Issues

Baru Disahkan, Ini 3 Hal yang Perlu Diketahui dari UU KIA

Meski terdengar progresif, RUU ini sempat dapat kritik dari banyak pihak. Terutama soal adanya potensi domestikasi perempuan.

Avatar
  • June 7, 2024
  • 3 min read
  • 438 Views
Baru Disahkan, Ini 3 Hal yang Perlu Diketahui dari UU KIA

Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) sebetulnya sudah dari beberapa tahun lalu dibahas dan jadi perdebatan. Meski terdengar progresif, RUU ini sempat dapat kritik dari banyak pihak. Terutama soal adanya potensi domestikasi perempuan.

Melihat kritik itu, RUU KIA versi draft terbaru mengalami beberapa perubahan. Salah satunya judul, yang tadinya UU KIA saja, ditambah jadi UU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.

 

 

RUU KIA sebelumnya dikritik soal bagaimana pasal-pasalnya terlalu mengatur perempuan sebagai seorang ibu ketimbang melihat pengasuhan sebagai hal yang harus dikerjakan bersama.

Di draft UU yang baru disahkan, aturannya diubah dan banyak menegaskan soal pengasuhan jadi tugas bersama. Di Pasal 12 Bagian III misalnya diatur soal kewajiban ibu dan ayah dalam merawat anak.

Selain soal pengasuhan, draft UU ini menegaskan soal pentingnya menciptakan lingkungan suportif termasuk dari pemberi kerja, masyarakat, dan negara. Di Bab IV soal Penyelenggaraan Kesejahteraan Ibu dan Anak, ditegaskan soal peran pemerintah daerah hingga pusat dalam mendukung kebijakan ini sebagai rencana jangka panjang.

Selain cuti hamil, pemberi kerja juga harus memberi fasilitas seperti ruang laktasi hingga ruang bermain anak.

Baca juga: Ribut-ribut RUU KIA: Kenapa Cuti Ayah Patut Didukung untuk Wujudkan Kesetaraan?

Cuti Melahirkan Bisa 6 Bulan, tapi Cuti Ayah tetap 2 Hari

Meski di pasal terbaru, ada usaha signifikan untuk menegaskan bahwa pengasuhan itu tanggung jawab ayah dan ibunya, UU KIA yang disahkan justru mundur jika dilihat dari jumlah cuti ayah.

Di Pasal 6 (2) disebutkan bahwa ibu pekerja berhak atas cuti melahirkan selama 3 bulan dengan gaji penuh. Sedangkan jika ada masalah kesehatan dan surat rekomendasi dokter, ibu bisa ambil cuti sampai 6 bulan dengan gaji 75%.

Tapi, jika sebelumnya cuti ayah diwacanakan 40 hari, dalam Pasal 6 (2) UU KIA ini cuti ayah yang berlaku justru hanya 2 hari. Artinya, aturan cuti ayah ini sama saja dengan UU Ketenagakerjaan yang ada dan sudah berlaku.

Aturan cuti ayah yang tak berubah justru membuat UU KIA terkesan mengkhianati apa yang ia tegaskan soal beban pengasuhan bersama. Bagaimana mendorong ayah lebih terlibat, jika cuti yang didapat saja hanya 2 hari?

Baca juga: Cuti Melahirkan 6 Bulan, Hati-hati ‘Feminisasi’ Kemiskinan dan Ibuisasi

Kerentanan Perempuan Pekerja

Selain soal cuti ayah, UU KIA juga tak menjawab kritik soal kerentanan perempuan pekerja. Banyak pihak yang menyatakan kekhawatiran soal para pemberi kerja yang justru berbalik ogah mempekerjakan perempuan karena aturan ini.

Memang betul, di Pasal 5 ayat (3) UU KIA ini mengatur soal bantuan hukum jika ada ibu yang diberhentikan saat menggunakan hak cuti melahirkan, tapi, masalahnya tak sesederhana itu.

Dari dulu UU Ketenagakerjaan kita sebetulnya sudah mengatur soal larangan pemberi kerja mem-PHK perempuan pekerja karena tak mau bayar cuti melahirkan.

Masalahnya, meski sudah ada aturan itu, diskriminasi terhadap perempuan pekerja karena hamil masih tetap marak dilakukan pemberi kerja karena pemberian sanksi yang tak tegas.

Jika aturan, maksimal 3 bulan cuti melahirkan yang sudah ada saja masih sering jadi alasan pemberi kerja enggan nge-hire atau memberhentikan secara sepihak pekerja perempuan, apalagi aturan 6 bulan ini.

Jika tak diiringi dengan regulasi yang tegas dan matang, bisa-bisa aturan ini justru jadi bumerang bagi pekerja perempuan.

Baca juga: Dari Ibu hingga Perusahaan, Cuti Ayah Bermanfaat buat Semua

Soal ASI Eksklusif

Kita perlu sama-sama sepakat kalau ASI eksklusif itu hak anak dan direkomendasikan juga oleh medis.

Tapi, persoalannya, pemberian ASI tak selalu ideal dan bisa dibilang kompleks di setiap individu. Ada banyak kasus ibu sulit mengeluarkan ASI meski sudah melakukan berbagai macam cara. Terma “wajib” dan alternatif jalan lewat donor susu justru berpotensi menyulitkan ibu-ibu yang tidak bisa memberi ASI dan perlu menyusui anak segera.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Siti Parhani

Hani adalah seorang storyteller dan digital marketer. Terlepas dari pekerjaannya, Hani sebetulnya punya love-hate relationship dengan media sosial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *