.
Dalam Sentimental Value, yang tidak diucapkan sering kali lebih penting dari yang terdengar.
Demi Kembali Merasa Hidup
Salah satu adegan paling menohok terjadi saat makan malam keluarga, ketika Gustav berujar, “It’s hard to love someone without mercy.” Kalimat itu jadi tesis film ini—kasih sayang yang tak lagi tulus, melainkan semata-mata karena rasa bersalah.
Skarsgård memerankan Gustav bukan sebagai sosok monster, tapi sebagai lelaki yang hidup terlalu lama dalam logika seninya, sendiri. Ia lebih tahu bagaimana mengarahkan aktor daripada berbicara dengan anaknya.
Renate Reinsve, yang dulu membuat dunia jatuh cinta lewat Julie di The Worst Person in the World, kini tampil lebih matang dan tenang. Sebagai Nora, ia adalah seseorang yang profesional di depan kamera, tapi tercerai-berai di kehidupan nyata. Dalam adegan pembuka, ia mengunci dirinya di ruang ganti sebelum pertunjukan, lalu memohon kekasih gelapnya, Jakob (Anders Danielsen Lie), menamparnya agar bisa “keluar dari kepalanya sendiri.”
Baca juga: Ada Apa dengan Umay dan Film Kesehatan Mental?
Trier memfilmkan adegan itu dengan kamera hend-held. Seolah ingin menunjukkan bahwa terkadang, bahkan tindakan ekstrem semata-mata hanyalah cara seseorang untuk kembali merasa hidup.
Kehadiran karakter Rachel Kemp, aktris muda yang ingin dianggap lebih “ serius” lewat proyek Gustav sebagai sineas prestisius, membawa lapisan baru. Trier memanfaatkan persona Elle Fanning untuk menyingkap bagaimana perempuan sering dijadikan cermin bagi ambisi laki-laki. Ketika Rachel akhirnya mundur dari proyek itu, menyadari bahwa film tersebut dibangun di atas luka nyata sebuah keluarga, keputusannya justru berubah jadi semacam titik penyembuhan.
Trier membiarkan kita memahami bahwa seni tak harus melukai agar bisa jujur.
Sentimental Value kebanyakan menghabiskan waktunya di satu ruang saja, yakni rumah keluarga Borg, yang nyaris menjadi karakter sendiri. Nora mengatakan lewat narasi pembuka, “Rumah ini tidak suka sepi.” Rumah itu menjadi simbol tubuh yang emosional: tempat kenangan menempel di dinding dan percakapan masa lalu bergaung di udara.
Yang membuat film ini begitu mengena adalah cara Trier menangkap bagaimana aksi kasih sayang, lepas dari apa intensinya, bisa diterima dengan cara yang berbeda. Gustav ingin “memperbaiki” hubungan dengan anak-anaknya melalui seni dan berkarya. Tapi bagi anak-anaknya, upaya itu justru menghidupkan kembali trauma lama.
Antara Memaafkan dan Mengampuni
Bagi penonton Indonesia, dinamika orang tua-anak ini terasa akrab. Kita tumbuh di tengah budaya yang menekankan rasa hormat dan kepatuhan pada orang tua, bahkan ketika luka diturunkan tanpa sadar.
Sentimental Value menggugat kebiasaan itu: apakah cinta yang lahir dari rasa bersalah masih bisa disebut cinta?
Ia juga mengedepankan gagasan tentang perbedaan antara forgiveness dan mercy. Menurutnya, forgiveness menutup bab, dan menganggap semuanya selesai. Mercy sebaliknya; ia mengakui luka tanpa merasa perlu menuntut penebusan.
Dalam konteks film ini, mercy adalah keberanian untuk tetap hadir, meski tahu tidak ada akhir yang sempurna. Di babak terakhir, Gustav dan Nora berada di set lokasi syuting film yang merekonstruksi rumah mereka, dikelilingi lampu dan kamera.
Baca juga: Makin Populernya ‘Generational Trauma’ dan Rekomendasi 4 Film buat Kamu
Setelah Gustav berteriak “cut!” kru syuting sibuk menyiapkan shot selanjutnya. Gustav dan Nora pun saling mendekat seiring kamera yang semakin menjauh. Tidak ada kehangatan antara keduanya, pun perasaan terhadap satu sama lain sepertinya juga tidak membaik.
Yang ada, hanya dua orang yang akhirnya berhenti bertengkar dan mencoba berekonsiliasi lewat bahasa yang mereka sama-sama tahu: kesenian.
Sentimental Value bukan film tentang cara memaafkan, tapi tentang upaya untuk menjaga sesuatu yang berharga, semata-mata karena ia memiliki nilai sentimental. Di dunia yang penuh dengan seruan untuk move on, film ini menunjukkan kebalikannya: bahwa tidak apa-apa marah pada orang yang menyebabkan luka-luka, seraya berkata, “Aku masih di sini, dan mari ada bersama.”
















