Kepanikan Moral, Dalih Basi Persekusi Dua Perempuan di Sumbar
Kasus persekusi yang menimpa dua orang di Sumatra Barat menjadi bukti perempuan masih jadi kelompok rentan. Ada cara untuk memutusnya.
Barangkali itu memang hari paling nahas untuk WD, 23 dan L, 19. Pada (8/4) WIB, keduanya sedang duduk santai di meja belakang Cafe Natasya Live Music, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Sekitar pukul 23.30, kerumunan massa menghambur dari arah pintu, mendatangi mereka, lalu tanpa basa basi menelanjangi paksa, dan menceburkan dua perempuan itu ke pantai belakang cafe.
“Disuruh paksa mandi di laut, berguling-guling. Kemudian ada beberapa orang yang menyerukan sampai juga melucuti pakaian kedua perempuan tersebut. Setelah itu dibawa lagi ke kafe,” kata rekan Yose, Kapolres Pesisir Selatan, AKBP Novianto Taryono, (14/4) dikutip langsung dari Kompas.
Alasannya lagi-lagi karena kepanikan moral. Massa tak suka ada hiburan malam yang beroperasi saat Ramadan. Dilansir dari media yang sama, Kasat Reskrim Polres Pesisir Selatan AKP Hendra Yose menerangkan, massa menduga, dua perempuan itu adalah pemandu karaoke atau ladies companion di café tersebut.
Kasus persekusi WD dan L itu sendiri lantas viral dalam video di media sosial. Bahkan membuat Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Indira Suryani angkat bicara. Kepada Tempo ia bilang, dua orang korban perempuan merupakan pengujung kafe yang berprofesi sebagai musisi organ tunggal. Keduanya baru dua kali berkunjung ke kafe tersebut. Saat kejadian, korban sempat bertanya, apa salah mereka hingga dipersekusi sedemikian rupa, tapi massa cuma bungkam.
Karena itulah Indira mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban secepatnya memberikan perlindungan terhadap korban, keluarga korban dan saksi dan meminta polisi untuk tegas mengusut kasus ini.
“Ini sudah berkaitan dengan penyiksaan seksual, persekusi dan merendahkan martabat seorang perempuan. Pelaku harus diberikan hukuman yang setimpal,” tutur Indira.
Baca Juga: Restitusi Korban Kekerasan Seksual dan ‘Victim Trust Fund’ Masih Perlu Dipantau
Faktor yang Melatarbelakangi Persekusi
Kasus persekusi terhadap WDP dan L bukanlah hal baru. Ini adalah kejadian berulang dan Indonesia punya rekam sejarah gelap tersendiri tentangnya. Sebut saja persekusi terhadap orang dituduh anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965, penembakan misterius (petrus) pada zaman Orde Baru, Tragedi Ninja di Banyuwangi pada 1998, atau persekusi berulang yang dialami jemaat Ahmadiyah.
Dikutip dari penelitian Defining Persecution (2013), sebagai bentuk penganiayaan sistematis terhadap individu atau kelompok, persekusi adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang dilakukan sewenang-wenang dan menyasar kelompok rentan dan termarjinalkan. Bentuk paling umumnya adalah persekusi agama, rasisme, dan persekusi politik yang dilakukan memang dengan intensi untuk mendiskriminasi.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan kasus persekusi. Namun, dalam kasus WDP dan L, Daniel Awigra, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) dalam keterangannya pada Magdalene mengatakan, setidaknya ada dua faktor utama yang melatarbelakanginya.
Pertama, persekusi yang dialami WDP dan L terjadi karena meningkatnya konservatisme agama di kalangan masyarakat Indonesia.
Pernyataan yang juga didukung oleh survei Pew Research Center pada 2020 yang menemukan hampir semua responden Indonesia (96 persen) yang disurvei menyatakan, kepercayaan kepada Tuhan diperlukan untuk menjadi bermoral dan memiliki nilai-nilai yang baik.
Awigra menerangkan, dalam masyarakat Indonesia yang kian konservatif, ada keinginan untuk mengambil alih ruang publik atas nama agama. Ada kehendak untuk menyeragamkan pandangan serta sikap pada semua lapisan masyarakat yang seringkali dipaksakan.
“Kita bisa melihatnya lewat banyaknya perda-perda kesusilaan yang berbasis tafsir moral atau UU Pornografi tahun 2008. Ini adalah upaya untuk mendorong ruang publik diatur dalam domain interpretasi keagamaan yang sectarian,” jelasnya.
Dengan situasi seperti ini, imbuh Awigra, tak heran jika masyarakat Indonesia jadi lebih menormalisasi pemaksaan atau main hakim sendiri. Mereka memaksakan pandangannya dan merasa apa yang mereka lakukan adalah bagian upaya menegakkan agama. Hal yang sayangnya dilegitimasi oleh produk-produk hukum diskriminatif.
Selain konservatisme agama, budaya patriarki yang masih melekat di masyarakat juga dinilai turut menjadi faktor pemicu persekusi WDP dan L. Bahrul Fuad, Komisioner Perempuan mengatakan, dalam budaya patriarki perempuan memiliki kerentanan yang lebih besar terhadap kekerasan.
“Ini dikarenakan perempuan diposisikan sebagai eksistensi subordinat atau memiliki derajat lebih rendah daripada laki-laki,” ungkapnya pada Magdalene.
Baca Juga: Resesi Seks di Jepang dan Korea Selatan, Benarkah Salah Perempuan?
Lebih lanjut terkait kasus persekusi WDP dan L, Awigra menjelaskan, perempuan hanya dipandang sebagai objek seksual semata. Dua perempuan itu diadili karena dianggap sebagai unsur pemicu hasrat seksual bagi laki-laki. Sehingga, dengan asumsi pekerjaan mereka harus ditundukan.
Dalam Policy on the Crime of Gender Persecution (2022) yang ditulis oleh International Criminal Court dijelaskan, ada jenis persekusi khusus yang dialami oleh perempuan, yaitu persekusi berbasis gender. Ini adalah persekusi yang dilakukan terhadap seseorang dan/atau kelompok berdasarkan identitas gender mereka atau karena konstruksi dan kriteria sosial yang digunakan untuk mendefinisikan peran, perilaku, kegiatan dan atribut gender tidak sesuai dengan apa yang melekat dengan korban.
United Nation Women (UN Women) dalam Identifying gender persecution in conflict and atrocities (2021) menerangkan persekusi berbasis gender digunakan sebagai hukuman terhadap mereka yang dianggap melanggar narasi gender yang telah ditetapkan. Narasi ini mengatur bentuk-bentuk ekspresi gender yang “diterima” yang diwujudkan dalam peran, perilaku, kegiatan, atau atribut.
Narasi-narasi ini sering kali mengatur setiap aspek kehidupan. Itu menentukan sejauh mana kebebasan individu untuk bergerak, pilihan reproduksi mereka, dengan siapa mereka dapat menikah, di mana mereka dapat belajar dan/atau bekerja, dan bagaimana mereka dapat berpakaian. Hal yang sangat terlihat dari kasus WDP dan L yang dianggap layak dipersekusi karena profesi mereka sebagai pemandu karaoke. Profesi yang “tidak pantas” karena dinilai bertentangan dengan ekspresi gender yang diterima oleh masyarakat.
Kasus Persekusi Berbasis Gender yang Bukan Pertama
Persekusi berbasis gender mungkin masih jadi istilah yang belum banyak dikenal oleh masyarakat. UN Women dalam penelitiannya yang sama bilang, dokumentasi atas jenis persekusi ini masih sangat minim. Akan tetapi dalam keterangan dari Bahrul Fuad, persekusi berbasis gender tercakup dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2023 walau tidak secara spesifik dikategorikan sebagai persekusi berbasis gender.
“Dalam CATAHU Komnas Perempuan 2023 terdapat 1.276 kasus kekerasan berbasis gender di ranah publik yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan di sepanjang Tahun 2022. Angka ini mencakup di dalamnya kasus-kasus persekusi terhadap perempuan,” jelasnya.
Selain CATAHU Komnas Perempuan 2023, persekusi berbasis gender di Indonesia juga bisa dilacak dalam kasus persekusi terhadap perempuan di Kampung Ampang Gadang, Kecamatan Panti Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat pada 2020. Dilansir dari Liputan 6, kasus persekusi ini dilakukan kepada perempuan kedapatan berbuat mesum. Ia ditelanjangi dan diarak oleh warga keliling kampung, sementara laki-laki pasangannya tak terlihat mendapatkan perlakukan yang sama.
Baca juga: Ramai-ramai Caleg Perempuan Pamer Citra Salihah di Medsos
Selain itu, persekusi berbasis gender juga terlihat dalam pelaksanaan Qanun Jinayat tentang Khalwat di Aceh. Khalwat sendiri berarti perbuatan berdua-duaan di tempat sunyi atau terhindar dari pandangan orang lain antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dan tidak terikat pernikahan.
Dalam Kajian tentang Hukum dan Penghukuman dalam Islam: Konsep Ideal Hudud dan Praktiknya yang dirilis oleh Komnas Perempuan pada 2016 dijelaskan bahwa pengesahan Qanun Jinayat yang didasarkan pada sistem hukum dan penghukuman agama tertentu yang dalam hal ini Islam sebagai agama mayoritas di Aceh sangat problematis. Ini menegasikan kemajemukan masyarakat di di mana terdapat keberagaman dimensi keagamaan atau keyakinan, serta gender di Indonesia.
Berdasarkan rekam data dan kajian Komnas Perempuan selama 2011 hingga 2012, tercatat ada 96 kasus kekerasan yang terjadi dalam konteks penerapan Syariat Islam, khususnya dalam penerapan Qanun Pelaksanaan Syariat Islam dan Khalwat. Dari 96 kasus yang terjadi di atas, 83 di antaranya dialami oleh perempuan.
Komnas Perempuan pun mencatat, ada 234 perempuan usia 14 hingga usia 55 tahun telah mengalami kekerasan dalam razia-razia jilbab dan penerapan Qanun Khalwat. Kekerasan yang dialami oleh perempuan-perempuan ini antara lain berupa intimidasi, pemukulan, pengarakan, direndam, dimandikan dengan air parit, dinikahkan paksa, dan pelecehan seksual.
Melihat maraknya persekusi berbasis gender di Indonesia apalagi ditambah dengan kasus terbaru WDP dan L, Awigra menekankan perlunya pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) untuk bergerak. Caranya adalah tidak memberikan opsi mediasi bagi para pelaku dan korban.
Selain itu, Awigra bilang, persekusi berbasis gender bisa dicegah atau diminimalisasi. Dengan catatan, pemerintahan dan APH fokus memenuhi hak atas pemulihan para korban bukan hanya pada penjatuhan hukuman pada pelaku.
“Kita ini masih dibelenggu sindrom menghakimi pelaku kalau ada kasus tindak pidana. Putus mati misalnya seakan-akan jadi barometer keadilan. Padahal kalau berbincang soal tindak pidana, rights of effective remedy atau hak atas pemulihan korban jadi aspek pertama yang harus dilakukan,” tuturnya.
Dalam hak atas pemulihan ini, kata Awigra, korban tidak hanya berhak mendapatkan pendampingan, perlindungan, dan pemulihan secara psikologis atau kompensasi atau ganti rugi. Korban juga punya hak untuk mendorong perubahan kebijakan atau produk hukum yang melegitimasi kekerasan atas dirinya.
Hal yang menurut Awigra terintegrasi dalam hak atas pemulihan korban yang tercakup dalam right of satisfaction (jaminan kepuasan) dan guarantees of non-repetition (jaminan ketidakberulangan) yakni tersedianya atau diberikannya kepuasan dan jaminan bahwa pelanggaran serupa tidak akan terulang lagi di masa depan.
“Kalau ini tidak dilakukan, nanti (persekusi) dilanggengkan di dalam masyarakat. Jadi hukum harus berlaku adil. Bisa melindungi semua orang dengan berbagai pekerjaan dan latar belakang mereka dan bisa mengakomodasi hak korban secara penuh,” tutup Awigra.
Ilustrasi oleh Karina Tungari