UU TNI dan Perlawanan Ibu: Ketika Keadilan Tak Kunjung Pulang
Para ibu di Indonesia turun ke jalan, menuntut hak yang seharusnya dijamin negara. Perlawanan mereka adalah suara keberanian di tengah ketidakadilan yang terus berulang.

“Where do universal human rights begin? In small places, close to home,” begitu kata mendiang ibu negara AS, Eleanor Roosevelt, dalam pidatonya pada 1958 di Amerika Serikat. Hak asasi manusia seharusnya bukan sekadar gagasan yang melayang di awang-awang. Ia seharusnya hadir dalam kehidupan sehari-hari, terasa nyata di tempat-tempat yang kita datangi. Ketika hak asasi terasa sunyi dan hampa di rumah-rumah kita, mustahil ia bisa terwujud di ruang yang lebih besar—kecuali sebagai omong kosong belaka.
Mungkin para Ibu adalah yang paling memahami makna hak asasi manusia. Mereka tahu seperti apa wujudnya, harumnya, warnanya—sejuk dan menenangkan. Mereka juga tahu pahitnya mengubur mimpi anak sendiri karena tidak mampu membiayai pendidikan tinggi. Mereka merasakan lelahnya mengurus rumah, merawat orang sakit, dan mengantre BPJS dari subuh hingga malam hari. Mereka tahu pedihnya ketika laporan kekerasan seksual terhadap anak mereka ditolak polisi.
Namun, rasa aman dan keadilan itu kini terasa semakin jauh, terutama setelah revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) disahkan oleh DPR. Undang-undang ini memperluas kewenangan militer dalam urusan sipil, termasuk pengamanan aksi demonstrasi dan pengelolaan bencana alam. Perubahan ini memperkuat posisi militer dalam kehidupan publik, sebuah langkah mundur yang menghidupkan kembali bayang-bayang supremasi militer yang pernah mencengkeram Indonesia di masa Orde Baru.
Bagi banyak Ibu di Indonesia, revisi UU TNI adalah ancaman langsung terhadap keadilan dan rasa aman. Ketika militer diberi ruang lebih besar untuk beroperasi di ranah sipil, potensi pelanggaran hak asasi manusia semakin tinggi. Ketidakadilan yang selama ini sudah dirasakan di rumah dan ruang publik kini terasa semakin dilegitimasi oleh hukum. Dan ketika keadilan tak lagi terasa di rumah, taman, atau pasar, para Ibu memilih turun ke jalan, meninggalkan sejenak peran domestik untuk menuntut hak-hak yang seharusnya dijamin negara.
Baca juga: 4 Dampak Psikologis UU TNI yang Dirasakan Rakyat Kecil
Hak Asasi Manusia: Bukan Hadiah dari Negara
Hak asasi manusia tidak berasal dari belas kasihan negara. Jack Donnelly (1989) dalam Universal Human Rights in Theory and Practice menekankan bahwa hak asasi manusia berasal dari martabat yang melekat pada setiap individu. Hak bukanlah hadiah dari penguasa kepada rakyatnya—hak adalah sesuatu yang seharusnya dijamin dan dihormati oleh negara. Ketika negara gagal, warganya yang akan menuntutnya. Dan di Indonesia, para Ibu telah melakukannya sejak lama.
Sejak era reformasi, para Ibu di Indonesia telah melakukan berbagai aksi protes. Mereka turun ke jalan bukan hanya untuk menuntut keadilan, tetapi juga untuk menyuarakan keresahan yang mendalam. Sebagian berdemo, sebagian membagikan makanan kepada para demonstran, dan sebagian lagi berorasi untuk menyemangati mahasiswa. Aksi para Ibu bukan sekadar tindakan politik, melainkan tindakan moral. Mereka menolak ketidakadilan yang melukai nurani. Para Ibu tidak mengejar kekuasaan; mereka ingin memastikan orang-orang di sekitar mereka bisa hidup dengan layak dan bermartabat.
Namun, revisi UU TNI telah memperumit situasi ini. Dengan diberikannya kewenangan lebih besar kepada militer untuk terlibat dalam urusan sipil, ruang untuk menyampaikan protes dan kritik menjadi semakin sempit. Perempuan dan anak-anak, yang selama ini sudah rentan terhadap kekerasan negara, kini menghadapi ancaman yang lebih besar.
Baca juga: Suara Perempuan di Demo UU TNI: Ini Langkah Mundur Demokrasi
Ibu: Lebih dari Sekadar Peran Domestik
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan ibu sebagai “wanita yang telah melahirkan seorang anak” atau “wanita yang sudah bersuami.” Namun, Ibu adalah lebih dari sekadar peran domestik. Ibu adalah warga negara yang memiliki hak, suara, dan kekuatan politik. Banyak Ibu di Indonesia telah memperluas definisi sempit ini, menolak batasan yang merestriksi peran mereka di ruang privat.
Ibu Maria Catarina Sumarsih, misalnya, telah berjuang sejak 2007 untuk menuntut keadilan atas kematian anaknya, Benardinus Realino Norma Irawan (Wawan), yang ditembak aparat pada tahun 1998. Hingga kini, keadilan yang diperjuangkan masih belum terwujud. Ironisnya, orang yang terlibat dalam pelanggaran tersebut justru kini memegang kekuasaan di negeri ini.
Para Kartini Kendeng menyemen kaki mereka di depan Istana Negara untuk menolak ekspansi bisnis yang merusak lingkungan dan penghidupan mereka. Santi Warastuti, bersama ibu-ibu lainnya dari Yogyakarta, menuntut legalisasi ganja medis untuk pengobatan anak mereka yang menderita cerebral palsy. Namun, alih-alih mendapatkan kepastian hukum, anak Ibu Santi, Pika Sasikirana, meninggal dunia pekan lalu setelah bertahun-tahun menanti harapan yang tak kunjung datang.
Di sisi lain, ada juga Ibu yang berdiri di ruang megah, mengenakan jubah kekuasaan, dan tersenyum saat mengetuk palu. Ketika palu diketuk, mimpi para Ibu tentang keadilan dan hak asasi manusia terasa semakin jauh dari kenyataan. Tidakkah terbesit sedikit saja di benaknya tentang kelamnya sejarah ketika supremasi sipil digantikan oleh supremasi militer? Perempuan pernah dibungkam, dikekang, bahkan dibunuh karena berani berbicara dan melawan.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada 2020–2024, terdapat setidaknya 190 laporan kasus kekerasan yang dilakukan oleh prajurit TNI. Dalam banyak kasus, korban kesulitan mendapatkan keadilan karena proses hukum dilakukan di Pengadilan Militer. Selain itu, terdapat 10 kasus kekerasan terkait konflik sumber daya alam yang melibatkan prajurit TNI sebagai terlapor, di mana perempuan adat menjadi pihak yang paling rentan.
Revisi UU TNI memperburuk situasi ini. Dengan pengadilan militer yang semakin berkuasa, ruang bagi korban untuk mendapatkan keadilan semakin sempit. Bukan hanya memperburuk impunitas, situasi ini juga menciptakan iklim ketakutan yang semakin mengikis ruang demokrasi.
Baca juga: Jika Kelak Aksi Kamisan Dilarang, itu Takkan Mati tapi Berlipat Ganda
Maternalisme dan perlawanan ibu
Sejarawan feminis Seth Koven dan Sonya Michel membedakan dua jenis maternalisme menjadi maternalisme radikal yang berfokus pada emansipasi perempuan dan pengakuan atas hak-haknya, sertamaternalisme konservatif yang berfokus pada penguatan peran gender tradisional.
Meski masih jauh dari yang diharapkan, saat ini kita sudah mulai bergerak dari maternalism-from-above—di mana definisi Ibu ditentukan negara atau institusi militer—ke maternalism-from-below, di mana pemberdayaan Ibu datang dari akar rumput dan kesadaran kolektif.
Mothering tidak lagi terbatas di ruang privat, tetapi telah meluas ke ruang politik sebagai bentuk perlawanan atas kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Para Ibu yang turun ke jalan menantang pandangan tradisional tentang motherhood sebagai sesuatu yang apolitis dan terbatas di ruang domestik.
Filsuf Hannah Arendt mengatakan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada kekerasan dan dominasi, melainkan pada persatuan dan aksi kolektif. Ketika para Ibu bergerak bersama, mereka merebut kembali ruang publik, memastikan suara mereka terdengar. Ketika suara mereka bergema, kekuasaan yang selama ini berpihak pada militer dan penguasa mulai diguncang.
Bagaimana mungkin negara yang mengklaim peduli pada hak asasi manusia memberikan wewenang lebih besar kepada institusi yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang tidak pernah diselesaikan? Bagaimana mungkin negara membiarkan para Ibu menyaksikan anak-anak mereka mati perlahan karena lambatnya respons negara? Bagaimana Ibu bisa mengajarkan kejujuran dan keadilan kepada generasi masa depan ketika yang dipertontonkan hanyalah impunitas dan pelanggaran hukum?
Ketika para Ibu sudah turun ke jalan, melakukan protes dan menuntut hak-haknya, negara seharusnya berani bercermin. Apakah benar-benar ada hak asasi manusia di negeri ini—hak yang dirasakan hingga ke rumah-rumah warga, yang benar-benar bisa dirayakan, dan bukan sekadar janji kosong dari mulut penguasa?
Lola Loveita adalah ibu satu anak yang bekerja untuk isu HAM, termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Saat ini sedang menempuh studi Magister Psikologi Sosial di Universitas Indonesia.
Aulia Rachmah Putri adalah praktisi HAM dengan fokus di Bisnis dan HAM serta Human Rights Cities. Terlibat dalam advokasi kebijakan, riset HAM, serta kerja sama lintas sektor untuk memperkuat demokrasi dan inklusi sosial. Saat ini bekerja di Program Sekretariat INKLUSI.
