Vampir Data: Bagaimana Teknologi AI Mengisap Sumber Daya
Di balik manfaatnya, teknologi kecerdasan buatan (AI) menguras data, energi, dan material dalam jumlah besar.
Artikel ini adalah bagian pertama dari seri terjemahan isi siniar teknologi sayap kiri, Tech Won’t Save Us, oleh jurnalis teknologi asal Kanada, Paris Marx. Seri khusus empat bagian ini berjudul “Vampir Data”.
Belakangan ini, dunia diramaikan oleh teknologi kecerdasan buatan generatif atau generative artificial intelligence (Gen AI). AI dikatakan dapat melakukan banyak hal dan membantu kita meningkatkan produktivitas. Bahkan, sifat-sifat manusiawi dilekatkan padanya: ia disebut dapat “berpikir”, “belajar”, dan “menjadi teman” bagi mereka yang kesepian.
“Pedang bermata dua,” kata orang. “Teknologi yang tidak terhindarkan.” Jika kita tidak beradaptasi dengan AI, maka kita akan mati dilindas zaman, begitu kata mereka lagi.
Sayangnya, segala antusiasme akan AI ini belum disertai pemahaman memadai tentang bagaimana teknologi tersebut dibuat, siapa orang-orang di baliknya, serta ideologi apa yang menggerakkan mereka. Belum banyak orang yang tahu bahwa AI mengisap sumber daya alam dalam skala besar. Mengingat krisis iklim yang semakin parah tiap harinya, ini mencemaskan.
Baca juga: AI Semakin Populer di Pilpres 2024, Apa Dampaknya di Masa Depan?
Teknologi AI Percepat Kerusakan Lingkungan
Dampak lingkungan dari sektor-sektor lain, seperti pertambangan dan transportasi, telah mendapat begitu banyak perhatian. Itu perlu. Namun, sektor teknologi digital, termasuk di dalamnya AI generatif, masih luput dari pengawasan.
Laporan sejumlah media seperti Forbes dan Nikkei Asia menunjukkan, ekosistem digital tempat AI lahir dan beroperasi membutuhkan konsumsi air dan energi yang telah merugikan warga lokal di berbagai negara. Pertumbuhan AI juga mendorong percepatan kerusakan lingkungan di lebih banyak tempat, menurut Mongabay.
Berbagai laporan lain juga telah mengungkap bahwa teknologi AI dibangun di atas pencurian data (Japan Times) dan eksploitasi pekerja di negara-negara berkembang (Time). Perusahaan-perusahaan di balik teknologi ini juga mulai menjajakan ciptaan mereka pada militer Amerika Serikat, yang akan menggunakannya untuk kampanye kekerasan global. Tidak sedikit dari taipan teknologi yang punya kedekatan dengan kubu sayap kanan ekstrem.
Laporan-laporan itu menunjukkan bahwa perkembangan teknologi tidaklah seapolitis yang kita kira. Ia tidak bebas dari pertarungan ideologi dan tarik menarik kuasa.
Dalam kasus AI belakangan, banyak bukti menunjuk pada peran penting produk-produk tersebut dalam memperkuat cengkeraman kapitalisme dan kuasa AS di dunia. Bahkan, beberapa pengamat mengatakan, seperti dikutip laporan MIT Technology Review, AI dapat membawa kolonialisme gaya baru. Tanpa eksploitasi manusia dan sumber daya alam, teknologi ini tidak mungkin ada.
Sayangnya, perspektif kritis terhadap AI dan teknologi digital secara keseluruhan belum terdengar di Indonesia. Sumber-sumber informasi kritis yang tersedia dalam bahasa ibu kita masih minim. Karena itu, saya tergerak meringkas dan menerjemahkan salah satu sumber informasi kritis tersebut, yakni isi siniar teknologi sayap kiri, Tech Won’t Save Us—seri khusus empat bagian berjudul “Data Vampires”.
Raksasa teknologi seperti Microsoft, Google, dan Amazon ingin meningkatkan jumlah komputasi yang dibutuhkan dunia, terlepas dari apakah ada manfaat sosial atau dampak lingkungan. Pada akhirnya, keuntungan diutamakan di atas segalanya.
Baca juga: Dear Mahasiswa yang Hobi Pakai AI, Ada Risiko dan Privasi yang Jadi Taruhan
Mengenal Pusat Data Skala Besar dalam Ekosistem Digital
Pada hakikatnya, bisnis AI berkaitan erat dengan ekspansi infrastruktur pusat data yang dimotori oleh raksasa teknologi seperti Google, Amazon, Microsoft, dan Meta, serta ketergantungan digital dunia pada mereka. Pusat-pusat data tersebut memicu kerusakan lingkungan hidup dan komunitas warga lokal.
Pusat data adalah “gudang server” dan jantung dari ekosistem digital. Fasilitas ini menyimpan data dan menyediakan komputasi untuk semua interaksi kita di web, seperti menonton di Netflix, menelusuri Google, atau memasukkan perintah ke ChatGPT.
Seperti komputer yang akan menjadi panas jika dipakai terlalu lama, bayangkan, betapa panasnya suatu fasilitas yang dipenuhi oleh puluhan ribu komputer. Menjaga semua komputer ini tetap dingin memerlukan banyak energi untuk menyalakan AC dan juga air untuk mengisi bahan bakar sistem pendingin.
Ada banyak pusat data di seluruh dunia, tapi yang benar-benar kita khawatirkan adalah mereka yang dibangun untuk mendukung bisnis raksasa teknologi. Pusat data hyperscale inilah yang memiliki kebutuhan sumber daya yang sangat, sangat besar.
Pusat-pusat data hyperscale Amazon bisa menampung hampir 50.000 server. Meta sedang membangun fasilitas di Minnesota seluas 66 ribu meter persegi, setara 12 lapangan sepak bola. Microsoft dan OpenAI bahkan mempertimbangkan untuk membangun kompleks pusat data senilai US$100 miliar yang akan dibangun di sebelah reaktor nuklir karena ia memerlukan begitu banyak energi.
Pusat-pusat data ini tidak hanya melayani bisnis mereka sendiri saja, namun juga bisnis dari banyak sekali perusahaan dan organisasi di seluruh dunia. Ini dikenal dengan layanan cloud, yang sebenarnya adalah solusi penyimpanan data dan menarik begitu banyak pihak karena membangun pusat data sendiri sangatlah mahal. Data di laman Amazon Web Service (AWS) menunjukkan, bahkan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, penyedia layanan kesehatan, dan organisasi nirlaba di Indonesia juga menggunakan layanan cloud Amazon.
Baca juga: Kerentanan Anak dari Ancaman Pelecehan Seksual Lewat Kecanggihan AI
Ketergantungan akan Pusat Data: Keuntungan di Atas Segalanya
Ketergantungan akan pusat data menunjukkan adanya konsolidasi dan sentralisasi infrastruktur web di tangan sejumlah kecil perusahaan yang kuat, dalam hal ini, perusahaan AS.
Untuk semakin meningkatkan bisnis pusat data yang menguntungkan ini (dan juga meningkatkan ketergantungan kita), perusahaan-perusahaan teknologi mencari cara agar permintaan komputasi dunia terus naik. Di sinilah peran perangkat AI.
“Bagaimana Anda meningkatkan konsumsi komputasi melebihi apa yang sebenarnya dibutuhkan, melebihi yang diminta oleh organisasi dan individu? Inilah yang mereka coba lakukan dengan menjejalkan apa yang disebut AI ke setiap sudut dan celah, karena hal ini memerlukan pengembangan [pusat data] yang luar biasa,” kata Dwayne Monroe, seorang konsultan cloud senior.
Raksasa teknologi seperti Microsoft, Google, dan Amazon tidak hanya ingin mengembangkan bisnis mereka, namun juga meningkatkan jumlah komputasi yang dibutuhkan dunia, terlepas ada manfaat sosial atau tidak. Pada akhirnya, keuntungan diutamakan di atas segalanya.
Microsoft telah mengumumkan anggaran $50 miliar untuk pusat data antara Juli 2023 dan Juni 2024, dan berencana menambah kapasitas server baru jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Amazon berkomitmen biaya $150 miliar untuk perluasan pusat data, dengan $50 miliar di antaranya untuk proyek-proyek di AS pada paruh pertama tahun 2024.
Karena dampak lingkungan serius dari infrastruktur pusat data ini, kelompok-kelompok masyarakat di seluruh dunia mulai mempertanyakan pembangunannya. Pertarungan tersebut dapat menjadi inti dari kampanye yang lebih luas untuk menegaskan kembali kekuatan dan kedaulatan kolektif kita atas teknologi.
Antonia Timmerman adalah jurnalis teknologi dan bisnis di Jakarta.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari