Vaksin Bukan Satu-satunya: Puskesmas Garda Terdepan Penanganan COVID-19
Puskesmas bisa jadi garda terdepan penanganan pandemic COVID-19 dan distribusi vaksin, namun masih belum diperhatikan pemerintah.
Sebagai institusi kesehatan terdepan tingkat pertama, Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) sebetulnya punya peran penting dalam penanganan COVID-19. Dengan konsep kewilayahan, puskesmas memiliki potensi besar sebagai tempat penanganan kasus COVID-19 yang tidak bergejala atau bergejala ringan.
Melalui puskesmas pula, sosialisasi tentang protokol kesehatan 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak) sebagai upaya pencegahan, bisa lebih efektif menjangkau kelompok akar rumput yang tidak bisa mengakses informasi dari berita maupun media sosial.
Sayangnya, peran krusial puskesmas ini tidak dimanfaatkan dan dianggap serius oleh pemerintah, ujar Egi Abdul Wahid, Program Director Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI). Ia mengatakan, selama ini pemerintah hanya berfokus pada rumah sakit rujukan dan tempat-tempat karantina khusus seperti Wisma Atlet. Padahal, ia menambahkan, jika puskesmas diberi sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas yang cukup, puskesmas bisa diandalkan untuk menangani kasus COVID-19.
“Indonesia hanya mengandalkan rumah sakit. Ini membuat orang dari daerah yang membutuhkan pengobatan atau layanan, harus menempuh jarak yang jauh sehingga meningkatkan kemungkinan penularan dan penyebaran virus,” ujar Egi dalam webinar “Vaksin Bukan Satu-satunya. Apa yang Perlu Segera Dibenahi dari Sistem Kesehatan” (30/1).
Selain itu, menurutnya, puskesmas yang lebih dekat dengan masyarakat bisa membantu penerapan praktik 3T (tracing, testing, treatment) atau pelacakan, pengetesan dan perawatan—yang selama ini terkendala karena stigma terhadap orang yang dinyatakan positif. Hal tersebut membuat banyak kasus tidak terdeteksi karena ditutup-tutupi.
“Puskesmas bisa jadi tempat tracing dan preventif untuk mendata siapa yang terkena, dengan pendekatan yang lebih personal ke masyarakat,” ujarnya.
Baca juga: 4 Peran Penting Puskesmas Hadapi New Normal
Beban Ganda Puskesmas selama Pandemi
Pandemi telah berlangsung hampir setahun, banyak rumah sakit rujukan COVID-19 kolaps karena membludaknya angka pasien positif yang kini mencapai 1,9 juta orang. Menurut data CISDI, jumlah tempat tidur, ICU, dan ruang isolasi di tempat pelayanan kesehatan per 2 Januari 2021 sudah 70 persen terisi. Di Jakarta, sebagai daerah dengan jumlah tertinggi pasien positif COVID-19, misalnya, sebanyak 84,74 persen fasilitas untuk pasien sudah terisi.
Puncak jumlah kasus yang membutuhkan perawatan rumah sakit di Jakarta terjadi dalam periode 11-17 Januari 2021, dengan tingkat opname pada 88,3 persen. Sejak akhir Desember-19 Januari 2021, lembaga pengaduan LaporCovid19 mendapat 39 laporan kasus pasien yang ditolak rumah sakit karena penuh, pasien yang meninggal di perjalanan, serta meninggal di rumah karena ditolak rumah sakit.
Egi mengatakan, karena rumah sakit yang sudah kewalahan, sekarang ini puskesmas sudah mulai dilirik menjadi sarana alternatif. Hal ini terlihat dari beberapa daerah yang sudah mulai menggunakan puskesmas sebagai tempat rujukan. Namun, karena puskesmas juga punya peran krusial sebagai pelayanan publik, puskesmas jadi memiliki peran ganda.
Situasi ini, menurut Egi, berimplikasi pada terganggunya pelayanan publik. Hasil survei CISDI menunjukkan, lebih dari 90 persen layanan pengobatan umum terhambat, dan sebanyak 46 persen puskesmas harus beradaptasi dengan mengurangi jam kerja layanan dan beberapa layanan kesehatan. Artinya, semakin banyak orang yang menjadi rentan karena tidak mendapatkan layanan berkualitas, ujarnya.
“Layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) juga terganggu, ini terlihat dari 80 imunisasi sudah tidak berjalan semenjak pandemi. Akibatnya, kelompok-kelompok rentan di akar rumput tidak mendapat layanan kesehatan yang optimal,” ujar Egi.
Baca juga: Pandemi Zaman Kolonial Hingga Kini, Kesehatan Ibu dan Anak Tetap Rentan
Puskesmas Masih Kekurangan Fasilitas dan SDM
Data CISDI juga menunjukkan bahwa puskesmas masih minim petugas kesehatan. Rata-rata puskesmas di tiap wilayah hanya memiliki 10-20 tenaga kesehatan. Sementara jumlah populasi yang harus dilayani mencapai 10.000-20.000 orang. Ini membuat petugas kewalahan untuk melakukan proses tracing atau pelacakan, ujar Egi.
Dari segi fasilitas kesehatan, masih banyak puskesmas yang belum memiliki fasilitas untuk isolasi mandiri. Bahkan fasilitas dasar seperti Alat Pelindung Diri (APD) masih minim, tambahnya. Alhasil, banyak warga yang harus melakukan isolasi mandiri di rumah mereka. Beberapa puskesmas di daerah bekerja sama dengan hotel dan penginapan, namun ini solusi berbiaya tinggi jika dilakukan untuk jangka waktu yang lama.
“Kalau saja SDM-nya difokuskan, bisa jadi penanganan kasus ini lebih baik. Tapi nyatanya, fakta di lapangan kami menemukan ada petugas tingkat kelurahan yang enggak tahu COVID-19 itu apa. Banyak puskesmas yang enggak punya APD dan ventilator,” kata Egi.
Hambatan lainnya, menurut Egi, adalah insentif para pekerja kesehatan di puskesmas yang tidak sebanding dengan beban kerjanya.
Kepala Bidang Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan, Monica Saraswati Sitepu, mengatakan bahwa fasilitas kesehatan untuk penanganan COVID-19, seperti APD, sebetulnya sudah diberikan oleh pemerintah pusat, namun ada kendala di pendistribusian yang mandek.
“Kami sadar bahwa puskesmas punya tanggung jawab yang luar biasa di tingkat daerah dan kota. Kami melihat tantangannya itu masih seputar dari segi implementasi. Karena puskesmas ini berkaitan dengan kebijakan di Dinas Kesehatan daerah. Jadi kadang dari pusat sudah didistribusikan. Soal bagaimana bantuan itu dibagikan itu diserahkan pada kebijakan daerah,” ujar Monica di acara yang sama.
Baca juga: 32 Tahun Posyandu: Miskin Dana, Perspektif Gender, dan Regenerasi
Ia mengatakan, solusi untuk masalah kekurangan SDM tenaga kesehatan juga masih terus diupayakan oleh pemerintah. Saat ini pemerintah pun terus melakukan perekrutan kader kesehatan baru, terutama di daerah, tambahnya.
“Masalah insentif sebetulnya sudah ada anggarannya, tapi balik lagi ini kan melibatkan Dinas Kesehatan setiap daerah,” kata Monica.
Garda Terdepan Pendistribusian Vaksin
Terkait pemberian vaksin, Monica mengatakan, ada sekitar 13.000 lebih fasilitas kesehatan (faskes) yang mampu memberikan vaksin, berdasarkan data Badan Pelayanan Jaminan Kesehatan (BPJS). Selain itu, vaksin juga akan didistribusikan oleh 10.000 puskesmas. Pemerintah pun terus melalukan pelatihan vaksinasi bagi dokter, bidan, dan perawat di berbagai daerah, ujarnya.
“Sebagian besar memang dilakukan di puskesmas. Meski puskesmas sudah berpengalaman mengaplikasikan vaksin dasar untuk anak, tapi vaksin untuk COVID ini masih baru dan masih terus diuji. Jadinya kita terus adakan pelatihan,” ujar Monica.
Menurut Egi, pelibatan puskesmas untuk pendistribusian vaksin sudah tepat untuk menjangkau lebih banyak orang, dan puskesmas juga bisa membantu memetakan kelompok-kelompok rentan penerima vaksin.
Ia menyarankan, agar beban puskesmas tidak semakin berat, pemerintah daerah dan pusat perlu memastikan komunikasi publik yang tidak memberikan rasa aman yang semu. Misalnya, karena sudah ada vaksin orang-orang jadi abai dengan protokol kesehatan. Padahal, vaksin merupakan upaya preventif bukan kuratif, sehingga protokol kesehatan harus tetap dijalankan.
“Selain itu, proses vaksinasi yang akan banyak melibatkan puskesmas harus dijadikan sebagai momentum untuk mengevaluasi fasilitas puskesmas, seperti pendingin untuk distribusi vaksin yang sudah jarang diperhatikan,” kata Egi.