December 5, 2025
Culture Opini Screen Raves

‘Weapons’ yang Mengerikan dan Mengundang Tawa

Setelah ‘Barbarian’, film kedua Zach Cregger—si komedian berubah jadi raja horor ini—masih kencang dibicarakan.

  • August 22, 2025
  • 6 min read
  • 2641 Views
‘Weapons’ yang Mengerikan dan Mengundang Tawa

Setelah Barbarian (2022) sukses memperkenalkan sutradara Zach Cregger ke lanskap genre horor, kini ia kembali dengan Weapons (2025). Karya terbaru Zach ini berhasil membangun hype karena ratingnya di Rotten Tomatoes sempat lama bertengger di angka 100 persen, serta isu pertarungan sengit antar-studio demi hak produksinya. Konon, Jordan Peele memecat manajer perusahaannya karena gagal mendapatkan hak produksi Weapons.

Bukan cuma kontroversi, para fans horor nyatanya terpincut plot yang ditawarkan Zach.

Saya sendiri paling suka ketika film horor, tanpa basa-basi langsung terjun ke inti konflik sejak film dimulai. Weapons melakukannya. Film dibuka dengan cerita dari narator tentang 17 dari 18 siswa kelas 3, bangun dari kasur mereka, tepat pukul 2:17 dini hari, berlari ke luar rumah, dan hilang di kegelapan malam. 

Hanya satu anak yang tetap tinggal di rumah, namanya Alex (Cary Christopher).

Misteri ini langsung dilempar untuk mengikat perhatian penonton sejak awal. Namun, ia datang dengan konsekuensi. Secara umum, ada tantangan tersendiri bagi film-film yang memiliki hook kuat di awal seperti Weapons ini, yakni: ekspektasi tinggi agar potongan-potongan misteri yang tercacah sepanjang film, bisa terjahit memuaskan. 

Apakah Zach berhasil?

Formula Vantage Point yang Segar dan Folk Horror yang Dibengkokkan

Saat misteri 17 anak hilang di malam yang sama muncul dari narator, sulit tidak melihat Weapons akan dibungkus dalam genre folk horror—subgenre horor yang sering menggabungkan elemen cerita rakyat, mitos, dan kepercayaan lokal dengan suasana pedesaan yang mencekam. Narasi itu bukan cuma menciptakan rasa takut dan kengerian sejak dini, tapi juga tanda bahwa kota itu tidak baik-baik saja. 

Maybrook, kota kecil kelas pekerja di Pennsylvania, tampaknya akan hadir bukan cuma sebagai latar tempat kejadian perkara, melainkan karakter yang juga turut membangun kengerian.

Weapons dibagi jadi beberapa bab, masing-masing memakai nama karakter sebagai judul. Jadi, alih-alih narasi linear, kita akan sering kembali ke waktu yang sama, tapi dari sudut pandang berbeda. Teknik vantage point ini berhasil bikin fokus kita pada detail-detail kecil, sambil terus bertanya-tanya ke mana ujung cerita.

Zach tampak sengaja membuat kita tegang. Mengikuti investigasi mencari anak-anak ini lewat karakter-karakter kunci: guru kelas, ayah anak yang hilang, polisi, remaja pecandu narkotika, dan Alex, si satu-satunya murid kelas 3 yang tidak hilang.

Tiap segmen akan memperdalam konteks dari segmen yang muncul sebelum dan setelahnya. Kadang, bahkan mengubah cara pandang kita terhadap satu karakter tertentu, saat karakter tersebut dipotret dalam segmen yang bukan miliknya. 

Jatah segmen pertama adalah milik Justine (Julia Garner), wali kelas 17 murid yang hilang. Di segmennya, kita melihat bagaimana ia menavigasikan hari-hari pasca-insiden sebagai target kebencian warga kota.

Ada apa dengan bu guru Justine? Kenapa hanya murid dari kelasnya yang hilang? Pasti ada sesuatu yang ia sembunyikan. Begitu prasangka warga.

Zach sebagai sutradara, seperti yang sudah ia ilustrasikan melalui Barbarian, memiliki style yang cukup distingtif. Dalam dua filmnya, Zach mengilustrasikan kemampuan mencampurkan horor, ketegangan, dan komedi—ranah yang membesarkannya di industri hiburan, sebelum terjun jadi penulis dan sutradara horor. Zach sendiri besar saat membintangi sitkom Friends with Benefits, Guys with Kids, dan Wrecked.

Gaya khas itu juga terasa kencang dalam Weapons, jadi sensasi yang cukup segar saat menonton horor. Misalnya, bagaimana ending (no spoiler) yang harusnya mengerikan atau bisa jadi memilukan, justru berpotensi kuat membuat kita tertawa. 

Perempuan yang Tak Termaafkan: dari “Witch” ke Nenek Mengerikan

Selain ending—ketika segerombolan korban si pelaku utama mengejarnya hingga menerobos rumah-rumah—Zach sebetulnya amat tekun setia pada formula standar folk horror.

Ia punya Maybrook, sebagai karakter sekaligus setting. Ritual gaib yang sulit dijelaskan nalar. Serta perempuan-perempuan sebagai medan diskursus khas film-film horor.

Di kota Maybrook, rumor menyebar bak kabut di pagi hari. Sebagai satu-satunya tersangka yang paling potensial, Justine dijuluki “witch”. Insiden hilangnya 17 anak secara bersamaan ini terlalu tidak masuk akal bagi warga, sehingga mereka butuh sosok untuk jadi samsak. 

Justine memenuhi hampir semua stereotip perempuan “bermasalah” yang mudah jadi sasaran. Ia alkoholik, punya catatan kriminal melanggar lalu lintas, dan punya pembawaan yang, meskipun tidak mengancam, tapi juga tidak memancarkan rasa aman.

Julia Garner memerankannya dengan kualitas yang seolah menggabungkan pesona dan ketidaknyamanan; kita ingin percaya padanya, tapi juga ragu apakah ia sepenuhnya tak bersalah. Justine hadir sebagai “unlikeable female character” atau figur perempuan yang menolak untuk menjadi manis atau menenangkan, dan justru kukuh mempertahankan kepribadian aslinya yang mungkin tidak bisa diterima semua orang. 

Dalam buku The Aftermath of Feminism: Gender, Culture and Social Change, Angela McRobbie mengingatkan bahwa publik sering kali bereaksi keras pada perempuan seperti ini karena mereka mengacaukan cetakan lama tentang “perempuan baik” yang mengayomi, lembut, dan tidak mengancam.

Di tangan Zach, Justine bukan sekadar korban salah paham. Ia pun penuh kekurangan, membuat keputusan buruk, dan terkadang membenarkan prasangka orang. Namun di situ lah kekuatan penulisannya: Justine memaksa kita untuk bertahan di wilayah abu-abu, menimbang antara bukti dan bias, antara rasa simpati dan kecurigaan.

Ketika bukti sudah cukup terkumpul bahwa Justine tidak ada hubungannya dengan insiden ini, film mulai menggeser lampu sorot ke figur lain: Gladys (Amy Madigan), perempuan tua nyentrik yang mengaku sebagai bibi Alex.

Perannya baru betul-betul terbuka di paruh akhir. Tapi sejak awal kemunculannya, Gladys sudah mengisi ruang layar dengan energi ganjil yang tak bisa diabaikan. Karakternya adalah arketipe “perempuan tua menyeramkan” yang, bila ditelusuri, lahir dari perpaduan ageism dan misogini dalam horor: tubuh yang menua diperlakukan sebagai tanda degenerasi, dan ketidaksesuaian dengan citra nenek-nenek manis secara otomatis menjadikannya ancaman.

Barbara Creed dalam The Monstrous-Feminine menulis bahwa figur perempuan tua dalam horor sering diposisikan sebagai “monstrous feminine”, yakni sosok pengasuh yang kehilangan fungsi nurturing dan malah menjadi sumber bahaya. Gladys adalah inkarnasi modern dari trope itu: penampilannya eksentrik, gerak-geriknya ganjil, kehadirannya mengisi ruang dengan intensitas tak nyaman. Ia tidak hanya melanggar norma kesopanan yang harusnya dipancarkan orang lanjut usia, tapi juga secara aktif memanipulasi orang-orang di sekitarnya. Bahkan, ia memanfaatkan peran sebagai pengasuh Alex, justru untuk melakukan manipulasi dan tindak kekerasan padanya.

Dengan menempatkan Justine dan Gladys dalam poros yang sama, Weapons memberi kita dua wajah berbeda dari perempuan yang ditakuti. Justine adalah target kecurigaan karena ia menyimpang dari norma moral dan emosional perempuan “ideal,” sedangkan Gladys adalah ancaman yang nyata, fisik, dan aktif berbahaya. Keduanya, meski dengan cara berbeda, menunjukkan bagaimana horor dapat memanfaatkan bias gender untuk membangun ketegangan, memaksa penonton tidak hanya bertanya “apa yang terjadi?” tapi juga “mengapa saya merasa seperti ini terhadap mereka?”

Di bab terakhir, film ini bergerak menuju klimaks yang memadukan absurditas dan teror murni. Zach tidak ragu mencampuradukkan kekerasan slapstick dengan ketegangan berbau klenik, menciptakan harmoni aneh antara horor ala Kiyoshi Kurosawa dan sketch comedy SNL. Alih-alih mengungkap rahasia besar di balik siapa Gladys sebenarnya, ia menutup film dengan sekuens yang tak malu-malu mengundang tawa.

Yang membuat Weapons menonjol dalam konteks horor kontemporer adalah kesadarannya akan posisinya sebagai film horor yang tidak secara eksplisit membicarakan tentang isu sosial—buat beberapa kritikus, hal ini bisa jadi poin minus. 

Di era ketika film-film horor sering melahirkan think piece tentang isu tertentu, tujuan Zach adalah sesederhana: membuat horor yang memikat dan, yang paling penting, menghibur. Penonton yang ingin membaca isu sosial di dalamnya bisa saja melakukannya (masih ada celah untuk diinterpretasikan sebagai alegori COVID atau penembakan massa). Namun, bagi yang ingin sekadar menikmati perjalanan roller coaster, Weapons bisa jadi tak mengecewakan.

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.