Opini Screen Raves

Ada Apa dengan Umay dan Film Kesehatan Mental?

Lewat film panjang ketiganya, 'Perayaan Mati Rasa', Umay Shahab terlihat makin fokus pada tema kesehatan mental dalam karya-karyanya.

  • March 18, 2025
  • 5 min read
  • 762 Views
Ada Apa dengan Umay dan Film Kesehatan Mental?

Hanya dalam rentang waktu 4 tahun, Umay Shahab telah menyutradarai tiga film yang secara eksplisit mengangkat isu kesehatan mental: Kukira Kau Rumah (2022), Ketika Berhenti di Sini (2023), dan Perayaan Mati Rasa (2025). 

Di satu sisi, langkah ini patut diapresiasi, mengingat belum banyak sineas Indonesia yang konsisten menjadikan kesehatan mental sebagai tema sentral dalam karya mereka. Keputusan Umay untuk mengeksplorasi topik ini di tiga film perdana sebagai sutradara, menunjukkan komitmennya untuk membuka dialog dan meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kesehatan mental. Namun di sisi lain, penting untuk menilai sejauh mana representasi tersebut disajikan dengan kedalaman yang memadai.

 

Dalam Kukira Kau Rumah, representasi gangguan bipolar banyak dibarengi dengan perubahan drastis dalam penggunaan warna dan pencahayaan. Adegan dengan intensitas emosional tinggi sering kali menggunakan warna-warna hangat dan saturasi tinggi, sementara fase depresi dikaitkan dengan pencahayaan redup dan tone dingin. 

Baca juga: Setelah Serial ‘Boys Love’, Kini ‘Girls Love’ Ramaikan Industri Y Thailand

Meskipun teknik ini efektif dalam membangun mood, ia juga berisiko menyederhanakan pengalaman bipolar sebagai pergeseran drastis antara dua kondisi ekstrem, tanpa cukup menggali spektrum pengalaman sehari-hari orang dengan gangguan ini.

Pendekatan yang lebih subtil muncul dalam Ketika Berhenti di Sini, yang mengandalkan minimnya dialog dan framing luas untuk menggambarkan keterasingan akibat kehilangan. Teknik long take yang banyak digunakan dalam film ini berusaha menangkap stagnasi emosional karakter utama. Namun, tanpa cukup eksplorasi psikologis dalam naskahnya, pendekatan ini berisiko hanya menciptakan suasana sendu tanpa benar-benar menggali kedalaman trauma yang dialami karakter.

Sebaliknya, Perayaan Mati Rasa mencoba menggambarkan anhedonia–kondisi saat seseorang sulit merasakan kesenangan dari sesuatu yang biasanya dianggap menyenangkan–dengan repetisi visual dan dialog yang monoton. Pemilihan tone warna netral dan minim kontras dimaksudkan untuk mencerminkan mati rasa emosional karakter, tetapi dalam beberapa bagian, pendekatan ini justru terasa lebih sebagai pilihan estetika daripada refleksi otentik dari kondisi psikologis yang kompleks. Keseluruhan film ini berisiko menyampaikan kesan bahwa anhedonia hanya sekadar kebosanan ekstrem, bukan suatu kondisi psikologis yang lebih dalam.

Jika ada yang menyelamatkan film-film ini dari jatuh dalam stereotip dangkal, itu adalah performa aktor-aktornya. Dalam banyak adegan, para aktor berhasil mengisi celah dalam naskah dengan penginterpretasian yang ekspresif, menjadikan karakter-karakter ini terasa lebih hidup daripada yang sebenarnya tertulis di skenario.

Semarak Film-film Kesehatan Mental yang Lebih Komprehensif

Kemunculan tiga film bertema kesehatan mental dalam waktu berdekatan ini tidak dapat dipisahkan dari tren global di industri film. Dalam beberapa tahun terakhir, film dengan tema serupa juga bisa ditemui di berbagai negara. 

Misalnya, film Norwegia The Worst Person in the World (Joachim Trier, 2021) mengeksplorasi krisis identitas dan depresi dengan pendekatan realistis. Dari Amerika Serikat, The Son (Florian Zeller, 2022) menggambarkan dinamika keluarga yang kompleks terkait kesehatan mental. Selain itu, serial dokumenter Hiding in Plain Sight: Youth Mental Illness (Erik Ewers & Christopher Loren Ewers, 2022) memberikan suara kepada pengalaman remaja yang berjuang dengan tantangan kesehatan mental.

Baca juga: Bisakah Film dengan Tema Islam Lebih dari Sekadar Dakwah?

Menurut penelitian terbaru, meningkatnya representasi kesehatan mental dalam film berhubungan erat dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap isu ini, khususnya di kalangan Generasi Z (Rizzo et al., 2024). Studi ini menunjukkan bahwa media sosial dan digital telah memainkan peran besar dalam mengurangi stigma terhadap gangguan mental, tetapi pada saat yang sama juga menciptakan narasi-narasi yang terlalu disederhanakan tentang kesehatan mental.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana Generasi Z, termasuk Umay Shahab, adalah generasi pertama yang tumbuh dengan kesehatan mental sebagai bagian dari percakapan publik sejak dini. 

Berbeda dengan generasi sebelumnya yang umum baru terpapar isu ini di usia dewasa, Generasi Z mengalami ledakan informasi tentang depresi, kecemasan, dan trauma sejak remaja melalui media sosial, forum diskusi online, dan konten-konten edukatif di platform seperti TikTok dan Instagram. 

Maka, tidak mengejutkan apabila sineas yang tergabung dalam generasi ini memiliki hasrat untuk mengangkat isu ini ke dalam karya mereka.

Tantangannya buat sineas seperti Umay adalah untuk menggali isu ini lebih dalam. Bukan hanya mengulang representasi permukaan yang sudah familiar. Banyak film yang menggunakan estetika tertentu untuk menggambarkan kesehatan mental—warna redup untuk depresi, shot kosong untuk kesepian, dan sebagainya—tetapi tanpa benar-benar menyelami kondisi mental itu sendiri. 

Dalam Black Swan (Darren Aronofsky, 2010) dan Shutter Island (Martin Scorsese, 2010), misalnya. Kajian Pheasant-Kelly (2017), menemukan sering kali film mengandalkan estetika dramatis dan simbolisme ekstrem—seperti perubahan pencahayaan yang tajam atau penggunaan ilusi optik—untuk mencerminkan gangguan psikologis. Tanpa selalu memberikan eksplorasi mendalam terhadap pengalaman mental karakter.

Mazey dan Munt (2020) dalam analisis mereka terhadap Joker (Todd Phillips, 2019) berargumen bahwa meskipun film ini sukses membangun atmosfer kelam dengan sinematografi dan desain produksi yang mendukung, representasi kesehatan mentalnya justru cenderung stereotipikal dan memperkuat stigma.

Jika tren ini terus berlanjut, ada risiko bahwa film-film bertema kesehatan mental hanya akan menjadi gaya visual baru tanpa substansi yang benar-benar berdampak.

Konsistensi Umay mengangkat isu kesehatan mental melalui film-filmnya merupakan langkah positif dalam meningkatkan kesadaran publik. Namun, untuk mencapai representasi yang lebih otentik dan mendalam, diperlukan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pengalaman hidup individu dengan gangguan mental. 

Hal ini mencakup penelitian mendalam, konsultasi dengan profesional kesehatan mental, dan keterlibatan langsung dengan individu yang memiliki pengalaman tersebut. Dengan pendekatan ini, diharapkan karya-karya mendatang dapat memberikan gambaran yang lebih akurat dan empatik tentang kompleksitas kesehatan mental.



#waveforequality
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *